Pemerintah Segera Luncurkan Paket “Sakti” Pemacu Investasi

ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Sri Mulyani melihat dashboard layanan perizinan ekspor-impor dan waktu tunggu bongkar muat barang di kapal (dwelling time) di kantor pengelola portal INSW di Jakarta.
Penulis: Asep Wijaya
Editor: Yura Syahrul
15/8/2017, 13.22 WIB

Pemerintah akan kembali meluncurkan paket kebijakan ekonomi ke-16. Berbeda dari paket-paket sebelumnya, paket ini diklaim lebih sakti untuk memacu investasi di dalam negeri dan menyelesaikan hambatan-hambatan perizinan di daerah. 

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah menyelesaikan penyusunan paket kebijakan baru tersebut. Pada Senin pagi (14/8), rancangan paket itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Rencananya, paket kebijakan ini akan diterbitkan sebelum pelaksanaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Indonesia ke-72 pada Kamis mendatang (17/8). Namun, setelah Darmin bertandang ke Istana, Presiden meminta penerbitan paket itu ditunda setelah 17 Agustus.

Paket itu memuat “program besar” untuk mendorong laju investasi di Indonesia karena memuat satu model percepatan proses sinkronisasi kebijakan dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Sasaran utamanya adalah penatakelolaan perizinan.

Untuk memastikan penerapan paket kebijakan tersebut, pemerintah akan mewajibkan semua kementerian dan lembaga di tingkat pusat dan pemerintah kabupaten-kota di tingkat daerah membentuk satuan tugas khusus. Fungsinya mengawal, memantau dan memfasilitasi pelaksanaan paket ekonomi.

Dengan begitu, bakal ada kesamaan aturan yang merentang dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah untuk menggiatkan laju investasi di Indonesia. "Kebijakan ini wajib diikuti oleh seluruh kementerian, lembaga, gubernur, bupati dan walikota," kata Darmin.

Bagi institusi yang tidak patuh, paket ini memuat pemberian sanksi. Payung hukumnya adalah peraturan presiden (Perpres). “Sebenarnya, ini (paket kebijakan jilid 16) kan urusan Presiden yang dilaksanakan oleh menteri atau lembaga atau pemda. Kami minta setiap bulan laporan harus ada, kalau tidak, ya di situ (pengenaan sanksinya)."

Secara umum, menurut Darmin, aneka regulasi yang mengatur investasi saat ini sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang. Proses perizinan yang memakan waktu, misalnya, dianggap menyulitkan para investor. Karena itu, pemerintah perlu menerbitkan sebuah paket deregulasi besar yang dapat mengubah proses perizinan sehingga laju investasi berjalan maksimal.

Hingga kini, sebenarnya pemerintah telah mengeluarkan 15 paket kebijakan ekonomi untuk menunjang iklim investasi nasional. Paket terakhir, yakni jilid 16, dirilis pada 15 Juni lalu. Paket tersebut untuk memperbaiki sistem logistik nasional sekaligus mempercepat pengembangan usaha dan daya saing penyedia jasa logistik nasional.

Sebelumnya, pemerintah telah mengevaluasi 14 paket kebijakan ekonomi yang sudah dirilis sejak September 2015. Darmin mengklaim ada banyak capaian dari aneka paket itu. Beberapa di antaranya adalah peresmian 28 Pusat Logistik Berikat, pemberian layanan investasi 3 jam, penambahan kawasan industri, hingga penetapan upah minimum di beberapa provinsi.

Salah satu kebijakan yang dinilai paling banyak diapresiasi oleh para investor adalah Daftar Negatif Investasi (DNI) 2016. Sebab, DNI dalam paket kebijakan itu diklaim telah memberikan kepastian bagi pelaku bisnis, khususnya para investor dalam berinvestasi. Upaya pemerintah memangkas berbagai regulasi juga rupanya langsung dirasakan oleh investor yang menanamkan modalnya di Indonesia.

Kendati begitu, sejumlah pihak menilai 15 paket kebijakan itu belum membawa dampak yang sesuai harapan. Peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, paket-paket itu terhambat implementasi teknis dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah.

Dari sisi implementasi, paket deregulasi terkendala di daerah. Standardisasi paket kebijakan masih diterjemahkan secara berbeda-beda antara pemerintah pusat dan daerah.

Problem koordinasi juga masih muncul. Bhima menyebut, misalnya, ketika pemerintah ingin melakukan deregulasi untuk kemudahan bisnis, beberapa kementerian mengeluarkan aturan baru yang justru menghambat industri.

“Wajar bila pelaku usaha akhirnya menganggap paket kebijakan hanya sinyal positif tapi realisasinya belum ada,” kata dia.

Untuk itu diperlukan satu mekanisme atau model yang bisa memastikan kebijakan pada pemerintah pusat dijalankan juga di tingkat daerah. “Sehingga tidak ada lagi pemda yang beranggapan deregulasi mengganggu penerimaan daerah,” kata Bhima.