Pemerintah menggelar pertemuan dengan pelaku usaha dari 40 institusi di kantor Direktorat Jenderal Pajak pada Jumat (11/5) lalu. Dalam pertemuan tersebut, pemerintah menjelaskan kondisi perekonomian terkini di tengah gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Usai pertemuan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menggelar Konferensi Pers bersama anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk memaparkan hasil pertemuan tersebut dan perkembangan ekonomi. “Mereka (pelaku usaha) masih optimistis terhadap policy dan kinerja ekonomi Indonesia,” kata dia, Jumat (11/5).

(Baca juga: Pertamina Lakukan Lindung Nilai Hadapi Gejolak Rupiah)

Menurut dia, para pelaku usaha memahami bahwa gejolak nilai tukar rupiah terjadi imbas faktor eksternal, bukan domestik. Adapun dari sisi domestik, ia memaparkan kondisi Anggaran Penerimaan dan Belanja (APBN) 2018 jauh lebih kuat dibandingkan tahun sebelumnya. Indonesia memiliki ruang fiskal apabila dibutuhkan dalam menjaga gejolak perekonomian dari luar.

Ruang fiskal tersebut seiring dengan defisit APBN yang dipatok rendah yaitu 2,19% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah batas yang diatur Undang-Undang Keuangan Negara yaitu 3% terhadap PDB.

Sampai akhir April, realisasi APBN diklaim postif, ditandai dengan defisit APBN yang mencapai Rp 55,1 triliun. Defisit tersebut jauh lebih kecil dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai Rp 72,2 triliun.

Bahkan, keseimbangan primer tercatat mengalami surplus Rp 24,2 triliun atau jauh lebih besar dibandingkan periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 3,7 triliun. Keseimbangan primer adalah total penerimaan negara dikurangi belanja, di luar pembayaran bunga utang. Kondisi surplus menunjukkan meningkatnya kemampuan negara membayar bunga utang. “Jadi APBN kita kuartal pertama sangat baik,” ujarnya.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menambahkan pelaku pasar menilai perkembangan ekonomi Indonesia dalam kondisi baik, dengan melihat pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2018 yang sebesar 5,06%. Pencapaian tersebut merupakan yang tertinggi untuk periode sama sejak 2015.

(Baca juga: Rupiah Kembali ke Level 13.000 Pasca Sinyal BI Kerek Bunga Acuan)

Adapun pelaku pasar memahami tekanan nilai tukar terjadi imbas kondisi global. Maka itu, tekanan nilai tukar juga dialami mata uang dunia lainnya, bukan hanya rupiah. “Kami sama-sama sepaham bahwa tantangan global terutama siklus bunga dan siklus geopolitik seputar perang dagang Tiongkok-Amerika mengakibatkan penguatan dolar,” kata dia.

Menurut catatan BI, sepanjang Mei 2018 (hingga 9 Mei) rupiah melemah 1,2%, bath Thailand 1,76%, dan Lira Turki 5,27%. Sementara itu, sepanjang 2018, rupiah melemah 3,67%, Peso Filipina 4,04%, rupee India 5,6%, real Brazil 7,9%, rubel Rusia 8,84%, dan lira Turki 11,42%. BI pun menyebut nilai tukar rupiah dalam beberapa pekan ini sudah tidak lagi sejalan dengan kondisi fundamental ekonomi Indonesia.

Di tengah gejolak nilai tukar rupiah, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Fauzi Ichsan menjelaskan, risiko bank masih terjaga. Hal itu tercermin dari indeks stabilitas perbankan LPS yang berada dalam kondisi normal, dan tidak ada indikasi masyarakat penyimpan dana menarik simpanan dalam skala besar. “Jadi keadaan masih aman,” ujarnya.