Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan bunga acuan BI 7 Days Repo Rate di level 4,25% dalam rapat yang digelar pada 18-19 Oktober. Keputusan tersebut dinilai konsisten dengan upaya menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, mendorong pemulihan ekonomi, dan dengan mempertimbangkan dinamika perekonomian global.
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo mengatakan, tingkat bunga acuan saat ini memadai untuk menjaga laju inflasi sesuai sasaran yakni 3-5% tahun ini dan defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) di level yang sehat.
Keputusan tersebut juga dibuat dengan mempertimbangkan risiko global. "Bank Indonesia tetap mewaspadai sejumlah risiko, baik yang berasal dari global terkait rencana pengetatan kebijakan moneter dan reformasi fiskal di AS serta tekanan geopolitik di Eropa dan semenanjung Korea,” kata Dody dalam Konferensi Pers di Gedung BI, Jakarta, Kamis (19/10).
Selain itu, ia menambahkan, BI juga mempertimbangkan risiko domestik berupa berlanjutnya konsolidasi sektor korporasi dan perbankan. Hingga Agustus lalu, pertumbuhan kredit tercatat masih rendah yaitu 8,3% secara tahunan, hanya sedikit lebih baik dari buolan sebelumnya yaitu 8,2%. Di sisi lain, rasio kredit seret (Non-Performing Loan/NPL) masih tinggi yaitu di level 3%.
Di samping mempertahankan bunga acuan, BI juga mempertahankan bunga fasilitas simpanan (deposit facility) di level 3,5% dan bunga fasilitas pinjaman (lending facility) di level 5%.
Adapun BI telah berkali-kali memangkas BI 7 Days Repo Rate. Terakhir kali, pemangkasan dilakukan pada September lalu yaitu sebesar 0,25%. Dengan demikian, BI 7 Days Repo Rate sudah dipangkas sebanyak 2% sejak tahun lalu.
Seiring dengan langkah agresif tersebut, lembaga pemeringkat dunia Moody's memberikan peringatan. Dalam keterangan resminya, Moody’s menilai BI perlu berhenti sejenak memangkas bunga acuan. BI perlu berhati-hati melonggarkan kebijakan moneter saat kebijakan moneter bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) lebih hawkish alias cenderung berubah.
Perubahan tersebut bisa memicu keluarnya dana asing (capital outflow). Adapun arus keluar dana asing bisa membuat tekanan ke nilai tukar rupiah. Dody pun tidak menampik soal risiko tersebut.
"Pengaruh nilai tukar karena eskternal cukup besar maka kami harus waspadai. Itu jadi dasar stance (ketetapan) kami policy rate (kebijakan bunga acuan) tidak berubah," kata dia. (Baca juga: Berisiko Lemahkan Rupiah, Bunga Acuan BI Diramal Tetap 4,25%)
Di sisi lain, Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih memandang pelonggaran moneter yang dilakukan BI sebelumnya sebagai langkah yang tepat. Sebab imbal hasil (yield) surat utang pemerintah juga sudah turun. Langkah BI tersebut akan mendorong perbankan melakukan hal yang sama yaitu penurunan bunga deposito dan kredit.
Namun, ia sepakat jika pada bulan ini BI menahan bunga acuan. Sebab, kondisi nilai tukar rupiah saat ini cukup bergejolak, yakni hampir mencapai Rp 13.500 per dolar AS. "Sekarang mungkin tidak (naik) karena rupiah sedang bergejolak ke level Rp 13.500 per dolar AS,” ucapnya.
Meski demikian, ia memandang ruang bagi BI menurunkan kembali bunga acuan tahun ini masih terbuka. Sebab, kenaikan bunga dana AS di akhir tahun sudah diekspektasi pasar.