Potensi resesi ekonomi global semakin kuat, diiringi dengan munculnya isu beberapa negara yang diperkirakan akan bangkrut. Di dalam negeri, laju inflasi semakin tinggi, belum lagi kondisi nilai tukar rupiah yang melemah sampai hampir ke level Rp 15.000 terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat terkait aktivitas ekonomi dan kelangsungan hidupnya di masa mendatang. Sebagian besar investor juga kehilangan arah dalam menentukan instrumen yang tepat untuk menyimpan dananya, dan berinvestasi tanpa harus menanggung risiko kerugian yang besar.
Perencana keuangan, Freddy Pieloor menyarankan investor untuk memilih instrumen investasi secara detail, spesifik, dan tanpa perlu tergesa-gesa. Tolak ukur dalam memilih instrumen investasi harus berdasarkan pada tujuan investasi, yakni jangka pendek, jangka menengah, atau jangka panjang
Pada dasarnya, instrumen investasi terbagi menjadi dua jenis, yakni aset nyata atau riil asset, dan aset tak nyata atau biasa disebut paper asset. Aset nyata pada umumnya berupa properti dan aktivitas bisnis secara langsung. Sedangkan, paper asset biasanya berupa reksa dana, deposito, saham, dan lainnya.
Di tengah kondisi krisis dan berpotensi resesi seperti saat ini, dia menyarankan masyarakat untuk lebih memilih aset nyata, yakni berupa aset properti.
Dalam berinvestasi properti, masyarakat perlu mengetahui kondisi keuangannya. Selain itu, investor juga perlu mempertimbangkan lokasi properti berada, baik untuk saat ini maupun prospek di masa akan datang.
Dia memberi contoh, misalnya mempertimbangkan investasi properti di wilayah Kalimantan seiring kebijakan pemerintah yang akan memindahkan Ibu Kota Negara ke wilayah tersebut.
“Untuk riil asset mungkin ada beberapa tempat lokasi yang masih bisa kita dapatkan harga yang lebih baik,”kata Freddy saat dihubungi tim Katadata, Rabu (13/7).
Di sisi lain, menurut dia, investasi saham tidak menjadi prioritas untuk sementara itu. Maka itu, investor yang aktif dalam pasar saham sebaiknya lebih jeli dalam menaruh aset investasinya.
“Saat ini belum ada investasi yang tepat untuk paper aset. Kemarin mungkin yang sudah punya investasi di berbagai instrumen kan tentunya masih mengalami minus ya, terutama di saham,”ujarnya.
Selain itu, Freddy mengatakan, emas juga tidak menjadi pilihan utama karena aset ini hanya untuk melindungi nilai, tidak mengalami pertumbuhan yang signifikan. Berbeda dengan properti atau saham yang mengalami fluktuasi harga.
Di sisi lain, Pengamat keuangan, Ahmad Gozali, memiliki pendapat berbeda. Menurut dia, investasi di sektor properti menjadi hal yang kurang menarik di tengah kenaikan suku bunga, karena harga properti otomatis melambung. Terlebih, jika dibarengi dengan inflasi tinggi.
“Sektor properti kurang menarik di saat kenaikan suku bunga karena harga properti menjadi naik, apalagi jika dibarengi dengan inflasi tinggi juga,” paparnya.
Menurut dia, masyarakat harus menyesuaikan strategi investasinya di saat resesi global. Dikatakan bahwa resesi global saat ini memiliki indikator inflasi yang tinggi, diimbangi dengan kenaikan suku bunga, diawali oleh bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed).
“Di Indonesia suku bunga masih belum berubah, tapi nampaknya akan terjadi juga untuk mengimbangi suku bunga AS agar rupiah tidak terlalu melemah,”katanya.
Menurut dia, kenaikan suku bunga juga berimbas negatif pada saham-saham sektor perbankan. Jika suku bunga naik, lanjutnya, maka imbal hasil (yield) obligasi menjadi turun, atau menjadi kurang menarik. Maka itu, investor disarankan mulai mengurangi investasi berbasis obligasi seperti, ORI, sukuk, atau reksadana pendapatan tetap.
Di sisi lain, kenaikan suku bunga AS berefek pada penurunan harga emas yang diukur dalam dolar AS. Jika Indonesia sudah ikut menaikkan suku bunga dan rupiah menguat, maka harga emas internasional menjadi lebih lemah lagi.
“Mungkin saat yang baik untuk membeli di harga murah, karena jika resesinya berkepanjangan, biasanya harga emas akan naik lagi,”tambahnya.
Hal terpenting yang perlu diingat, masyarakat perlu memahami bagaimana memilih investasi yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masing-masing di tengah kondisi krisis dan berpeluang menghadapi resesi seperti saat ini.