KATADATA ? Investor asing lebih tertarik dengan saham PT Bank Central Asia Tbk (BCA), ketimbang PT Astra International Tbk. Morgan Stanley Capital International (MSCI) yang menjadi acuan investor asing, telah menurunkan bobot Astra dan menaikkan bobot BCA.
(Baca: Geser Astra, BCA Jadi Emiten Berkapitalisasi Terbesar di Bursa)
Laporan The MSCI Indonesia Index, yang dipublikasikan pada 29 Agustus, masih mencatat bobot Astra yang paling tinggi di antara 30 emiten yang masuk dalam MSCI. Astra tercatat masih di posisi pertama dengan bobot 12,16 persen. Sedangkan BCA di posisi dua, dengan bobot 10,95 persen.
Namun dalam waktu kurang dari dua pekan, kondisi ini berbalik. MSCI menaikkan bobot BCA, dan menggeser Astra yang selama bertahun-tahun menduduki posisi pertama. Pada 11 September, bobot BCA sudah mencapai 11,9 persen. Sementara bobot BCA berkurang menjadi hanya 11,59 persen.
Bobot emiten dalam MSCI ini setidaknya berpengaruh pada aktivitas investor asing di pasar modal Indonesia. "MSCI itu memang menjadi acuan investor asing, tapi saya tidak tahu indikator apa yang digunakan oleh MSCI," ujar Kepala Riset Bahana Securities Harry Su, kepada Katadata beberapa waktu lalu.
Dalam dua pekan terakhir bulan ini, investor asing sudah melepas (net sales) saham Astra sebanyak 67,37 juta. Sementara dalam periode yang sama, investor asing memborong (net buy) saham BCA sebanyak 19,11 juta saham.
(Baca: Prospek BCA Lebih Menjanjikan Ketimbang Astra)
Menurut Harry, bobot Astra yang menurun kemungkinan terjadi karena perusahaan ini mengalami banyak masalah. Salah satunya kinerja anak usahanya yang kurang bagus.
Harga komoditas sawit dan tambang yang menurun, mempengaruhi kinerja sektor komoditas Astra, seperti PT United Tracktor Tbk dan Astra Agro Lestari Tbk. Di sektor otomotif, Astra juga banyak berkompetisi dengan perusahaan lain. Belum lagi hambatan kebijakan pemerintah mengenai sektor otomotif seperti kenaikan harga BBM bersubsidi, tarif parkir, dan kebijakan lainnya.
(Baca: Kinerja Astra Tertekan Kebijakan Ekonomi Pemerintah)
Dengan semua masalah tersebut, membuat margin keuntungan Astra terus menurun. Margin laba bersih Astra pada 2012 mencapai 10,3 persen, kemudian turun menjadi 10 persen pada 2013. Hingga semester I tahun ini margin bersih Astra tercatat hanya 9,6 persen.
Berbeda dengan BCA, yang belakangan diminati para investor. Margin bunga bersih BCA terus naik, pada semester I tahun lalu sebesar 5,95 persen, meningkat menjadi 6,18 persen pada akhir tahun 2013. NIM BCA kembali naik pada semester I tahun ini menjadi 6,46 persen.
Padahal NIM sektor perbankan pada periode yang sama justru turun, dari 5,4 persen pada semester I-2013, menjadi 4,9 persen pada akhir tahun 2013. Kemudian kembali turun pada semester I-2014 menjadi 4,2 persen.
Menurut Harry, BCA berpeluang menjadi bank yang paling aman ke depannya. ?BI berencana menaikkan suku bunga tahun depan. Sementara BCA saat ini menurunkan bunga depositonya,? ujar Harry.
Likuiditas perbankan nasional saat ini sedang sulit, rasio pinjaman terhadap tabungan (loan to deposit ratio/ LDR) di atas 90 persen. Tapi tidak demikian dengan BCA dengan tingkat LDR yang hanya 75 persen. Dengan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia tahun depan, BCA akan dengan mudah menjangkau kredit yang lebih besar lagi.
(Baca: Dirut BCA: LDR 75 Persen Naikkan Prospek Saham)
Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja mengatakan jika MSCI bobotnya bertambah, investor asing dipastikan ikut membeli. Menurut dia, hal itu akan menjadi "pekerjaan rumah yang berat (bagi BCA) untuk bisa memenuhi ekspektasi investor," ujarnya.