Pemerintah Amerika Serikat menghadapi tantangan utang umbo yang kini telah melampaui batas yang diizinkan untuk bisa menarik utang baru. Berbeda dari AS, utang pemerintah Indonesia masih jauh dari batas yang diatur dalam undang-undang. Namun, Indonesia dianggap tak boleh lengah karena nominal utang yang terus naik.
Total utang pemerintah AS saat ini telah mencapai US$ 31,5 triliun atau setara Rp 463 kuadriliun. Posisi tersebut sudah melampaui batas maksimal yang diizinkan Kongres AS sebesar US$ 31,4 triliun. Ini artinya, pemerintah AS tidak bisa lagi mencetak utang baru apabila Kongres tak menyetujui peningkatan plafon utang, yang salah satu risikonya bisa berujung pada default alias gagal bayar jika kewajiban utang tak bisa dibayar.
Masalah plafon utang di AS itu sebetulnya bukan hal baru. Legislator AS pada akhir 2021 juga telah merestui kenaikan plafon utang karena AS menghadapi lonjakan utang terutama selama tahun-tahun awal pandemi. Pemerintah AS membutuhkan banyak biaya untuk menjaga masyarakat dan memulihkan ekonomi dari pandemi. Salah satu sumber utama pendanaan itu dari penarikan utang baru.
Amerika tidak sendirian. Sebagian besar negara di dunia juga menghadapi tumpukan utang baru karena Covid-19, termasuk Indonesia. Utang pemerintah Indonesia melesat 62% dalam tiga tahun pandemi. Seiring kenaikan nominal utang tersebut, rasio utang pemerintah juga naik dari akar 2019 masih sebesar 29,8% menjadi 39,57% pada akhir tahun lalu.
Utang pemerintah secara nominal terus naik, pada akhir bulan lalu sebesar Rp 7.879,07 triliun. Meski demikian, rasionya menyusut menjadi 39,17% dari PDB. Sesuai aturan, batas utang pemerintah maksimal 60% dari PDB.
Sekalipun relatif masih jauh dari batas maksimum, Direktur Eksekuti INDE Tauhid Ahmad memberikan sejumlah catatan yang perlu diperhatikan soal pengelolaan utang pemerintah. Ia menilai utang pemerintah terus naik tetapi perekonomian tak tumbuh signifikan meski ada efek pandemi yang memukul perekonomian domestik beberapa tahun terakhir.
Ia juga mengkhawatirkan kemampuan bayar bunga utang yang jumbo saat penerimaan negara tak bisa terangkat signifikan. Padahal, menurut dia, butuh penerimaan perpajakan yang moncer dengan rasio perpajakan terhadap PDB yang tinggi untuk menjaga agar rasio utang yang terus naik tidak menimbulkan kekhawatiran. Menurunya, dengan rasio perpajakan yang masih di kisaran 9-10% PDB, batas aman utang pemerintah maksimal 30% PDB.
"jadi bukan hanya satu indikator saja bahwa utang kita aman dilihat dari rasio terhadap PDB, tapi lihat juga ukuran lainnya bagaimana kemampuan bayar utang kita dengan melihat rasio perpajakan, memperhatikan periode jatuh tempo utang, nilai tukar, tingkat bunga, itu catatannya," kata Tauhid, umat (28/4).
Kepala Ekonom BCA David Sumual mengatakan, rasio utang perlu dikelola agar tidak terus membengkak meski rasio utang pemerintah masih jauh di bawah 60% PDB, . Menurut dia, pengelolaan utang juga harus prudent dan utang yang diterbitkan perlu sesuai peruntukannya, misalnya jangka pendek untuk membiayai proyek-proyek jangka pendek. Ia juga menekankan pentingnya diversifikasi mata uang.
"Perlu diutamakan tentu utang dalam rupiah, karena kekhawatirannya adalah ketika terjadi gonjang-ganjing eksternal bisa mempengaruhi utang kita terutama yang berupa valuta asing dolar AS," kata David.
Kementerian Keuangan mengklaim posisi utang pemerintah sampai akhir bulan lalu berada dalam batas aman dan terkendali. Selain karena rasio utang yang di bawah batas, komposisi utang pemerintah juga didominasi utang domestik sebesar 72%.
Kemenkeu memastikan pemerintah mengutamakan penarikan utang dengan tenor menengah panjang. Per akhir Maret 2023, profil jatuh tempo utang Indonesia dinilai cukup aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo atau average time maturity (ATM) di kisaran delapan tahun.
"Penguatan nilai tukar Rupiah terhadap USD turut berkontribusi menurunkan jumlah nilai utang pemerintah yang beredar per akhir Maret 2023," dikutip dari dokumen APBN KiTA edisi April 2023.