KATADATA ? Bank Indonesia (BI) tidak memiliki cukup ruang untuk menurunkan suku bunga acuan (BI Rate). Pilihan utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi adalah dari sisi fiskal.
Ekonom DBS Group Research Gundy Cahyadi mengatakan, kebijakan moneter BI yang cenderung ketat atau tight bias monetary policy masih diperlukan pada saat ini. Persoalannya, masih ada masalah yang terlihat dari sejumlah indikator perekonomian Indonesia.
Inflasi, misalnya, cenderung mengalami peningkatan. Pada April inflasi tercatat sebesar 0,36 persen, naik dari bulan sebelumnya 0,17 persen. Kemungkinan inflasi dalam dua bulan ke depan masih menunjukkan kenaikan seiring dengan akan masuknya bulan puasa dan lebaran.
Di sisi lain, defisit neraca transaksi berjalan pun masih cukup tinggi. Pada kuartal I-2015, defisit sebesar 1,81 persen, sedikit turun dibandingkan periode yang sama tahun lalu 1,92 persen. Meski turun, namun angkanya masih cukup tinggi, dan pada akhir tahun diperkirakan berada di kisaran 3 persen.
?Defisit transaksi berjalan memang sudah ada kemajuan, tapi masih perlu ditingkatkan. Memang BI menilai defisit sebesar 2,5 persen-3 persen masih wajar, tapi itu tidak sustain. Dalam pandangan kami yang aman sekitar 2 persen,? kata Gundy dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (27/5).
Menurut dia, kedua indikator tersebut, yakni inflasi dan defisit transaksi berjalan, tidak dapat diatasi hanya dengan mekanisme suku bunga. Apalagi kinerja perdagangan pun masih buruk. Walaupun neraca perdagangan Januari-April 2015 surplus US$ 2,8 miliar, namun surplus bukan disebabkan kinerja ekspor yang meningkat, melainkan nilai impor yang turun.
?Yang terjadi sekarang adalah bad trade surplus disebabkan impor yang turun signifikan, bukan karena kinerja ekspor yang meningkat,? kata Gundy.
Dengan kondisi ini, maka penguatan rupiah akan menjadi bumerang bagi Indonesia. Rupiah yang menguat akan meningkatkan impor, yang akibatnya akan menaikkan defisit transaksi berjalan. Padahal, jika rupiah menguat prospek investasi di dalam negeri pun akan meningkat, terutama bagi industri yang bahan baku dan barang modalnya berasal dari impor.
Situasi ini, kata Gundy, membuat BI kesulitan untuk menurunkan suku bunga acuan seperti yang diinginkan oleh banyak pihak, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla. Penurunan suku bunga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang tengah mengalami perlambatan.
?Tapi keputusan BI mempertahankan tingkat suku bunga acuan pada pekan lalu (19/5), disambut positif oleh pasar. Langkah yang diambil BI sudah tepat dengan kondisi saat ini,? kata Gundy.
Menurut dia, yang paling penting dilakukan oleh otoritas moneter pada saat ini adalah menjaga supaya pasar finansial tetap stabil. Jika tidak, dikhawatirkan dana asing yang ada di dalam negeri akan keluar, yang akibatnya akan menekan cadangan devisa.
Hal ini mengingat, kemampuan cadangan devisa untuk membiayai utang luar negeri masih rendah, yakni sekitar 37 persen dari. Pada akhir April, posisi cadangan devisa Indonesia sebesar US$ 110,9 miliar, sedangkan total utang luar negeri Indonesia, baik swasta maupun pemerintah, mencapai US$ 298,1 miliar.
?Cadangan devisa sulit bertambah, karena kinerja ekspor yang masih rendah,? tutur dia.
Mau tak mau, cara yang paling memungkinkan untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi adalah melalui dorongan fiskal, yakni melalui penyerapan anggaran pemerintah. Tapi, ini bukan berarti tidak ada persoalan, lantaran target penerimaan pajak yang tumbuh 32 persen kemungkinan sulit tercapai.
Angka pertumbuhan tersebut, menurut dia, terlalu optimistis karena secara historis tiga tahun terakhir, rata-rata kenaikan penerimaan pajak hanya sebesar 10 persen. ?Tahun ini tambah berat, karena ekonomi sedang melambat,? kata dia.
Jika penerimaan pajak tidak tercapai, program-program yang telah direncanakan pemerintah dikhawatirkan tidak terealisasi. Alhasil, ini memberikan sentimen negatif kepada investor yang bisa menarik dananya dari Indonesia.
Menurut Gundy, ada dua pilihan yang dapat dilakukan pemerintah. Pertama, jika ingin mempertahankan defisit anggaran tetap di bawah 2 persen, maka pemerintah harus mengurangi belanja. Pilihan ini pun, kata dia, berisiko, karena yang paling potensial untuk dikurangi adalah belanja modal pemerintah.
?Kalau ini yang dilakukan artinya proyek pembangunan ada yang ditunda,? kata dia.
Kedua, adalah dengan menambah utang luar negeri. Pilihan ini cukup realistis karena secara rasio, utang pemerintah Indonesia masih cukup rendah, yakni 25 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemerintah memberi toleransi defisit anggaran 2015 pada rentang 1,9 persen-2,2 persen. Angka defisit itu dinilainya masih dapat terkelola dengan baik.
Pemerintah, lanjut dia, akan membiayai defisit itu dari pinjaman lembaga multilateral, seperti Bank Dunia atau Bank Pembangunan Asia (ADB). Pemerintah akan menghindari penerbitan surat utang negara (SUN) karena ada risiko pelemahan nilai tukar rupiah. Kemudian, pemerintah akan memanfaatkan sisa anggaran lebih tahun lalu untuk membiayai defisit ini.
Dari segi utang, ada beberapa indikator yang menunjukkan pengelolaannya masih baik, yakni porsinya yang terkendali dan rasio utang terhadap PDB masih aman. Selain itu, porsi utang dengan bunga mengambang masih dalam posisi rendah, dan utang terdistribusi dengan rata.
?Kami secara intensif melakukan pendalaman surat berharga negara (SBN). Dan mengembangkan bond stabilitation framework untuk hindari pembalikan di pasar,? kata dia dalam Sidang Paripurna di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis (28/5).