Jalankan Transformasi Digital, BI Ganti Sistem Kliring Tahun Depan

ANTARA FOTO/Septianda Perdana/ama.
Seorang pedagang minuman kopi melayani warga yang menggunakan pembayaran non tunai Quick Response Indonesia Standard (QRIS) pada Pekan QRIS Nasional 2020 di Medan, Sumatera Utara, Minggu (15/3/2020). Bank Indonesia memperkenalkan penggunaan transaksi pembayaran digital QRIS untuk mendorong efisiensi transaksi, mempercepat inklusi keuangan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi untuk mewujudkan Indonesia Maju.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
29/9/2020, 15.28 WIB

Bank Indonesia menargetkan bisa menerapkan tahap pertama digitalisasi Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) menjadi BI Fast Payment pada 2021. Langkah ini sejalan dengan rencana transformasi sistem pembayaran pada 2025 yang diluncurkan Mei tahun lalu.

Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan dengan sistem baru tersebut, transaksi ritel akan tersambung dengan Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) melalui bank digital maupun platform teknologi finansial (fintech). Transaksi juga akan tersambung dengan Application Programming Interface (API) yang difasilitasi sistem pembayaran BI Fast Payment.

Dengan transformasi ini, transaksi yang dilakukan menjadi sangat cepat. "Dengan difasilitasi ritel payment system, BI Fast, within second transaksi, kepindahan dari dana, rekeningnya bank di BI, dan end to end proses bisa selesai dilakukan dalam 24 jam, tidak pernah tidur," kata Perry dalam diskusi virtual, Selasa (29/9).

Berdasarkan data BI, selama pandemi Covid-19 ini, transaksi digital meningkat. Makanya, transformasi menjadi model bisnis yang harus diterapkan di industri perbankan, apalagi sudah diminati masyarakat. Perry mencatat ada lonjakan transaksi, pelayanan, dan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan digital banking, baik berkaitan dengan simpanan, transfer, dan berbagai transaksi lainnya.

Transaksi digital yang dilakukan selama pandemi ini meningkat 37,8%, dibandingkan sebelum pandemi. Penggunaan uang elektronik juga meningkat 65%. Peningkatan ini terjadi di tengah penggunaan ATM, kartu debit, dan kredit yang menurun sekitar 18,9%.

"Bisnis digital banking meningkat sangat tinggi. Digitalisasi perlu dijawab dengan transformasi, bagaimana bisnis perbankan bertransformasi," kata Perry.

Pada kesempatan yang sama, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja menyampaikan digitalisasi di industri perbankan merupakan kewajiban. Terlebih di tengah pandemi Covid-19 yang membatasi pergerakan sosial. Tidak hanya soal nasabah, digitalisasi ini juga membuat bank menjadi lebih efisien.

Dia mengakui, memang tidak semua bank mampu melakukan transformasi digital secara cepat. "Namun, setiap bank wajib mengembangkan efisiensi. Sehingga bank bisa membuat suatu kultur perusahaan yang sadar akan digitalisasi," kata Jahja.

Di dalam transformasi digital, Jahja mengakui akan ada pekerjaan yang hilang. Di BCA hal itu sudah terjadi, namun tidak berarti pegawainya terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) kepada para staf back office. Pekerjaan yang hilang seperti mengurus laporan penjualan atau pemasaran, keuangan, dana masalah administrasi lainnya yang saat ini sudah bisa dilakukan melalui sistem.

"Kami tidak ada PHK, mereka ini kami coba transformasi. Tetapi, pekerjaannya itu hilang, pekerjaan back office hampir di setiap cabang itu hilang," katanya.