Sesuai prediksi, kenaikan bertahap bunga acuan Amerika Serikat (AS) alias Fed Fund Rate membuat negara berkembang harus menghadapi arus balik modal asing (capital reversal) yang selama ini membanjiri pasar keuangannya. Imbasnya, permintaan dolar AS meningkat dan banyak negara menghadapi tekanan nilai tukar mata uang, termasuk Indonesia.
Bank Indonesia (BI) bergerak cepat di bulan Mei, menaikkan bunga acuan dua kali dalam sebulan total 0,5% lewat Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan rutin dan tambahan. Dalam konferensi pers usai RDG tambahan, Gubernur baru BI Perry Warjiyo mengatakan, kenaikan bunga acuan tersebut merupakan bagian dari langkah kebijakan jangka pendek untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di tengah banyaknya tantangan eksternal.
Secara kronologis, Perry menjelaskan, kenaikan bertahap Fed Fund Rate bersama isu lain, yaitu defisit fiskal AS dan persoalan geopolitik telah membuat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS naik dan dolar AS perkasa sehingga memicu arus keluar dana asing, bukan hanya dari pasar modal negara berkembang, tapi juga negara maju, serta melemahkan mata uangnya.
Berdasarkan data Bloomberg, sepanjang tahun ini (year to date) hingga sehari sebelum RDG bulanan tambahan atau Selasa (29/5), nilai tukar rupiah tercatat melemah 3,25%. Seperti yang sering dinarasikan BI, pelemahan tersebut bukan yang terburuk di dunia.
Pada rentang waktu yang sama, mata uang beberapa negara Amerika Selatan anjlok parah. Tiga terlemah yaitu real Brazil jatuh 12,88%, peso Argentina 32,67%, Bolivar Venezuela 799.900%. Sementara itu, di kawasan Eropa, rubble Rusia merosot 8,68%, krona Swedia 9,26%, lira Turki 20,69%.
Di Asia Pasifik, rupiah berada di jajaran mata uang paling lemah, meski lebih baik dibandingkan dolar Australia yang turun 3,53%, peso Filipina 5,7%, dan rupee India 6,4%. Lantas, apakah kenaikan bunga acuan bakal membantu meredam gejolak nilai tukar rupiah?
Beberapa ekonom menilai dalam kondisi pengetatan moneter negara maju, Indonesia memang perlu berjalan searah. Apalagi, Fed Fund Rate diproyeksi akan naik dua kali lagi tahun ini, dan berlanjut tiga kali lagi tahun depan. Jika tak diantisipasi, tekanan arus keluar modal asing berisiko terus berlanjut.
Dalam sebuah diskusi di awal Mei 2018, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Tony Prasetiantono mengatakan kebijakan menaikkan bunga acuan lebih baik daripada harus menghamburkan cadangan devisa untuk mengintervensi rupiah.
Kenaikan bunga acuan diharapkan bisa meningkatkan daya tarik penempatan dana dalam rupiah. Dengan begitu, bisa meredam kemungkinan orang berbondong-bodong beralih ke penempatan dana dalam aset ataupun mata uang dolar AS.
"Meski tidak ada jaminan (kenaikan bunga acuan) bisa menjaga depresiasi (kurs rupiah) tapi setidaknya mengurangi beban cadangan devisa," kata Tony.
BI tercatat telah menggelontorkan Rp 7,08 triliun sepanjang Februari hingga April 2018, di antaranya untuk kebutuhan stabilisasi kurs rupiah terhadap dolar AS. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa berada di angka Rp 124,86 triliun.
(Baca juga: Gubernur BI: Masih Ada Ruang Kenaikan Bunga Acuan)
Namun, ada juga ekonom yang berpendapat lain. Kenaikan bunga acuan dinilai justru bisa memicu arus keluar kian deras. Penyebabnya, kenaikan bunga acuan bakal menyebabkan laju ekonomi melemah sehingga mengurangi daya tarik investasi di Indonesia. BI dinilai masih bisa menggunakan cadangan devisa untuk meredam pelemahan nilai tukar rupiah. Kenaikan bunga acuan 0,5% dalam sebulan pun dianggap terlalu berlebihan, apalagi level inflasi masih terkendali.
Terlepas dari pro kontra kenaikan agresif bunga acuan. Nilai tukar rupiah tercatat menguat setelah BI terus memberikan sinyal kuat kenaikan lanjutan bunga acuan hingga betul-betul merealisasikannya melalui RDG tambahan 30 Mei 2018 lalu.
Mengacu pada data Bloomberg, nilai tukar rupiah berhasil menguat dalam dua pekan belakangan atau sejak Kamis (24/5). Total penguatannya mencapai 2,32% ke level 13.880 per dolar AS pada Selasa (5/6). Nilai tukar rupiah mampu menguat meskipun indeks dolar AS dalam tren naik mendekati akhir Mei lalu sebelum bergerak turun.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut modal asing mulai kembali masuk ke pasar saham dan obligasi sejak Kamis (24/5). Total arus masuk telah mencapai Rp 13 triliun. “Inflow mulai masuk terutama ke SBN. Dan itu menambah pasokan di pasar valas,” kata dia saat rapat kerja dengan Komisi Keuangan DPR, Selasa (5/6).
Gejolak Nilai Tukar Rupiah Terus Membayangi
Risiko gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih bakal terus membayangi. Persoalannya, Indonesia, seperti tiga negara Asia Pasifik lain yang mata uangnya terpukul paling dalam, mengalami persoalan sama: defisit transaksi berjalan (current account defisit). Kondisi defisit menunjukkan ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan valuta asing (valas) dari perdagangan internasional suatu negara.
Selama ini, Indonesia terbantu oleh pasokan valas dari arus masuk modal asing ke pasar keuangan domestik untuk menambal defisit tersebut. Tak ayal, setiap kali ada arus keluar yang cukup besar, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bergejolak, demikian juga tampak pada awal tahun ini.
Pada kuartal I 2018 lalu, defisit transaksi berjalan Indonesia tercatat sebesar US$ 5,5 miliar. Nominal tersebut dua kali lipat defisit pada kuartal I 2017. Penyebabnya, pertumbuhan impor yang lebih tinggi dibandingkan ekspor. Sementara itu, imbas arus keluar dana asing dari pasar modal, surplus transaksi modal dan finansial tercatat hanya sebesar US$ 1,9 miliar atau yang terendah dalam lebih dari dua tahun belakangan.
Adapun perbaikan transaksi berjalan tidak bisa dalam tempo singkat. Di satu sisi, pertumbuhan impor, seperti dijelaskan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sebetulnya bukan hal buruk. Sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS), impor yang melonjak tersebut kebanyakan berupa barang modal dan bahan baku untuk industri yang baik bagi perekonomian.
Di sisi lain, perbaikan kinerja ekspor masih jadi peer pemerintah. Persoalan ini bahkan sempat membuat Presiden Joko Widodo geram. Selepas melawat negara-negara Asia Selatan pada Januari tahun ini, Presiden Joko Widodo menegur Menteri Perdagangan saat rapat kerja nasional Kementerian Perdagangan di Istana Negara. Ia mempertanyakan banyaknya destinasi ekspor potensial yang belum digarap Indonesia.
(Baca juga: Luput Garap Ekspor ke Pakistan dan Bangladesh, Jokowi Tegur Kemendag)
Menanggapi teguran tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat menyebut koordinasi dan sinergi yang lemah antarkementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah (Pemda) jadi penyebab sulitnya menggenjot ekspor.
"Semua kerja keras kayaknya. Semuanya kayaknya kerja luar biasa banyak, tapi hasilnya lebih kecil dari (kerja keras) masing-masing. Itu berarti kami kerja keras habis di dalam kerjanya itu sendiri, bukan mencapai tujuannya. Inilah yang disebut dari kelemahan koordinasi dan sinergi," kata dia dalam suatu acara di Hotel Borobudur, Jakarta, awal Februari lalu.
Lantaran perbaikan defisit transaksi berjalan tak mungkin instan, modal asing di pasar keuangan domestik terus menjadi semacam buah simalakama. Di satu sisi, Indonesia membutuhkannya untuk menambal defisit transaksi berjalan. Di sisi lain, besarnya modal asing tersebut menjadi faktor risiko bagi ekonomi Indonesia.
(Baca juga: Jaga Rupiah, Pemerintah Perlu Perpanjang Masa Tahan Obligasi Negara)
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, per 31 Mei 2018, kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) tercatat sebesar Rp 833,31 triliun atau 38,15% terhadap total SBN yang bisa diperdagangkan. Nominal tersebut susut Rp 46,89 triliun dari posisi tertingginya sepanjang tahun ini yang sebesar Rp 880,2 triliun atau 41% terhadap total SBN yang dapat diperdagangkan.
Adapun dari jumlah tersebut, dana yang cenderung stabil yaitu sebesar Rp 144-148 triliunan lantaran dipegang oleh bank sentral maupun pemerintah negara lain.