KATADATA ? Pasar finansial Indonesia dalam sepekan terakhir mengalami gejolak yang cukup kuat. Indeks harga saham gabungan (IHSG) turun 11 persen pada 20 Agustus lalu, sebelum akhirnya kembali menguat pada penutupan perdagangan kemarin sebesar 43,47 poin (1,04 persen) menjadi 4.218,45.
Pelemahan juga terjadi pada nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Di pasar spot, rupiah Selasa (20/8) diperdagangkan di posisi Rp 10.723 per dolar AS, melemah 5,86 persen dalam sebulan. Ini posisi terendah sejak Mei 2013. Jika dilihat sejak awal tahun, rupiah telah terdepresiasi 9,47 persen.
Penyebab utama terjadinya gejolak di pasar finansial tersebut adalah defisit neraca berjalan Indonesia yang di luar ekspektasi. Data Bank Indonesia menyebutkan, defisit transaksi berjalan Indonesia pada kuartal II-2013 mencapai US$ 9,9 miliar atau sekitar 4,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Bank Indonesia sebelumnya memperkirakan defisit hanya sebesar US$ 8 miliar.
Angka ini mendekati posisi pada kuartal II-1996 yang ketika itu neraca transaksi berjalan mengalami defisit US$2,6 miliar atau 4,7 persen terhadap PDB (lihat grafik). Situasi saat ini bahkan lebih buruk ketimbang saat terjadi kenaikan harga minyak dunia dan krisis ekonomi global pada 2008. Ketika krisis 1998, neraca transaksi berjalan masih mengalami surplus yang ditolong oleh pelemahan rupiah yang menaikkan nilai ekspor.
Memburuknya kinerja neraca perdagangan adalah pendorong terbesar terjadinya defisit neraca transaksi berjalan Indonesia. Ini disebabkan ketergantungan Indonesia pada ekspor produk komoditas yang saat ini harganya di pasar internasional tengah menurun.
Data Bank Indonesia menunjukkan, surplus neraca perdagangan nonmigas pada kuartal II-2013 hanya US$ 1,7 miliar, merupakan yang terendah sejak 2008. Pada kuartal sebelumnya, surplus neraca perdagangan nonmigas sebesar US$ 4,6 miliar.
Penurunan tersebut disebabkan harga komoditas global yang cenderung turun sehingga menekan ekspor yang tercatat sebesar US$ 37,8 miliar. Di sisi lain, nilai impor nonmigas Indonesia justru naik 12 persen menjadi US$ 36,1 miliar. Kenaikan terutama pada kelompok barang konsumsi dan bahan baku, sementara impor barang modal masih menurun.
Persoalan lain yang masih mengganjal adalah konsumsi minyak yang tinggi menyebabkan defisit neraca perdagangan minyak mengalami defisit US$ 5,3 miliar, turun 17 persen dari kuartal sebelumnya sebesar minus US$ 6,4 miliar. Ini merupakan problem yang cukup berat karena sejak 2004 Indonesia nilai ekspor minyak Indonesia selalu lebih rendah daripada impor, dan jumlahnya terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Situasi ini yang menyebabkan persoalan struktural di Indonesia. Tanpa mengubah struktur industri dan orientasi produk ekspor, Indonesia akan terus terjebak dalam persoalan yang sama. Padahal di sisi lain, pemerintah menganjurkan masyarakat untuk meningkatkan konsumsi. Ini malah dikhawatirkan dapat menaikkan impor barang konsumsi yang justru bakal meningkatkan defisit. Kekhawatiran ini yang mendorong pelaku pasar melepas asetnya di Indonesia.
Reporter: Aria W. Yudhistira