KATADATA ? Kinerja saham PT Semen Indonesia (Persero) Tbk terus merosot sejak awal tahun. Salah satu penyebabnya, badan usaha milik negara (BUMN) ini rentan mendapatkan intervensi dari pemerintah.

Intervensi terhadap emiten dengan kode SMGR ini terjadi pada 16 Januari lalu, ketika Presiden Joko Widodo meminta agar harga semen diturunkan sebesar Rp 3.000 per sak. Campur tangan ini membuat investor kesulitan memperkirakan kinerja keuangan perseroan ke depan.

Sekretaris Perusahaan Semen Indonesia Agung Wiharto mengatakan, kekhawatiran tersebut disampaikan investor dalam pertemuan rutin dengan perusahaan beberapa waktu lalu. Investor menginginkan penjualan semen semestinya ditentukan melalui mekanisme pasar. Adanya intervensi oleh pemerintah dianggap menghambat kinerja perseroan.

?Itu juga mungkin kekhawatiran investor. Ini kan mekanisme pasar, kok ada pemerintah. Mereka nggak bisa memprediksi ke mana arahnya ini. Yang kami tangkap begitu, waktu roadshow kemarin,? ujar Agung kepada Katadata, Selasa (14/7).

Saham Semen Indonesia tercatat turun hingga 27 persen sejak awal tahun ini. Penurunan paling tajam terjadi pada periode 16-19 Januari, akibat sentimen negatif pengumuman Presiden. Ketika itu SMGR turun hingga 13 persen dengan kapitalisasi pasar yang hilang mencapai Rp 12,2 triliun.

(Baca: Pengumuman Presiden Merontokkan Saham Emiten Semen)

Saat ini, kata Agung, perseroan seakan mendapat dua pukulan. Pertama, kondisi perlambatan ekonomi menyebabkan permintaan semen turun, baik dari sisi pemerintah maupun ritel. Pelemahan nilai tukar rupiah membuat pelaku usaha menunda investasinya, sehingga permintaan stagnan.

Kedua, intervensi harga oleh pada awal tahun juga berdampak negatif terhadap pendapatan perusahaan. Padahal, penurunan harga semen tidak berpengaruh terhadap kenaikan penjualan. Pasalnya, permintaan semen tumbuh karena kebutuhan, bukan karena harganya yang murah.

Situasi ini kemudian membuat Semen Indonesia merevisi target penjualan dari sebelumnya tumbuh 4 persen menjadi 0 persen, atau sama dengan realisasi tahun lalu sebesar 60 juta ton. Apalagi, hingga Juni penjualan semen turun 3,8 persen.

Direktur Investa Saran Mandiri Hans Kwee menilai, pasar khawatir terhadap bentuk campur tangan pemerintah terhadap BUMN. Investor menganggap intervensi akan berpengaruh terhadap pendapatan perusahaan.

?BUMN perusahan publik kan independen. Begitu ada intervensi investor khawatir terhadap pendapatan perusahaan. Sebenarnya semen nggak usah diintervensi harganya di pasar turun Rp 5.000 per sak, karena demand turun. Tapi karena intervensi dampaknya nggak terlalu bagus,? tutur Hans.

(Baca: Bahana Menurunkan Rating Saham Emiten Semen)

Direktur Fund and Fun Budi Frensidy menambahkan, investor cenderung akan menghindari saham BUMN yang rentan campur tangan pemerintah. Apalagi emiten semen, selain tertekan dengan penjualan yang turun, pendapatannya juga turun lantaran harga yang rendah.

?Sudah pasti target penjualan turun. Pada saat yang sama volume penjualan semen turun. Kalau harga saham juga turun, kan double tekanannya. Jadi, ya pemerintah ada tujuan, tapi dalam hal perusahaan terbuka nggak segitu mudah intervensi, kan ada ekspektasi investor,? ujar Budi.

Pandangan lain disampaikan Ketua Umum Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI) Haryajid Ramelan. Menurut dia, kebijakan pemerintah menurunkan harga semen dilakukan pada saat yang tepat, yakni ketika permintaan menurun.

Penurunan saham ini, kata dia, karena pasar memilih menunggu dan melihat (wait and see) perkembangan ekonomi secara keseluruhan. ?Ketika kondisi begini, investor cash is the key. Ketimbang investasi sekarang mereka pilih tunggu sampai benar-benar adakepastian sampai investasi itu ada,? kata Haryajid.

Reporter: Desy Setyowati