Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mempertanyakan alasan beberapa mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negeri (STAN) berunjuk rasa menolak kebijakan pemerintah terkait subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan utang negara. Ia pun menantang mahasiswa yang dimaksud untuk berdebat dengannya.

“Salah satu yang memicu saya ingin hadir di STAN, karena saya mendengar mahasiswa STAN diminta untuk berdemo mengenai subsidi. Saya tanya, itu mahasiswa yang berdemo pernah konsultasi ke saya enggak? Saya ingin berdebat dengan Anda,” kata dia di awal kuliah Umum bertajuk Pengelolaan Keuangan Negara di STAN, Tangerang, Senin (17/4). “Bukan style saya untuk me-refresh Anda, tapi saya menantang Anda,” ujarnya.

Ia menyatakan tidak melarang generasi muda untuk mengekspresikan diri dengan menyampaikan pemikirannya. Namun, ia meminta mahasiswa STAN mematangkan kemampuan teknokrasinya, sehingga tidak menyikapi kebijakan pemerintah hanya dengan perasaan. Apalagi, negara sudah berinvestasi melalui STAN.

“Kewajiban Anda mengembalikan investasi itu dalam bentuk komitmen dan loyalitas yang penuh,” kata Sri Mulyani. (Baca juga: Darmin dan Menteri ESDM Akan Hitung Peluang Kenaikan Harga BBM)

Ia pun menjelaskan, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menjalankan kebijakan subsidi langsung bukan subsidi komoditas. Sebab, masyarakat yang menikmati subsidi energi selama ini adalah masyarakat yang konsumsi energinya besar. Artinya, penikmat utama subsidi energi adalah masyarakat berpendapatan besar. Sementara itu, penduduk termiskin tidak menikmati subsidi tersebut. 

“Kalau saya kasih subsidi BBM, ‘Bu saya kan enggak punya motor, saya naik ojek’,” kata dia. “Jadi (bila menjalankan subsidi komoditas) Anda memberi sesuatu dengan mudah dan bodoh. (Masyarakat yang berpendapatan besar) menikmati subsidi melalui rumahnya, listriknya, banyak banget,” ucap Sri Mulyani.

Maka itu, ia pun menekankan, anggaran pemerintah juga difokuskan untuk mengatasi ketimpangan pendapatan daerah melalui pembangunan infrastruktur. Dalam catatannya, ada 10,7 persen penduduk Indonesia yang tergolong sangat miskin dan penyebarannya merata di seluruh Indonesia. Namun, konsentrasi terbesar berada di Papua. Sebanyak 22 persen dari total penduduk Papua masuk kategori sangat miskin.

Kondisi infrastruktur yang minim diklaim Sri Mulyani membuat suatu wilayah kesulitan mendiversifikasi perekonomiannya. Alhasil, ekonominya rentan goncangan. Ia pun mencontohkan perekonomian di Kalimantan, Papua, dan Sumatera yang bergantung pada komoditas sumber daya alam (SDA). Perekonomiannya tertekan ketika harga ataupun permintaan komoditas menurun. 

Kondisi berbeda dialami Jawa yang ekonominya tumbuh tinggi lantaran didukung oleh infrastruktur yang terbangun sejak orde baru. Ketersediaan infrastruktur membuat banyak industri beraktivitas di Pulau Jawa. Maka itu, pemerintah fokus pada pembangunan infrastruktur di daerah-daerah terpencil, agar bisa membangun ekonominya lebih baik. (Baca juga: Pemerintah Bidik 91,5 Persen Dana Investasi 2018 dari Luar APBN)

Hal ini juga yang mendasari kebijakan pemerintah mengurangi subsidi energi dan menggantinya dengan bantuan secara langsung seperti beras, pendidikan, dan kesehatan. Tujuannya, agar subsidi lebih tepat sasaran dan lebih banyak dana yang bisa dialokasikan untuk pemerataan pembangunan. (Baca juga: Bank Dunia: Ekonomi Indonesia Capai Target Meski Belanja Seret)

Pada kesempatan yang sama, Sri Mulyani juga mengkritik mahasiswa yang berkomentar negatif tentang peningkatan utang negara. Ia menjelaskan, utang diperlukan karena penerimaan pajak masih minim. Sebagai gambaran, penerimaan negara ditarget Rp 1.750,3 triliun tahun ini, sedangkan belanja negara mencapai Rp 2.080,5 triliun. Artinya, ada defisit anggaran sebesar Rp 330,2 triliun atau 2,41 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang harus dibiayai pemerintah dengan utang.

Ia pun mengajak mahasiswa STAN untuk bertemu bila ada yang ikut berdemo mengenai peningkatan utang. “Mahasiswa STAN ada yang demo utang enggak? Kalau ada, buat daftar mahasiswa yang keberatan utang, kami organize (atur) ketemu dan saya jelaskan. Jangan bilang jawabannya ‘Bu saya enggak suka utang’. Karena saya juga bisa bilang ‘Saya enggak suka kamu’,” ujar Sri Mulyani.

Ia meyakinkan, meski utang meningkat, pemerintah tetap menjaga rasio utang di level aman yakni 27-29 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Apalagi, kenaikan utang juga diiringi dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil atau 5,7 persen selama satu dekade. Berbeda dengan negara lain seperti Brazil, Rusia, Afrika Selatan, ataupun Jepang yang rasio utangnya tinggi namun pertumbuhannya rendah.