Ekonom Senior Standard Chartered Bank Indonesia Aldian Taloputra memperkirakan nilai tukar rupiah bisa kembali menembus level 15.100 per dolar Amerika Serikat (AS) pada 2020. Ini lebih lemah dibandingkan proyeksi untuk nilai tukar rupiah tahun ini yakni paling tinggi 14.600 per dolar AS. Pelemahan imbas mengetatnya likuiditas global.
"Pengetatan likuiditas global tersebut disebabkan oleh penurunan neraca bank sentral di negara maju," kata dia kepada katadata.co.id, akhir pekan lalu.
Ia menjelaskan, bank sentral negara maju telah melakukan injeksi likuiditas besar-besaran saat terkena krisis finansial pada 2008. Namun, kondisi ekonomi telah berangsur-angsur pulih sehingga bank sentral akan menarik kembali likuiditas tersebut. Alhasil, likuiditas yang selama ini mengalir ke pasar keuangan negara berkembang bakal kembali ke negara maju.
(Baca: Rupiah Perkasa, Ekonom Sebut Pelaku Pasar Buru Aset Keuangan Indonesia)
Selain itu, proyeksi pelemahan rupiah juga mempertimbangkan tingginya impor. Ia memperkirakan permintaan domestik masih akan menguat ehingga barang impor akan meningkat. Hal ini akan mengurangi pasokan dolar AS di dalam negeri sehingga rupiah melemah.
Meski di tengah pelemahan rupiah, ia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,3% pada 2020, lebih baik dibandingkan proyeksinya untuk tahun lalu dan tahun ini yaitu masing-masing 5,1%. Pertumbuhan ekonomi disokong oleh terjaganya konsumsi dan pemulihan investasi yang lebih merata.
Pendapat senada disampaikan Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Industri (Kadin) Shinta Widjaja Kamdani. Ia memperkirakan sektor industri akan menggeliat pada 2020. "Sayangnya karena ketersediaan bahan baku/barang penolong kita tidak cukup, mau tidak mau pengusaha harus impor," ujarnya.
(Baca: Bahas Rupiah, Gubernur BI Singgung Kebijakan Lanjutan Substitusi Impor)
Di sisi lain, ekonomi global diperkirakan belum akan tumbuh tinggi. Bahkan, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini sebesar 0,2% menjadi 3,5% dan tahun depan sebesar 0,1% menjadi 3,6%. Seiring kondisi tersebut, perdagangan dunia diproyeksi menurun dan berimbas pada ekspor yang melemah.
Terlebih lagi, daya saing produk ekspor Indonesia masih rendah. "Hal ini akan sangat menekan rupiah dan neraca transaksi berjalan (neraca perdagangan barang dan jasa)," ujarnya.
Meski begitu, Shinta memperkirakan ekonomi domestik masih akan relatif stabil bila tidak ada tekanan eksternal yang luar biasa. Ini termasuk yang terkait dengan pengetatan likuiditas global. Namun, pemerintah tetap perlu berhati-hati. "Harus hati-hati dalam menerapkan kebijakan, khususnya kebijakan fiskal," kata dia.