Pandemi virus corona membuat beberapa negara maju terancam mengalami resesi ekonomi. The Economist Intelligence Unit dalam publikasi terbarunya pada 22 Mei 2020 memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global terkontraksi sebesar 4,2%. Angka ini lebih rendah dari proyeksi IMF sebesar 3%.
The Economist Intelligence Unit juga memproyeksikan 17 negara anggota G-20 bakal mengalami resesi tahun ini, meski ekonomi Indonesia diprediksi masih bisa tumbuh 1% tahun ini. Sementara perekonomian Amerika Serikat (AS) yang kini menjadi negara ekonomi terbesar dunia diprediksi mengalami kontraksi minus 4%.
Pertumbuhan PDB AS pada kuartal I 2020 terkontraksi 4,8%. Lebih rendah dari prediksi Dow Jones yang terkontraksi 3,4%. Penurunan negatif ini menjadi yang terendah sejak kuartal I 2014, yakni 1,1%. Data pemerintah AS menyatakan, penurunan ini dipengaruhi penurunan konsumsi sebesar 7,6%. Padahal konsumsi masyarakat berkontribusi 67% terhadap PDB AS.
Penurunan daya beli masyarakat dikarenakan kebijakan lockdown atau karantina wilayah yang dilakukan sejak Maret lalu dan membuat gerai non-esensial tutup. Daya beli barang tahan lama pun jatuh 16,1% dan konsumsi jasa anjlok 10,2%.
(Baca: Anies: Pembukaan Sektor Pendidikan Masih Tunggu Evaluasi Fase Transisi)
Resesi terjadi jika penurunan PDB selama dua kuartal berturut-turut. Ini sangat terlihat di AS. Proyeksi Bank Federal Atlanta, seperti dikutip CNBC, perekonomian AS pada kuartal II bakal anjlok 52,8% seiring kontraksi sektor manufaktur yang akan membebani investasi dan konsumsi. Sektor manufaktur AS hanya menunjukkan ekspansi sebesar 43,1% pada Mei.
Bank Federal Atlanta memprediksi sektor konsumsi bakal anjlok 58,1% pada kuartal II. Sementara investasi domestik yang menyumbang 17% dari PDB diproyeksikan turun 62,6%. Ed Yardeni dari Yardeni Research menilai kondisi ini akan membuat perkonomian AS akan melandai sampai akhir tahun atau membentuk kurva mirip logo Nike.
“Kami sepakat bahwa itu bisa menjadi swoosh (seperti logi Nike) dengan tingkat pertumbuhan satu digit yang rendah. Kami tidak berharap PDB riil akan pulih kembali ke rekor tertinggi kuartal IV 2019 hingga akhir 2022,” kata Yardeni, melansir CNBC.
Curamnya penurunan konsumsi yang berpeluang membenamkan PDB AS, kata Yardeni, dipengaruhi tingginya angka pengangguran. Pada April, pengangguran di negara Paman Sam telah mencapai 17,2 juta dari sektor jasa.
Dalam mengantisipasi resesi ini, pemerintah AS telah memberikan stimulus milyaran dolar untuk meningkatkan konsumsi masyarakatnya. Namun, Yardeni menilai stimulus itu tak akan serta merta mendongkrang tingkat konsumsi lantaran masyarakat akan lebih berhati-hati dalam membeli barang dan jasa.
(Baca: Resesi Ekonomi, Ancaman di Tengah Pandemi)
Negara ekonomi terbesar nomor dua di dunia, Tiongkok, bisa dikatakan lebih aman. JP Morgan menilai pertumbuhan ekonomi negara ini akan tumbuh 15% pada kuartal II setelah terkontraksi 6,8% pada kuartal I. Lentingan tersebut diprediksi terjadi lantaran keberhasilan pemerintahan Xi Jin Ping menekan pandemi. Namun, The Economist Intelligence Unit masih memproyeksikan pertumbuhan ekonomi negara pimpinan Xi Jin Ping hanya 1% sampai akhir tahun.
Selanjutnya, adalah Jerman sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Uni Eropa. Melansir kantor berita DW, Pemerintah Jerman memprediksi kontraksi ekonomi sebesar 6,3% sampai akhir tahun. Angka ini terendah sejak penyatuan Jerman Timur dan Barat setelah Perang Dingin berakhir. Proyeksi ini berbeda tipis dengan The Economist Intelligence Unit, yakni sebesar 6,1%.
Hal ini karena ekonomi Jerman sangat tergantung kepada ekspor. Sementara, covid-19 membuat kondisi negara tujuan ekspor Jerman tak pasti. Begitu juga dipengaruhi ketidakpastian ekonomi global akibat Brexit dan perang dagang AS-Tiongkok.
Data badan pusat statistik Jerman pada kuartal I 2020 menyatakan, ekspor menurun sebesar 3,1% dan impor turun 1,6%. Ditambah dengan penurunan konsumsi sebesar 3,2% dan investasi pertanian sebesar 6,9%, sukses membuat PDB negara pimpinan Angela Merkel ini terkontraksi 2,2%.
(Baca: Terburuk Sejak Depresi Besar, IMF Ramal Ekonomi Tahun Ini Minus 3%)
Inggris juga berpeluang mengalami resesi. PDB negara ini pada kuartal I 2020 terkontraksi 2%. Memperpanjang kondisi buruk pertumbuhan PDB-nya yang pada kuartal IV tahun lalu tumbuh 0%. Kontraksi ini, menurut Deputi Nasional Bidang Ekonomi Badan Statistik Inggris Jonathan Athow, dipengaruhi anjloknya sektor jasa dan konstuksi.
Keseluruhan sektor jasa mengalami kontraksi sebesar 1,9% dengan jasa akomodasi dan makanan paling turun, yakni 9,5%. Sementara sektor konstruksi mengalami konstruksi sebesar 2,6% atau tertinggi.
Bank sentral Inggris, seperti dikutip The Independent, telah memperingatkan kemungkinan kontraksi ekonomi sebesar 30% pada musim panas ini. Kemungkinan lebih buruk adalah kontraksi sebesar 14% sampai akhir tahun. Angka ini adalah yang terburuk sejak 1706. Sarannya, adalah segera mengizinkan kegiatan ekonomi ketika lockdown telah dilonggarkan agar bisa cepat menggeliatkan ekonomi.
Terakhir adalah Australia yang menghadapi resesi ekonomi pertama setelah 29 tahun. Pertumbuhan ekonomi negara ini terkontraksi sebesar 0,3% pada kuartal I 2020, menurut Badan Statistik Australia. Treasurer Josh Frydenberg, seperti dilansir Rappler, mengatakan kontraksi PDB masih berpeluang terjadi pada kuartal II dan menjadi pertanda resesi.
Frydenberg menyatakan, resesi dipicu karantina wilayah untuk menekan covid-19 dan terdisrupsinya arus pasok global. Namun, ia mengatakan negara Kangguru telah berupaya menghalau resesi dengan memberi stimulus untuk mendorong konsumsi tetap berjalan selama lockdown. Hanya, hasilnya seperti masih jauh api dari panggang.
Kaixin Owyong dari Bank Nasional Australia memprediksi perekonomian Australia akan terkontraksi sebesar 8,4% pada kuartal II tahun ini. Kondisi tersebut bisa tertolong dengan pelonggaran lockdown dan kemungkinan pertumbuhan ekonomi bakal naik di kuartal III.
(Baca: BI Ramal Peningkatan Risiko Resesi Global Pada Kuartal II dan III 2020)
Dunia Bisa Jatuh ke Depresi Lebih Besar
Profesor Ekonomi Universitas New York, Nouriel Roubini atau kerap dipanggil Dr. Doom memprediksi resesi ekonomi yang terjadi saat ini akan berubah menjadi kejatuhan besar alias Greater Depression. Hal ini disampaikannya kepada Joe Weisenthal dan Tracy Allowas dari Bloomberg dalam satu edisi wawancara, 6 Mei lalu.
Roubini menyatakan pemulihan krisis tahun ini bisa mengarah kepada bentuk kurva ‘U’. Namun dalam satu dekade ke depan bisa membentuk kurva ‘L’.
“Prediksi ini tidak berdasar model ekonometrik formal. Karena dalam pemahaman saya hal itu tak berguna ketika berada dalam jurang resesi,” kata Roubini.
Sebaliknya, Roubini mengaku prediksinya melihat dinamisasi ekonomi atas kebiasaan sektor privat, rumah tangga dan korporasi. Begitupun respons kebijakan negara terhadap pandemi, seperti AS yang menurutnya saat ini sudah kuat tapi lebih lemah ketimbang Eropa dan Jepang.
Roubini menilai, kondisi saat ini bisa mengarah kepada negative supply shock dan deglobalisasi setelah pandemi berakhir. Karena banyak negara yang akan berlaku egois dengan mengetatkan tarif, melakukan proteksi, dan memprioritaskan produknya untuk kebutuhan dalam negeri. Perang dingin pun semakin membeku antara AS dan Tiongkok yang berpengaruh kepada rantai perekonomian global.
Roubini bahkan menyebut akan terjadi stagflasi, yaitu “kombinasi dari stagnansi ekonomi, resesi, dan inflasi yang tinggi.”
“Beda resesi sekarang dengan krisis sebelumnya dan depresi besar adalah keduanya berjalan lebih lambat. Butuh 3 tahun untuk menjadi seperti sekarang,” kata Roubini. “Kini dunia seperti dihantam asteroid. Semua negara terkena dalam waktu singkat.”