PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mencatatkan kerugian hingga US$ 384,34 juta atau setara Rp 5,56 triliun sepanjang triwulan I-2021, di tengah pandemi Covid-19 yang belum berakhir. Kerugian tersebut, lebih besar 219% dibandingkan periode yang sama tahun lalu, ketika Garuda rugi US$ 120,16 juta.
Berdasarkan laporan keuangan maskapai nasional tersebut, total pendapatan usaha tercatat senilai US$ 353,07 juta pada triwulan I-2021 atau menurun hingga 54,03% dibanding US$ 768,12 juta pada tiga bulan pertama tahun lalu.
Pendapatan usaha Garuda mayoritas masih berasal dari penerbangan berjadwal yang nilainya US$ 278,22 juta. Pendapatan pada triwulan I-2021 tersebut turun hingga 57,49% dibanding periode sama tahun lalu senilai US$ 654,52 juta.
Selain itu, pendapatan usaha lainnya yang dicatatkan Garuda hanya US$ 52,06 juta saja. Catatan tersebut juga mengalami penurunan hingga 51,92% dibandingkan tiga bulan pertama tahun lalu yang senilai US$ 108,27 juta.
Meski begitu, pendapatan usaha Garuda yang berasal dari penerbangan tidak berjadwal tercatat mengalami kenaikan signifikan hingga 328%. Pasalnya, pada triwulan I-2021 pendapatan dari sektor tersebut senilai US$ 22,78 juta sedangkan pada triwulan I-2020 hanya US$ 5,31 juta saja.
Di tengah pendapatan usaha yang turun, Garuda berhasil memangkas total beban usaha, dimana hingga Maret 2021 tercatat senilai US$ 702,17 juta. Nilai tersebut, mengalami penurunan 25,75% secara tahunan dari yang senilai US$ 945,7 juta.
Beban usaha terbesar Garuda berasal dari beban operasional penerbangan yang nilainya mencapai US$ 392,25 juta, turun 25,38% secara tahunan dari US$ 525,65 juta. Pos beban lainnya seperti beban bandara, hotel, transportasi, atau beban tiket kompak mengalami penurunan.
Meski begitu, beban pemeliharaan dan perbaikan yang senilai US$ 159,73 juta pada triwulan I-2021, tercatat mengalami kenaikan 24,28% secara tahunan dari yang sebelumnya senilai US$ 128,52 juta.
Garuda Indonesia tercatat memiliki total aset mencapai US$ 10,57 miliar per Maret 2021, terdiri dari aset lancar senilai US$ 485,51 juta sedangkan aset tidak lancar mencapai US$ 10,09 miliar. Tampaknya, total aset Garuda tidak lebih besar dibandingkan total liabilitasnya.
Dalam laporan keuangan tersebut tercatat, total liabilitas Garuda pada Maret 2021 mencapai US$ 12,9 miliar. Liabilitas tersebut terdiri dari liabilitas jangka pendek senilai US$ 4,55 miliar sedangkan liabilitas jangka panjangnya mencapai US$ 8,34 miliar.
Dari catatan tersebut terlihat, liabilitas jangka pendek Garuda melebihi aset lancarnya dengan selisih mencapai US$ 4,07 miliar. Maskapai yang sebagian sahamnya juga dimiliki pebisnis Chairul Tanjung tersebut, juga mencatatkan ekuitas negatif US$ 2,32 miliar pada Maret 2021.
Dalam laporan keuangan tersebut, manajemen Garuda mengatakan kondisi keuangan ini disebabkan pandemi Covid-19 yang diikuti dengan pembatasan perjalanan. "Telah menyebabkan penurunan perjalanan udara yang signifikan dan memiliki dampak buruk pada operasi dan likuiditas Garuda," kata manajemen Garuda.
Secara spesifik, manajemen Garuda mengaku belum dapat memenuhi kewajiban keuangannya kepada bank, vendor yang signifikan. Seperti kepada PT Pertamina (Persero) untuk pembelian bahan bakar, PT Angkasa Pura I (Persero) dan PT Angkasa Pura II (Persero) sebagai operator bandara, dan lessor pesawat.
Ketidakmampuan Garuda untuk memenuhi kewajibannya kepada lessor mengakibatkan pelarangan penggunaan (grounding) pesawat sewa tertentu. Perjanjian-perjanjian pinjaman Garuda memiliki batasan rasio keuangan yang tidak dapat dipenuhi oleh Garuda.
Manajemen menilai, bila Garuda tidak dapat memenuhi persyaratan ini, pinjaman-pinjaman ini dapat jatuh tempo segera jika diminta oleh pemberi pinjaman. Perjanjian pinjaman ini umumnya juga memiliki persyaratan cross-default.
"Kondisi-kondisi di atas menunjukkan adanya ketidakpastian material yang dapat menimbulkan keraguan signifikan tentang kemampuan Grup untuk mempertahankan kelangsungan usahanya," kata manajemen Garuda.
Upaya Garuda Mengurangi Tekanan Likuiditas
Manajemen Garuda mempertimbangkan secara cermat likuiditas masa depan dan kinerja perusahaan. Pertimbangan lainnya adalah sumber pembiayaan yang tersedia untuk mengukur kecukupan keuangan bagi kelangsungan usahanya.
Ada langkah-langkah tertentu yang telah atau akan diambil untuk mengurangi tekanan likuiditas dan untuk meningkatkan posisi keuangan Garuda ke depan. Seperti melakukan negosiasi kepada kreditur agar Garuda mendapatkan relaksasi pembayaran utang. Terbaru, tiga bank BUMN bersedia merestrukturisasi utang Garuda senilai Rp 10 triliun.
Langkah selanjutnya, melakukan negosiasi dengan lessor untuk mendapatkan skema yang lebih baik bagi operasional Garuda, termasuk pada pengurangan pembayaran sewa bulanan dan dana cadangan pemeliharaan, dan mengubah ke pengaturan power by the hour.
"Melakukan rasionalisasi positif jumlah karyawan sesuai dengan rencana jangka panjang perusahaan," kata manajemen Garuda terkait upaya lainnya dalam mengurangi tekanan likuiditas.
Garuda juga terus mengajukan permohonan kepada instansi yang berwenang di Pemerintah untuk pencairan sisa dana fasilitas Obligasi Wajib Konversi (OWK). Lalu, memohon kepada instansi yang berwenang di pemerintah agar Garuda mendapatkan relaksasi pembayaran kewajiban perpajakannya.
"Memohon dukungan keuangan dan persetujuan dari instansi yang berwenang di pemerintah agar grup dapat menjalankan restrukturisasi keuangan dan operasional grup," kata manajemen Garuda.