Reformasi Investasi dan Perdagangan RI, Bank Dunia Beri Utang Rp 11 T
Bank Dunia menyetujui pinjaman sebesar US$ 800 juta atau setara Rp 11 triliun untuk mendukung reformasi kebijakan investasi dan perdagangan Indonesia. Pendanaan ini diharapkan dapat mempercepat pemulihan dan transformasi ekonomi Tanah Air.
Direktur Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Satu Kahkonen mengatakan bahwa pemerintah Indonesia sedang menjalankan program reformasi besar untuk menarik investasi dan meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia. Reformasi ini berpotensi mendukung transformasi ekonomi untuk beralih dari sektor komoditas kepada sektor dengan nilai tambah yang lebih tinggi.
"Ini akan memberikan dorongan yang sangat dibutuhkan untuk pemulihan ekonomi pascapandemi," ujar Kahkonen di Washington,Selasa (15/6).
Pembiayaan untuk dukungan kebijakan pembangunan (Development Policy Operation/DPO) ini disusun berdasarkan dua pilar. Pertama, untuk meningkatkan investasi dengan membuka lebih banyak sektor bagi investasi swastaa, menambah tenaga profesional berketerampilan tinggi di pasar tenaga kerja, serta mendorong investasi swasta pada energi terbarukan.
Kedua, mendukung reformasi kebijakan perdagangan untuk mendorong daya saing dan pemulihan ekonomi. Ini bertujuan untuk meningkatkan akses dan keterjangkauan harga komoditas pangan pokok maupun bahan baku serta memfasilitasi akses kepada input manufaktur.
Kahkonen menilai, peningkatan investasi juga akan membutuhkan pengelolaan lingkungan secara saksama. Bank Dunia akan bekerja sama dengan mitra pembangunan lainnya untuk mendukung pemerintah memperkuat upaya pengelolaan lingkungan hidup pada semua sektor.
DPO bertujuan untuk mendukung reformasi besar di bidang perdagangan dan investasi Indonesia, sejalan dengan hubungan kerja sama yang sudah berjalan lama antara Grup Bank Dunia (WBG) dengan Pemerintah Indonesia. Kegiatan ini diselaraskan secara penuh dengan Kerangka Kerja Kemitraan Negara (Country Partnership Framework/CPF) yang belum lama ini diadopsi oleh WBG.
Menurut Kahkonen, hambatan besar bagi investasi dan perdagangan telah membatasi kemampuan Indonesia untuk menarik investasi asing langsung yang berorientasi ekspor. Selain itu, hambatan juga mengurangi integrasi Indonesia ke dalam rantai nilai global, meningkatkan harga pangan di dalam negeri, serta memperlambat pertumbuhan sektor manufaktur dan non-komoditas.
"Akibatnya, sebagian besar lapangan kerja dalam beberapa dekade terakhir diciptakan di sektor komoditas dan layanan berproduktivitas rendah, yang umumnya memberi penghasilan di bawah upah kelas menengah," ujar dia.
Indonesia mengalami resesi pertama dalam dua dekade akibat pandemi. Hal ini memperburuk tantangan yang dihadapi perekonomian untuk memperluas ke sektor-sektor yang lebih canggih untuk menciptakan lapangan kerja dengan upah yang lebih baik dan produktivitas lebih tinggi.
Sebelumnya, Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta mengatakan bahwa kalangan dunia usaha masih memiliki keraguan terhadap reformasi investasi Pemerintah Indonesia saat ini, utamanya melalui UU Cipta Kerja dan Perpres 10/2021. "Perlu kejelasan satu lembaga atau kementerian mengatur kebijakan investasi, karena ini sering menjadi sumber terhambatnya perizinan investasi," ujar Andree dalam keterangan tertulis di Jakarta, akhir April 2021.
Selain itu, menurut dia, perlu ada kepastian wewenang Online Single Submission (OSS) yang sudah ada dan mengintegrasikan perizinan pada berbagai institusi. Kewenangan ini harus bisa diambil alih sepenuhnya oleh Kementerian Investasi.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi sepanjang 2020 senilai Rp 826,3 triliun atau tumbuh 2,1% dari 2019 yang sebesar Rp 809,6 triliun.