Bank Indonesia merilis laporan terbaru mengenai posisi utang luar negeri Indonesia. Pada akhir Oktober 2016, utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar US$ 323,2 miliar. Angka itu menurun US$ 2,1 miliar dari posisi September 2016 yang tercatat sebesar US$ 325,3 miliar.
Dengan demikian, utang luar negeri pada Oktober 2016 tumbuh 6,7 persen (year-on-year/yoy). Angka itu lebih lambat dibandingkan dengan pertumbuhan September 2016 yang masih mencapai 7,8 persen dibanding tahun sebelumnya. Pertumbuhan yang melambat itu didorong oleh penurunan utang baik oleh pemerintah dan swasta.
Porsi utang luar negeri pemerintah sendiri mencapai US$ 155,94 miliar dan Bank Indonesia sebesar US$ 3,85 miliar. Total utang keduanya adalah US$ 159,79 miliar. Angka ini turun dari bulan sebelumnya yang hanya US$ 162,18 miliar.
(Baca juga: BI Klaim Cadangan Devisa Cukup Hadapi Gejolak Awal 2017)
Sedangkan porsi utang swasta tercatat sebesar US$ 163,45 miliar. Angka ini naik tipis dibanding bulan sebelumnya yang mencapai US$ 163,07 miliar.
Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih memprediksi, tren melambatnya pertumbuhan utang luar negeri Indonesia ini masih akan berlanjut hingga tahun depan. Pangkal soalnya, sektor yang membutuhkan valuta asing (valas) yakni pertambangan, perikanan, maritim, dan manufaktur belum akan berekspansi secara signifikan. “Alasannya karena permintaannya masih rendah,” kata Lana saat dihubungi, Senin 19 Desember 2016.
Lana menyebut sektor pertambangan sebagai contoh. Pada sektor ini, meskipun harga komoditas menunjukan peningkatan namun volume permintaannya belum terangkat. Karenanya, mereka menahan diri dari rencana ekspansi dengan menambah utang luar negeri. “Saya tanya ke pengusaha tambang, belum tentu naik,” katanya.
(Baca juga: BI Ramal Inflasi 2016 Terendah dalam 7 Tahun Terakhir)
Sebaliknya, pengusaha tambang yang menikmati keuntungan dari kenaikan harga komoditas justru memilih untuk membayar utang luar negeri mereka. “Kalau yang tambang tadi malah bayar utang karena punya revenue dari harga (komoditas) yang naik.”
Lana memprediksi, sektor manufaktur lah yang akan jadi penggerak industri tahun depan. Jika permintaan masyarakat tinggi, impor bahan baku dan barang modal kemungkinan akan turut terkerek naik. Saat itu, pabrik-pabrik akan mempertimbangkan pengembangan usaha, termasuk dengan menambah utang luar negeri. “Dari manufaktur, utang swasta kalaupun naik tapi tipis lah,”ujarnya.
Menurut sektor ekonomi, utang luar negeri swasta pada akhir Oktober 2016 terkonsentrasi di sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, serta listrik, gas dan air bersih. Pangsa keempat sektor tersebut terhadap total utang luar negeri swasta mencapai 76,7 persen.
(Baca juga: BI: Bunga Kredit Masih Bisa Turun 0,5 Persen)