Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan tengah mengkaji perubahan status penggunaan bandar udara (bandara) dari internasional menjadi domestik. Dalam kajian ini, ada delapan bandara yang diusulkan berubah status penggunaannya.
Terkait usulan perubahan status delapan bandara ini, Direktur Jenderal Perhubungan Udara Novie Riyanto R telah menyurati Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi. Usulan perubahan status merupakan tindak lanjut hasil evaluasi tim yang dibentuk pada 2019. Ini juga sesuai arahan rapat pada 14 Juli 2020 lalu.
Dalam surat tersebut juga disebutkan delapan bandara yang diusulkan berubah status penggunaannya adalah Bandara Maimun Saleh di Sabang, RH Fisabilillah di Tanjung Pinang, Radin Inten II di Lampung, dan Pattimura di Ambon. Kemudian Bandara Banyuwangi di Jawa Timur, Frans Kaisiepo di Biak, Husein Sastranegara di Bandung, dan Mopah di Merauke.
Meski begitu, dalam surat yang salinannya didapatkan oleh Katadata.co.id ini tidak merinci alasan perubahan status penggunaan bandara. Rencana ini masih dibahas lebih lanjut karena pihak Ditjen Perhubungan Udara belum bisa memastikan kapan realisasi perubahan ini bisa diterapkan.
PT Angkasa Pura I (Persero) yang merupakan operator bandara di Indonesia bagian tengah hingga timur mengaku rencana ini bakal membawa dampak positif bagi perusahaan. Makanya, AP I mendukung dengan siap berdiskusi dan melakukan kajian atas rencana ini bersama pemangku kepentingan.
"Rencana ini tentu cukup baik karena dapat mendukung efisiensi dan konektivitas udara nasional," kata VP Corporate Secretary AP I Handy Heryudhitiawan kepada Katadata.co.id, Kamis (12/11).
Menurut Handy, ada perbedaan dalam pengelolaan bandara dengan status internasional dengan domestik. Bandara berstatus internasional melibatkan dukungan dari banyak pihak dalam pengelolaannya. Lalu lintas penerbangan dan pengguna jasa dari mancanegara, perlu berbagai fasilitas dan infrastruktur. Seperti adanya imigrasi, bea cukai, dan karantina kesehatan.
"Fasilitas dan infrastruktur pendukung tersebut, tentu membuat biaya operasional menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan operasional bandara berstatus domestik," ujar Handy. Berbeda dengan penerbangan berstatus domestik yang tidak terlalu banyak pihak yang terlibat.
Hal senada juga disampaikan oleh PT Angkasa Pura II (Persero), operator bandara di Indonesia bagian tengah dan barat yang bakal mengikuti arahan dari regulator. Untuk meningkatkan lalu lintas penerbangan internasional, AP II tengah menyiapkan kemitraan strategis untuk dijadikan hub internasional.
"Dalam hal ini kami juga sedang mempersiapkan kemitraan strategis Bandara Kualanamu, Medan, sebagai hub internasional di barat Indonesia," kata VP Corporate Communications Angkasa Pura II Yado Yarismano kepada Katadata.co.id, Kamis (12/11).
AP II memperkirakan akan ada peningkatan penerbangan, baik di rute domestik maupun internasional pada periode November dan Desember 2020. Untuk rute domestik, pendorong meningkatnya adalah adanya hari libur panjang cuti bersama pada akhir tahun ini.
Sementara itu, peningkatan rute internasional seiring dengan dibukanya penerbangan umrah mulai awal November ini. Selain itu, peningkatan juga terjadi karena adanya Travel Corridor Arrangement (TCA) antara Indonesia dengan beberapa negara yakni Uni Emirat Arab, Korea Selatan, Tiongkok, dan Singapura.
"Dibukanya kesempatan WNI untuk beribadah umrah merupakan kepercayaan yang diberikan kepada Indonesia," ujar ujar Presiden Direktur AP II Muhammad Awaluddin.
Secara kumulatif, jumlah penumpang yang melakukan perjalanan di bandara AP II pada periode Januari hingga Oktober 2020 sebanyak 29,44 juta orang. Dengan prediksi peningkatan di dua bulan terakhir ini, AP II memperkirakan ada penambahan penumpang sebanyak 5,56 juta hingga 10,56 juga penumpang.
Perubahan Status Menguntungkan Pengelola Bandara
Pengamat penerbangan Gatot Raharjo mengatakan langkah degradasi bandara internasional merupakan langkah yang menguntungkan. Dengan perubahan status menjadi bandara domestik, salah satu keuntungannya adalah efisiensi biaya karena tak perlu lagi menyediakan sarana CIQ (custom, immigration and quarantine) di bandara tersebut.
Menurutnya, perubahan status ini pun membuat pasar maskapai nasional tidak direbut oleh maskapai asing. Dalam penerbangan internasional, akan berlaku perjanjian resiprokal antarnegara tujuan, sehingga penerbangan dari maskapai Indonesia harus sama banyaknya dengan maskapai asing.
"Biasanya maskapai kita kalah bersaing, sehingga akhirnya rute tersebut cuma dilayani maskapai asing," kata Gatot kepada Katadata.co.id, Kamis (12/11).
Perubahan status ini juga bisa menjadi langkah negara melakukan penghematan devisa. Karena banyak bandara internasional yang justru hanya digunakan masyarakat Indonesia untuk pergi ke luar negeri, bukan memasukkan turis ke Indonesia. Karena itu, devisa Indonesia banyak tersedot ke luar negeri.
Menurutnya, seharusnya bandara internasional dibatasi, seperti menggunakan metode hub. Dengan metode ini, penerbangan dari dan ke luar negeri, dipusatkan pada kota-kota tertentu, kemudian penerbangan lanjutan di dalam negeri dilakukan oleh maskapai nasional.
"Untuk itu pengaturan slot penerbangan harus lebih ditingkatkan. Sehingga koneksi antarpenerbangan akan terjadi lebih cepat, transitnya tidak terlalu lama. Jadi penumpang tetap bisa mencapai tujuan dengan cepat," ujar Gatot.