KATADATA ? Indonesia tetap perlu melakukan reformasi ekonomi meskipun bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) menunda pengurangan stimulus ekonomi. Langkah The Fed tersebut diperkirakan hanya berdampak sesaat terhadap sektor finansial Indonesia.
Haryo Aswicahyono, ekonom senior Centre for Strategic and International Studies (CSIS), mengatakan masuknya aliran dana asing setelah penundaan kebijakan The Fed tidak memiliki dampak yang fundamental.
?Penundaan hanya memberi kesempatan bernafas. Memberi tambahan waktu bagi Indonesia untuk melakukan reformasi ekonomi,? kata dia saat dihubungi Katadata.
Adapun reformasi yang dimaksud adalah dengan mendorong ekspor, memudahkan investasi, serta menciptakan pasar tenaga kerja yang fleksibel. Ini terlihat dari neraca transaksi berjalan yang defisit.
Mulai bergairahnya pasar finansial di dalam negeri terlihat dari menguatnya indeks harga saham gabungan (IHSG) sebesar 4,7 persen ke posisi 4.670,73 poin pada penutupan perdagangan Kamis (19/9). Begitu pun dengan rupiah yang dperdagangkan di kisaran Rp 10.847 per dolar AS.
Menurut Haryo, penundaan pengurangan stimulus berarti Amerika Serikat tetap menerapkan suku bunga rendah sebesar 0,08 persen. Di sisi lain, Bank Indonesia sudah menaikkan suku bunga acuan (BI Rate) menjadi 7,25 persen.
?Artinya aliran dana kembali masuk ke Indonesia. Ini menambal defisit berjalan dan menambah suplai dolar di pasar, sehingga nilai tukar dolar terhadap rupiah akan turun,? tuturnya.
Kondisi ini yang dikhawatirkan Haryo, karena membuat para pengambil kebijakan terlena untuk melakukan reformasi ekonomi. Seolah-olah Indonesia sudah melewati fase krisis, sehingga reformasi ekonomi menjadi tidak penting. ?Apalagi sekarang tahun pemilu, sehingga reformasi yang tidak populer sulit dilakukan.?
Dia mengutip pernyataan ekonom M Sadli bahwa reformasi besar hanya terjadi dalam situasi krisis. ?Yang saya khawatirkan Indonesia menunda melakukan reformasi ekonomi karena krisis sedikit mereda. Padahal kesempatan bernafas ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya, karena berakhirnya quantitative easing hanya soal waktu.?
Reporter: Aria W. Yudhistira