Bank Indonesia (BI) memandang investasi asing masih akan mengalir ke negara yang pasarnya tengah berkembang (emerging market), termasuk Indonesia. Sebab, keuntungan yang ditawarkan lebih besar dibanding negara maju seperti Amerika Serikat (AS). Dengan kondisi itu, terbuka peluang nilai tukar rupiah menguat ke depan.

Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo mengatakan, tingkat bunga di negara berkembang lebih tinggi ketimbang negara maju. Maka itu, negara berkembang masih atraktif sebagai tujuan investasi. "Itu seharusnya menjadikan kita lebih optimistis," kata dia saat acara Economic and Banking Outlook di Hotel Le Meridien, Jakarta, Kamis (5/10).

(Baca juga: Investor Asing Diprediksi Kembali Masuk Pasar Modal Akhir Tahun)

Namun, Dody menekankan, fundamental ekonomi juga harus terus menguat untuk mendukung penguatan nilai tukar rupiah. Pertumbuhan ekonomi harus tetap terjadi, sedangkan inflasi dan defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) terjaga rendah.

Di sisi lain, iklim investasi juga harus dijaga dengan baik. Harapannya, investasi langsung asing (Foreign Direct Investment) bisa tumbuh tinggi sehingga menutup defisit transaksi berjalan. Dengan begitu, nilai tukar rupiah bisa terjaga stabil. (Baca juga: Investor Asing Diprediksi Kembali Masuk Pasar Modal Akhir Tahun)

"Selama kami positif dan ekspor di tahun depan juga positif, kemudian sepanjang kami masih melihat angka FDI besar, seharusnya enggak akan ada isu untuk ekonomi atau rupiah melemah," ujar dia.

Peluang penguatan rupiah juga disampaikan Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Damhuri Nasution. Hal itu dengan melihat tren defisit transaksi berjalan dan inflasi yang rendah.

Selain itu, kinerja emiten juga belum maksimal mengikuti pertumbuhan ekonomi yang meningkat ke atas 5%. Itu artinya, peluang ekspansi oleh korporasi ke depan masih besar sehingga FDI semestinya tetap tinggi dan menyokong pergerakan nilai tukar rupiah.

Menurut dia, nilai tukar rupiah saat ini juga belum mencerminkan fundamental ekonomi. Maka itu, penguatan nilai tukar masih terbuka lebar. "Saat ini rupiah juga masih undervalued (terlalu lemah) dibanding dengan nilai fundamentalnya sekitar Rp 12.500-Rp 13.000 per dolar AS," kata dia.

Meski begitu, ia mengakui sejumlah kondisi eksternal masih akan mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah. Kondisi eksternal yang dimaksud di antaranya kebijakan bank sentral AS hingga ketegangan geopolitik seperti yang terjadi di Korea Utara ataupun di Timur Tengah.

Namun, dengan peringkat layak investasi yang dimiliki Indonesia, ia optimistis modal asing tetap mengalir ke dalam negeri sehingga nilai tukar rupiah semestinya tetap berpeluang menguat. "Indonesia sudah dapat rating layak investasi dan Standard and Poor's (S&P) dan jangan lupa jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) bursa saham menguat. Ini semestinya juga rupiah menguat," kata Damhuri.