KATADATA - Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hampir merampungkan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Semua poin dalam beleid penangkal krisis keuangan ini sudah disepakati, termasuk upaya meminta pertanggungjawaban para pemilik bank bermasalah.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, Komisi XI DPR dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) telah menyepakati semua poin dalam RUU tersebut. Meskipun ada perubahan sejumlah poin dalam draf rancangan UU JPSK, itu tidak menyangkut hal-hal yang bersifat krusial dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. “Seluruh poinnya sudah beres. Pasti ada yang berubah tapi tidak ada yang luar biasa atau esensial,” katanya di Jakarta, Selasa (1/3).
Menurut dia, yang penting dari UU JPSK itu nantinya mengenai kewenangan pemerintah bersama Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menjamin pemenuhan kewajiban bank. Para pemilik bank wajib menyediakan sejumlah dana untuk mencegah dampak sistemik dari risiko krisis keuangan (bail in).
(Baca: Menkeu: Kami Tak Ingin Kasus 1998 dan 2008 Terulang)
Selain itu, KSSK akan mengejar pemilik bank yang berada di luar negeri kalau banknya mengalami masalah likuiditas. "Istilahnya pemilik bank bertanggung jawab sampai titik darah penghabisan," kata Bambang. Pasalnya, rata-rata bank besar di Indonesia dimiliki oleh pemodal asing. Kalau pemodal lokal yang menjadi mitranya tidak sanggup memenuhi kewajiban pendanaan maka pemerintah akan mengejar para pemilik modal asing tersebut.
“Harus tanggung jawab, jangan sampai banknya minta bantuan pemerintah,” kata Bambang. Jadi, lanjut dia, inti UU JPSK itu nantinya adalah menjaga keterlibatan pemerintah yang seminim mungkin ketika terjadi permasalahan likuiditas pada suatu bank.
(Baca: Status Krisis Ekonomi, DPR - Pemerintah Beda Pandangan)
Selain itu, beleid penangkal krisis tersebut juga memuat ketentuan penetapan bank berdampak sistemik dilakukan oleh otoritas pengawasan setelah berkoordinasi dengan BI. Jadi, bukan Presiden yang memutuskan suatu kondisi krisis. “Keputusannya oleh komite, kemudian (keputusan itu) direkomendasikan ke Presiden. Jadi, Presiden yang menetapkan,” kata Bambang.
Padahal, sebelumnya anggota DPR berpendapat presiden yang berwenang memutuskan sekaligus menetapkan situasi ekonomi dalam kondisi normal atau tidak normal. “Harus ada presiden. Kalau ada apa-apa, presiden yang tanggung jawab,” kata Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad, beberapa waktu lalu.
(Baca: Ada 9 Pokok Masalah, RUU JPSK Bisa Rampung sebelum Akhir Tahun)
Berikut ini pembagian sembilan kelompok isu strategis dalam RUU JPSK yang dibahas pemerintah bersama Komisi XI DPR.
- Pencabutan Peraturan Pengganti UU (Perppu) JPSK (sudah selesai)
- Ruang lingkup UU JPSK hanya sektor perbankan. Namun, DPR meminta sistem keuangan meliputi lembaga, pasar, dan infrastruktur keuangan. Tujuannya untuk mencegah efek domino krisis, yang meliputi permasalahan pada sistem pembayaran, likuiditas yang mengganggu lembaga keuangan sehingga memicu contangion, dan likuiditas di pasar uang
- Penyelenggara JPSK. Mayoritas fraksi di DPR mengusulkan:
- KSSK bertugas mengkoordinasikan pemantauan dan stabilitas sistem keuangan sedangkan Dewan Manajemen Krisis bertugas menangani krisis.
- Pemantauan dan mitigasi risiko terhadap stabilitas sistem keuangan (SSK):
- SSK ditangani oleh berbagai lembaga/otoritas keuangan sehingga membutuhkan mandat atau wewenang yang jelas. Yaitu: BI, OJK, Kemenkeu.
- Keterhubungan antara kondisi perusahaan dan beragam masalah pada sistem yaitu micro prudential, macro prudential, dan business conduct.
Penetapan bank berdampak sistemik atau bank SIB (systematically important bank) dan non-SIB.
- Rencana pemulihan dan penyelesaian krisis oleh OJK, BI, dan LPS.
- Intervensi awal terhadap permasalahan SSK berupa bantuan likuiditas dan peran BI sebagai Lender of Resort.
- Penanganan krisis meliputi:
- Mekanisme manajemen krisis
- Dewan Manajemen Krisis
- Penetapan credible contingency plan
- Penjaminan data nasabah
- Penanganan melalui private solution
- Penggunaan dana publik.
- Penetapan dampak sistemik, yang mengikuti mekanisme manajemen krisis.
- Penanganan masalah bank melalui private solution dan sinkronisasi dengan UU LPS dan OJK.
- Penanganan masalah likuiditas yang mengikuti penanganan krisis menggunakan dana publik dan sinkronisasi dengan UU LPS dan OJK.
- Penanganan masalah solvabilitas melalui private solution dan sinkronisasi dengan UU OJK.
- Penanganan masalah sejumlah bank yang berjumlah masif. Berdasarkan DIM, perlu penegasan fungsi LPS sebagai lembaga penjaminan dan sebagai lembaga penanganan bank gagal (bank resolution), baik yang berdampak sistematik maupun non-sistematik sesuai UU LPS.
- Perlindungan hukum untuk KSSK. Tersirat adanya keengganan pengambilan keputusan, misalnya pengambilan keputusan dengan musyawarah tanpa hak veto, sehingga perlindungan hukum perlu dipertegas.