Banyak Perdebatan, RUU JPSK Tak Bisa Rampung Akhir Oktober

KATADATA/ Donang Wahyu
perbankan
Penulis: Yura Syahrul
26/10/2015, 15.05 WIB

KATADATA - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih membahas Rancangan Undang-Undang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (RUU JPSK). Masih ada beberapa poin yang diperdebatkan oleh kedua lembaga tinggi negara tersebut. Alhasil, beleid yang akan menjadi payung hukum bagi pemerintah untuk menangkal bahaya krisis di sektor keuangan tersebut sulit menjadi undang-undang pada akhir Oktober ini.    

Berdasarkan informasi yang dihimpun Katadata dari pemerintah dan DPR, empat poin yang masih menjadi perdebatan adalah ruang lingkup UU JPSK, kewenangan menentukan status krisis ekonomi, mekanisme penentuan bank berdampak sistemik (systemically important bank/SIB) dan pemberian imunitas hukum bagi pengambil kebijakan di saat krisis.

Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad mengatakan, ada beberapa perubahan dari draf RUU JPSK yang diajukan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dalam rapat kerja bulan Agustus lalu. Perbedaan pandangan ini yang membuat pembahasan RUU menjadi lama. Namun, Fadel enggan merinci poin-poin perdebatan antara DPR dengan pemerintah. “Ya, ada perubahan,” katanya kepada Katadata, akhir pekan lalu.

Saat rapat kerja dengan DPR Agustus lalu, Menteri Keuangan mengajukan empat usulan yang berbeda dengan draf RUU JPSK tahun 2012 yang sudah dipegang DPR. Pertama, ruang lingkup UU JPSK hanya fokus pada sektor perbankan. Kedua, penetapan bank berdampak sistemik diusulkan sebelum terjadi krisis oleh otoritas pengawasan setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI).

Ketiga, pemulihan dan penyehatan bank terdampak krisis dengan mekanisme private solution sehingga meminimalisir penggunaan dana masyarakat. Rencana pemulihan ini akan disusun oleh bank yang bersangkutan dan disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Keempat, masalah kemampuan bank menyelesaikan semua kewajibannya (solvabilitas) akan disertai penanganan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam bentuk pengalihan aset dan kewajiban, serta bank perantara.

Seusai rapat Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) akhir pekan lalu, Bambang mengatakan, ada dua poin yang masih dibicarakan secara intensif dengan DPR. Yakni, kemungkinan perluasan ruang lingkup jaring pengaman krisis ke seluruh sektor keuangan dan pembentukan Badan Restrukturisasi Perbankan. “Ini diskusi yang sering muncul. Tinggal bagaimana pertanyaan DPR dan kami menjawabnya,” imbuhnya.

(Baca: IMF Apresiasi Pembahasan RUU JPSK yang Dipercepat)

Sementara itu, anggota Komisi XI dari Fraksi Golkar, Misbakhun, mengatakan, RUU JPSK sulit ditetapkan menjadi UU akhir Oktober ini karena masih ada beberapa persoalan. Perdebatan itu terkait dengan pemberian imunitas bagi pengambil kebijakan di saat krisis. “Sepertinya sulit (selesai Oktober). Tapi untuk tahun ini selesai, sangat mungkin,” katanya kepada Katadata, Senin (26/10).

Perdebatan lainnya adalah penentu status ekonomi krisis. Menurut anggota Komisi XI dari Fraksi PDI-P Indah Kurnia, semestinya Presiden yang memutuskan untuk memberikan penjaminan menyeluruh (blanket guarantee) dan sebagainya. “Saya rasa boleh saja (blanket guarantee) kalau itu kondisi penting, bisa diambil pemerintah,” katanya.

(Baca: Menkeu: Kami Tak Ingin Kasus 1998 dan 2008 Terulang)

Menanggapi hal tersebut, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan, status krisis ditetapkan oleh Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) yang terdiri dari Kementerian Keuangan, BI, OJK, dan LPS. Sedangkan Presiden, menetapkan perlu-tidaknya penggunaan APBN untuk menyehatkan keuangan bank.

“(Presiden) bukan masalah menetapkan krisisnya. Itu cukup di KSSK. Kalau ada penggunaan dana negara atau APBN, misalnya untuk pinjaman likuiditas, itu harus Presiden lalu bicara ke DPR. Saya lihat ini masih pembahasan,” kata Agus.

(Baca: Presiden Jokowi: Ekonomi Tidak Dalam Kondisi Gawat)

Sebelumnya, pemerintah menginginkan agar RUU JPSK segera disahkan menjadi Undang-Undang (UU) paling lambat akhir Oktober nanti. Bahkan, Presiden Joko Widodo pernah menyatakan keinginannya agar pembahasan RUU tersebut dipercepat sehingga rampung bulan September lalu. Keberadaan beleid ini dibutuhkan agar Indonesia tidak mengulang kesalahan yang terjadi sewaktu penanganan krisis tahun 1998 dan 2008. Apalagi, dana asing sempat hengkang dari pasar keuangan dan pasar modal domestik pada September lalu. Alhasil, mata uang rupiah melemah tajam hingga di bawah Rp 14 ribu per dolar Amerika Serikat.

Reporter: Desy Setyowati