PT Bank Jago Tbk diperkirakan mengalami peningkatan rasio kapitalisasi pasar terhadap nilai buku atau price to book ratio (P/B ratio) sebesar 30,7 kali atau melonjak 3,04 dari rerata P/B ratio dalam lima tahun terakhir.
Saat ini, nilai kapitalisasi pasar Bank Jago telah mencapai Rp 254,6 triliun. Pada perdagangan Kamis (29/7) hari ini, harga sahamnya melonjak berada di level Rp 18,375. Nilai itu melonjak tiga kali lipat lebih dari posisi saham enam bulan lalu yang hanya di level Rp 4.661.
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia Rizkia Darmawan mengatakan kerja sama bank digital ini dengan aplikasi raksasa Gojek dan platform investasi Bibit akan menjadi katalis pendapatan positif bagi Bank Jago.
Rizkia meyakini peleburan usaha (merger) antara Gojek Indonesia dan Tokopedia menjadi GoTo akan berdampak positif bagi Bank Jago. Potensi dari 11 juta mitra Usaha Menengah Kecil Mikro (UMKM) gabungan dari GoTo dapat diterjemahkan ke dalam pertumbuhan besar. Tidak hanya terkait jumlah nasabah, tetapi juga nilai pinjaman dan pendanaan untuk Bank Jago.
Sementara itu, integrasi Dompet Jago ke platform investasi Bibit dinilai akan menarik minat nasabah muda untuk berinvestasi secara otomatis melalui akun Jago ke produk investasi Bibit.
Kami percaya sinergi antara Bank Jago dan penyedia layanan keuangan digital lain, serta fitur inovatif tambahan akan menjadi katalis pendapatan positif bagi Bank Jago di masa depan," katanya dalam riset tertulis, Kamis (29/7).
Ancaman Pertumbuhan Jangka Panjang
Kendati demikian, emiten berkode saham ARTO ini juga menghadapi sejumlah risiko, antara lain eksekusi yang buruk pada integrasi lintas platform, dan persaingan dari bank-bank besar yang mulai memperkuat ekosistem digitalnya. Terdapat pula risiko regulasi yang bisa terjadi, terkait produk dan layanan di masa mendatang.
Rizkia mengatakan persaingan yang ketat dengan bank-bank besar yang memperkuat ekosistem bank digital akan menjadi ancaman pertumbuhan Bank Jago dalam jangka panjang.
"Kami memiliki beberapa kekhawatiran tentang kemampuan Jago untuk mengambil dana dari deposan," ujarnya.
Salah satu kekhawatirannya, lanjut dia, bank digital biasanya tidak memiliki banyak cabang atau ATM, sehingga pelanggan harus bergantung pada bank lain untuk mentransfer dana mereka ke bank digital. Dengan adanya biaya transfer, hal itu menimbulkan keraguan nasabah untuk membuka rekening bank digital.
"Jika kasus penggunaan yang ditawarkan bank digital tidak cukup menarik, pelanggan mungkin tidak bersedia melakukannya," katanya.
Selain itu, bank merupakan lembaga keuangan berbasis kepercayaan. Bank Jago membutuhkan lebih banyak upaya dan waktu untuk membangun reputasi sebelum calon nasabah bersedia membuka rekeningnya,
Berdasarkan data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), sebanyak 80,5% dari total pendanaan bank didominasi oleh nasabah dengan besaran pendanaan lebih dari Rp 200 juta. Oleh karena itu, hanya ada ceruk pasar yang tersisa bagi bank digital untuk bersaing satu sama lain.
Oleh karena itu, menurut dia, ekosistem digital yang mapan berperan penting dalam menentukan keberhasilan Bank Jago untuk meraih pendanaan.
Transformasi ARTO Menjadi Bank Digital
Pada tahun 1992, Bank Jago didirikan dengan nama PT Bank Artos Indonesia Tbk. Dalam perkembangannya, 2019 lalu, perusahaan memulai transformasinya menjadi bank berbasis teknologi, setelah diakuisisi oleh PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (MEI) dan Wealth Track Technology Limited (WTT).
Pada tahun 2020, PT Dompet Karya Anak Bangsa, perusahaan yang memiliki entitas penyedia e-wallet, GoPay, mengakuisisi 22,2% dari total saham perusahaan. Masih di tahun yang sama, perusahaan berubah nama menjadi PT Bank Jago Tbk. Saat ini, bank memiliki total modal Rp 8 triliun dan diklasifikasikan sebagai bank buku III.
Sebagai bank berbasis teknologi, Bank Jago menawarkan solusi keuangan digital dan fitur perbankan reguler melalui aplikasinya. Fitur itu dapat mempersonalisasi tujuan tabungan dan investasi.
Pada semester II 2021, Bank Jago membukukan rugi bersih Rp 46,8 miliar, menyusut dibanding kerugian pada periode yang sama tahun lalu Rp 50,9 miliar. Pendapatan bunga bersih pada enam bulan pertama tahun ini tumbuh 168% menjadi Rp 139,1 miliar, dari periode yang sama tahun lalu Rp 52 miliar.
"Dengan meningkatnya transaksi di perbankan digital, kami yakin Bank Jago akan mampu membukukan laba positif pada semester II 2021," ujar Rizkia.
Kinerja pembiayaan tumbuh 359% menjadi Rp 2,4 triliun dibanding periode sebelumnya Rp 527 miliar. Hal itu terutama berasal dari pinjaman kemitraan dan ekosistem yang berkembang.
Bank Jago mengoleksi dana murah tumbuh signifikan menjadi Rp 771,4 miliar atau melonjak dari raihan tahun sebelumnya Rp 257,6 miliar. Hal ini didukung oleh peningkatan pengguna di aplikasi Jago. Deposito berjangka berada di level Rp 1,9 triliun pada semester II 2021, atau tumbuh 182% dari periode sebelumnya Rp 678 miliar.