Nasib Jiwasraya Bertahan di Tengah Modal Negatif Rp 38 Triliun

Adi Maulana Ibrahim | KATADATA
Ilustrasi. Asuransi Jiwasraya masih memiliki utang klaim Rp 20 triliun hingga akhir tahun lalu.
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Agustiyanti
11/3/2021, 09.49 WIB

PT Asuransi Jiwasraya (Persero) tercatat memiliki ekuitas negatif mencapai Rp 38,4 triliun per Desember 2020. Tingkat solvabilitas atau risk based capital (RBC) Jiwasraya per akhir tahun lalu bahkan negatif 993,3%, jauh di bawah batas minimal sesuai peraturan OJK sebesar 120%.

Meski likuiditasnya tertekan, Jiwasraya tetap beroperasi hingga saat ini dengan menerapkan sejumlah langkah agar tetap mampu memberikan hak nasabah sebelum sepakat untuk direstrukturisasi.

Koordinator Juru Bicara Tim Percepatan Restrukturisasi Jiwasraya Mahelan Prabantarikso mengatakan, salah satu transformasi yang telah dilakukan perusahaan adalah terkait pendanaan. Hingga saat ini, sudah ada beberapa langkah pendanaan yang sudah dilakukan.

"Secara rekapitulasi, kami harus mempertahankan posisi perusahaan sampai saat ini agar bisa berjalan dan sebisa mungkin kami memberikan hak dari para nasabah sebelum restrukturisasi," kata Mahelan dalam diskusi secara virtual, Rabu (10/3).

Jiwasraya telah menerbitkan REPO dengan nilai Rp 1,12 triliun, menggunakan fasilitas kredit Rp 418 miliar, hingga optimalisasi aset properti Rp 1,4 triliun."Kami pun menerbitkan medium term notes Rp 500 miliar. Lalu, optimalisasi aset investasi berupa gain atas obligasi Rp 410 miliar," kata Mahelan.

Transformasi lain yang dilakukan Jiwasraya adalah terkait bisnis asuransi. Langkah dini yang diambil manajemen Jiwasraya adalah menghentikan produk asuransi lama yang merugikan dan minim penjualan.

Produk tradisional Jiwasraya menjadi salah satu akar masalah gagal bayar. Jiwasraya sempat menjual produk tradisional dengan skema garansi jangka panjang imbal hasil sampai 14%. Model bisnis ini dinilai merugikan sepanjang usia produk tersebut.

Produk lain yang membebani Jiwasraya adalah produk saving plan yang ditawarkan melalui skema bancassurance dengan garansi imbal hasil 6%-10,35%. Produk ini diluncurkan sejak 2008 hingga 2018 saat pertama kali Jiwasraya gagal bayar.

"Return yang dihasilkan dari saving plan lebih besar dibandingkan tingkat suku bunga deposito 2018 sekitar 5,2% sampai 7%, bond yield 8%-9,5%, dan pertumbuhan IHSG yang negatif 2,3% pada 2018," kata Mahelan.

Selain menghentikan produk-produk asuransi lama yang merugikan dan minim penjualan, Jiwasraya juga melakukan repricing atau restrukturisasi pada produk dengan profitabilitas negatif, tetapi sebenarnya dari sisi penjualan tinggi.

Selain restrukturisasi produk lama, Jiwasraya pun meningkatkan penjualan produk barunya. Produk-produk baru tersebut berpotensi mendatangkan profitabilitas.

Mahes juga menyebut, transformasi bisnis Jiwasraya  turut menyasar pada tata kelola, sistem, dan sumber daya manusia. Perusahaan meningkatkan tata kelola dan manajemen risiko menggunakan prinsip transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, dan fairness.

Adapun akibat kondisi Jiwasraya di masa lalu, menurut Mahes, Jiwasraya hingga kini masih mengalami tekanan likuiditas. Mayoritas aset investasi yang dimiliki saat ini tidak memiliki nilai dan tidak likuid. Nilai aset pun tidak sesuai dengan nilai pasar sehingga menyebabkan ekuitas Jiwasraya negatif.

Total aset Jiwasraya per Desember 2020 hanya Rp 15,9 triliun, sedangkan liabilitas Jiwasraya terus meningkat hingga mencapai Rp 54,4 triliun. Liabilitas terdiri dari produk non-saving plan Rp 37,4 triliun dan JS Saving Plan Rp 17 triliun. Akibatnya, ekuitas Jiwasraya mengalami tekanan hingga negatif Rp 38,4 triliun.

"Ekuitas Jiwasraya semakin turun akibat liabilitas yang semakin meningkat seiring dengan berjalannya waktu," kata Mahelan.

Ekuitas Jiwasraya sudah minus Rp 10 triliun sejak 2018, seperti terlihat dalam databoks di bawah ini.

Jiwasraya juga  menanggung utang klaim Rp 20 triliun hingga akhir tahun lalu. Nilai utang klaim paling besar terjadi pada produk JS Saving Plan yang mencapai Rp 17 triliun. Sementara utang klaim nasabah tradisionalRp 1,6 triliun dan nasabah ritel Rp 1,4 triliun.

Pada kesempatan yang sama, Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika mengatakan telah menerima dan menangani 38 pengaduan mengenai permasalahan asuransi, di luar jenis asuransi sosial pada sistem jaminan sosial nasional hingga akhir tahun lalu.

Dari laporan tersebut, Ombudsman memetakan aduan itu ke dalam beberapa aduan pokok. Ternyata, paling banyak merupakan aduan terkait gagal bayar perusahaan asuransi sebesar 41%. "Seperti halnya yang terjadi pada asuransi AJB Bumiputera dan Jiwasraya," kata Yeka.

Selain itu, aduan yang masuk juga datang dari masyarakat soal rumitnya pengajuan klaim pada asuransi sebesar 29%. Sementara 21% sisanya,  terkait rumitnya pencairan dana asuransi tersebut.

Reporter: Ihya Ulum Aldin