Akhiri BBM Murah, Kembalikan Kebijakan Subsidi Tetap

Arief Kamaludin|KATADATA
Pemerintah sebaiknya kembali menerapkan kebijakan subsidi tetap harga BBM seiring fluktuasi harga minyak dunia, seperti pernah diterapkan oleh pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri.
Penulis: Safrezi Fitra
13/11/2014, 13.00 WIB

Presentasi lengkap Katadata mengenai subsidi BBM yang disampaikan hari ini bisa diunduh di:  Arah Kebijakan Subsidi BBM Pemerintah Baru

KATADATA ? Pemerintah perlu segera menyusun rencana (roadmap) yang jelas untuk mengurangi subsidi BBM secara bertahap guna mengakhiri era BBM murah. Pemerintah sebaiknya kembali menerapkan kebijakan subsidi tetap harga BBM seiring fluktuasi harga minyak dunia, seperti pernah diterapkan oleh pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri.

Kesimpulan tersebut disampaikan oleh Research Director Katadata Heri Susanto dan Managing Director Katadata Ade Wahyudi dalam Press Briefing bertajuk ?Arah Kebijakan Subsidi BBM Pemerintahan Baru? di Warung Daun, Cikini, Jakarta, 13 November 2014. Dalam kesempatan itu hadir pula ekonom DBS Group Research Gundy Cahyadi.

Hasil riset Katadata menunjukkan, sedikitnya ada 10 alasan mengapa pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla perlu mengakhiri kebijakan BBM murah. Pertama, Indonesia adalah salah satu negara paling boros subsidi energi di Asia. Dengan anggaran subsidi energi sangat besar, yaitu 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), Indonesia hanya dikalahkan oleh Pakistan dan Bangladesh.  

Kedua, BBM murah menyebabkan konsumsi dan impor minyak melonjak sehingga menimbulkan defisit perdagangan migas dan defisit neraca pembayaran. Defisit menyebabkan nilai tukar rupiah pun terpukul. Ketiga, lebih dari separuh atau 53 persen dari total subsidi BBM Rp 210 triliun pada 2013 dinikmati oleh pengguna mobil pribadi.

Keempat, dengan cadangan minyak tersisa 3,7 miliar barel pada 2013, Indonesia bukan lagi tergolong negara kaya minyak. Dengan produksi rata-rata 800 ribu barel per hari, cadangan itu hanya cukup untuk 12 tahun. Kelima,sejak 2003 Indonesia bukan lagi tergolong negara net exporter minyak, melainkan sudah menjadi net importer minyak, karena produksi menurun dan konsumsi melonjak.  

Keenam, rezim subsidi BBM kian ditinggalkan oleh banyak negara, termasuk negara net exporter, seperti Vietnam. Bahkan tak sedikit negara mengenakan pajak terhadap BBM. Ketujuh, tak hanya negara miskin minyak, negara kaya minyak pun mulai siap-siap memangkas subsidi. Iran, negara dengan cadangan minyak terbesar ketiga dunia, akan menaikkan BBM secara bertahap hingga sesuai harga pasar.

Kedelapan, anggaran yang dialokasikan untuk subsidi energi sangat timpang dibandingkan dengan anggaran yang disalurkan untuk infrastruktur, kesehatan dan pemberantasan kemiskinan. Kesembilan, pendapatan migas bahkan sudah tidak cukup untuk menutup ongkos subsidi energi. Kesepuluh, BBM murah menghambat tumbuhnya energi alternatif, seperti gas alam, panas bumi dan bioenergi.

Mengacu pada 10 faktor tersebut, Katadata berpendapat, meski harga minyak mentah dunia kini tengah turun hingga ke level US$ 80 per barel, harga BBM bersubsidi tetap perlu dinaikkan. Selain itu, nilai tukar rupiah cenderung melemah ke level 12 ribu per dolar, yang membuat beban subsidi BBM tetap tinggi. Harga rata-rata minyak mentah Indonesia pun dalam setahun terakhir sesungguhnya masih di kisaran US$ 104 per barel.

Sebagai bagian dari upaya mengakhiri era BBM murah secara bertahap ini, pemerintah juga perlu kembali menerapkan kebijakan subsidi tetap. Dengan mekanisme ini, subsidi per liter BBM diberikan sesuai plafon dengan kisaran tertentu yang mengacu pada harga pasar. Dengan demikian, harga BBM bisa berubah setiap bulan, sesuai dengan perkembangan harga di pasar, seperti halnya Pertamax. Kebijakan ini pernah dilakukan di era pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri

Setidaknya, ada tiga alasan yang mendasari kebijakan subsidi tetap tersebut. Pertama, besaran subsidi BBM akan terkendali dan tidak mengganggu APBN. Kedua, meminimalkan potensi politisasi kebijakan BBM, seperti selama ini terjadi. Ketiga, memiliki landasan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2003, yang menyatakan bahwa harga BBM di dalam negeri ditetapkan oleh pemerintah dengan memperhatikan golongan masyarakat tertentu.

Ekonom DBS Gundy Cahyadi sepakat dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Selain mengurangi tekanan terhadap defisit fiskal dan neraca pembayaran, pengurangan subsidi akan menekan penyelundupan BBM dan pemerintah bisa mengalihkan dana subsidi untuk program yang berdampak lebih luas bagi publik, seperti pembangunan infrastruktur.

Menurut Gundy, dengan kenaikan sebesar Rp 2.000 per liter, defisit neraca pembayaran akan turun dari 3 persen ke kisaran 2,7 persen PDB pada 2015. Sedangkan jika dinaikkan Rp 3.000 per liter, defisit neraca pembayaran akan menurun ke level 2,5 persen PDB. Kedua opsi ini akan membuat profil risiko ekonomi Indonesia membaik.

?Kenaikan harga BBM juga ditunggu oleh investor,? kata Gundy. Langkah tersebut, kata dia, memberikan sinyal kuat bahwa pemerintaan Jokowi menjalankan program reformasi ekonomi. Mereka berharap harga BBM dinaikkan sebesar Rp 3.000 per liter sejak beberapa bulan lalu.

Soal waktu kenaikan harga BBM, menurut Gundy, lebih cepat lebih baik. Sebab, persoalan defisit neraca pembayaran yang terus menghantui pasar, bisa segera teratasi dan akan berdampak positif bagi rupiah. Faktor ini pun berpengaruh besar terhadap prospek pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi ke depan.

Menanggapi rencana kenaikan harga BBM di tengah penurunan harga minyak mentah internasional, Gundy tetap berpendapat bahwa langkah ini tetap perlu dilakukan. Sebab, selisih antara harga BBM bersubsidi dan non-subsidi masih terlalu besar, yaitu rata-rata 40 persen. ?Apalagi, gejolak harga minyak dan nilai tukar rupiah juga belum menentu.?

Reporter: Arnold Sirait