Pembangkit Listrik 35 GW Akan Pakai Gas Impor

KATADATA
Stasiun Kompresor Gas, Cilamaya, Jawa Barat. Stasiun ini menyalurkan gas dari pengeboran lepas pantai milik Pertamina Off Shore West Java ke pelanggannya, seperti PLN, Pupuk Kujang, dan industri manufaktur di Jawa Barat.
13/5/2015, 17.38 WIB

KATADATA ? Pemerintah akan mengimpor gas alam cair atau liquified natural gas (LNG) mulai 2019. Impor tersebut dilakukan untuk mendukung program pembangunan pembangkit listrik 35 giga watt (GW).  

Arief Riyanto, Kepala Komersialisasi Gas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), mengatakan ketersediaan gas bumi di dalam negeri terus berkurang dan tidak mencukupi kebutuhan yang meningkat.

Saat ini, SKK Migas tengah mengkaji rencana impor tersebut bersama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Kajian mencakup proyeksi kebutuhan pasokan gas untuk pembangkit yang ditargetkan selesai pada tahun ini. Dari total 35 GW, pembangkit listrik yang akan menggunakan bahan bakar gas sebesar 13,5 GW.

Dalam perhitungan saat ini, untuk kebutuhan pembangkit sebesar 13,5 GW butuh pasokan gas bumi sekitar 8.500 billion british thermal unit per day (BBTUD). Sementara produksi gas bumi Indonesia pada 2014 hanya 7.039 BBTUD.

?Perlu impor karena untuk 13,5 GW saja kita tidak bisa sediakan. Besarannya (impor) kami harapkan kurang dari 50 persen (dari kebutuhan pembangkit),? kata Arief di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu (13/5).

Dia menjelaskan, SKK Migas tidak bisa sembarangan mengalokasikan gas ke proyek 35 GW. Pasalnya banyak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang telah terikat kontrak untuk menyuplai gas ke sektor industri lain, seperti pupuk. Oleh sebab itu, opsi impor LNG ini perlu untuk mengatasi kurang pasokan gas.

Saat ini, sebanyak 44 persen produksi gas bumi Indonesia dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik. Pada 2015, kebutuhan domestik dibagi tiga yaitu untuk keperluan industri sebesar 10,8 trillion cubic feet (TCF), pembangkit listrik sebesar 7,8 TCF, dan pupuk sebesar 4,4 TCF.

?Jadi kami tidak bisa sembarangan memutuskan alokasi gas dan memberikan kepada PLN,? kata Arief.

Dia menjelaskan, secara umum tidak ada masalah dalam pengalokasian gas ke pembangkit-pembangkit listrik. Namun kendala terbesar saat ini adalah ketersediaan gas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan listrik.

?Sisanya mungkin kendala-kendala seperti persoalan hulu dan juga hilir. Contohnya, gas sudah ada namun pembangunan pembangkit belum rampung. Itu sering terjadi,? ujar Arief.

Di kesempatan yang sama, Direktur Pembinaan Program Migas Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi mengamini pernyataan Arief. Agus berpendapat Indonesia sebagai negeri yang kaya gas bumi hanyalah mitos. Sebagai dukungan untuk program 35 GW ini, Kementerian tidak akan melarang impor gas bumi.

?Makanya kami perbolehkan impor. Di sisi lain ekspor gas yang harus dipersulit,? kata Agus.

Reporter: Ameidyo Daud Nasution