BI: Bunga Acuan Turun Setelah GWM Dilonggarkan

Arief Kamaludin|KATADATA
Mirza Adityaswara
Penulis: Muchamad Nafi
19/11/2015, 16.26 WIB

KATADATA - Perdebatan turun-tidaknya suku bungan acuan Bank Indonesia menemui arah baru. Bank sentral berancang-ancang untuk mengurangi BI rate ini setelah bertahan pada level 7,5 persen sejak 17 Februari 2015.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengatakan, penurunan suku bunga dimungkinkan setelah melonggarkan bunga Giro Wajib Minimum (GWM) Primer sebesar 0,5 persen. Apalagi, inflasi diprediksi di bawah 3,6 persen tahun ini. “Itu suatu tahap kebijakan moneter,” kata Mirza dalam Outlook Ekonomi dan Pasar Modal di Hotel JW Marriot, Jakarta, Kamis, 19 November 2015.

Selama beberapa pekan terakhir, turun-tidaknya suku bunga acuan memang menjadi perdebatan di kalangan perbankan dan ekonom. Sebagian melihat peluang menurunkan BI rate terbuka untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Hal itu bila mengacu pada data-data ekonomi makro, seperti angka inflasi rendah, dan surplus neraca perdagangan yang membaik, juga menciutnya defisit transaksi berjalan.

Walau begitu, BI belum juga menurunkan suku bunga acuan. Lembaga otoritas moneter itu menilai masih ada risiko keluarnya dana asing atau capital outflow dari pasar keuangan domestik. Bila benar terjadi, hal ini akan berdampak terhadap melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. (Baca juga: Para Ekonom Meramal BI Belum Berani Turunkan Suku Bunga Acuan).

Rupanya, kali ini Bank Indonesia melihat model pengolahan suku bunga dengan melonggarkan bunga simpanan minimum bank. Menurut Mirza, kebijakan tersebut mengikuti langkah Cina dalam menstabilkan pertumbuhan ekonominya.

Saat ini, bank sentral Cina memang tengah melonggarkan berbagai kebijakan moneter. Diawali dengan menurunkan bunga GWM beberapa kali, kemudian diikuti penurun suku bunga. Sebenarnya, menurut Mirza, dampak kebijakan People’s Bank of China (PBoC) tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan. Tahun ini saja, ekonominya diperkirakan hanya tumbuh 6,8 persen dan 6,3 persen pada tahun depan. Tetapi, langkah ini membantu ekonomi Cina kembali stabil.

Bila upaya Cina kembali pada stabilitas ekonomi berhasil, akan berdampak baik bagi Indonesia. Sebab, harga komoditas diyakini menguat seiring meningkatnya permintaan. (Baca pula: Khawatir Dana Asing Kabur, BI Tahan Suku Bunga BI Rate).

Karena itulah, kata Mirza, BI menurunkan bunga GWM Primer dari 8 persen menjadi 7,5 persen. Dari nilai tersebut, 5 persen tidak memperoleh remunerasi dan 2,5 persen mendapatkannya. Dengan begitu, Mirza yakin akan ada tambahan Rp 18 triliun terhadap likuiditas perbankan, yang berasal dari 0,5 persen aset perbankan nasional. Meski begitu, dia mengakui kebijakan ini tak lantas bisa menaikan pertumbuhan kredit.

“GWM dulu yang diturunkan, dan tidak bisa matematik. Karena memang bukan ilmu matematik (langsung menaikan pertumbuhan kredit),” kata dia. “Tapi, ini adalah sinyal yang harus disambut positif. BI menurunkan GWM karena melihat perkembangan inflasi yang membaik, defisit transaksi berjalan mengecil, sehingga kemudian kami ada ruang untuk melonggarakan kebijakan moneter.” 

Namun, ekonom yang juga Rektor Universitas Paramadina Firmanzah meragukan kemungkinan tersebut. Pasalnya, BI sulit melonggarkan BI rate mengingat kemungkinan bank sentral Amerika Serikat, The Fed, menaikan suku bunganya (Fed Rate). Bila The Fed menjalankan aksi moneternya, BI akan menyesuaikan diri untuk meghindari keluarnya dana asing dalam jumlah besar. (Baca juga: Turunkan Suku Bunga, Bank Butuh Insentif dari Pemerintah). 

Apalagi, ia tak yakin ketidakpastian ekonomi global akan berkurang sesudah Fed Rate naik. Terutama, karena perlambatan ekonomi Cina yang diperkirakan masih berlanjut sehingga harga komoditas tetap rendah. “BI rate, menurut saya, akan disesuaikan oleh BI sebelum Fed Rate naik. Outflow akan sedikit,” tutur dia.

Reporter: Desy Setyowati