Amerika Serikat terancam mengalami gagal bayar pada 1 Juni 2023 seiring masih buntunya pembahasan terkait kenaikan plafon utang. Risiko tersebut hingga saat ini masih memiliki dampak yang terbatas pada pasar keuangan Indonesia, tetapi berisiko meningkatkan tekanan jika benar-benar terjadi.
Menteri Keuangan Janet Yellen sudah mewanti-wanti bahwa pemerintah AS akan kehabisan dana jika kesepakatan untuk menaikkan plafon utang tak tercapai hingga awal bulan depan. Ini artinya, pemerintah berisiko shut down alias tutup sementara dan tak mampu membayar semua tagihannya, termasuk membayar utang jatuh tempo yang bisa berujung default atau gagal bayar.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, kekhawatiran pasar soal alotnya kesepakatan plafon utang ini telah menjadi perhatian pasar setidaknya dua pekan terakhir. Hal ini mempengaruhi minat investor untuk menanamkan modalnya ke aset berisiko termasuk di Indonesia.
Namun, Josua menyebut dampaknya relatif terbatas. Hal ini tercermin dari outflow atau aliran keluar modal asing dari pasar obligasi pemerintah Indonesia dan pasar saham relatif kecil. Selain itu, tekanan terhadap nilai tukar juga tak signifikan. Kurs garuda dinilai masih stabil.
Di sisi lain, imbal hasil atau yield surat utang pemerintah AS yang meningkat karena kekhawatiran default tak serta merta mengerek yield surat utang pemerintah Indonesia. Ia menyebut yield di dalam negeri justru menurun yang mencerminkan minat investor masih positif.
"Kami lihat ada kepercayaan diri dari investor domestik yang mendorong penurunan yield surat utang pemerintah Indonesia saat kepemilikan asing justru turun atau terjadi outflow," kata Josua, Rabu (24/5).
Menurutnya, sekalipun investor khawatir soal risiko default di AS, tapi mereka juga optimistis dengan fundamental ekonomi Indonesia. Berbagai data domestik membaik seperti surplus neraca pembayaran yang meningkat dan inflasi terus turun. Berbagai perbaikan data itu yang mendukung obligasi domestik berada pada tren membaik.
Meski demikian, menurutnya tekanan ke pasar keuangan Indonesia berisiko meningkat jika kebuntuan soal plafon utang AS itu berkepanjangan dan berujung default. Namun, ia tak bisa memastikan apakah 'bencana' di AS itu kemudian bisa membalikkan rupiah ke atas Rp 15.000/US$ lagi atau justru masih bisa stabil.
Analis senior Bank Mandiri Reny Eka Putri menyebut dampak deadlock isu utang AS ke pasar keuangan Indonesia sejauh ini relatif terbatas. Namun, bukan tidak mungkin 'bencana' di AS itu justru bisa jadi keuntungan bagi Indonesia.
Menurutnya, AS terancam menghadapi default dan pelemahan ekonomi jika negosiasi berjalan alot dan tak capai kesepakatan. "Kekhawatiran yang meningkat di AS akan membuat aliran dana asing masuk ke pasar yg less risky termasuk Indonesia, sehingga capital inflow yg meningkat akan menjadi sentimen positif bagi rupiah," kata Reny.
Meski demikian, ia melihat kesepakatan soal plafon utang akan tercapai meskipun sudah mendekati deadline pada awal Juni. Dengan demikian, dampaknya ke pasar keuangan global akan relatif terbatas.
Kementerian Keuangan sebelumnya juga melihat dampak isu tersebut ke dalam negeri belum terlihat. Pasar obligasi Indonesia masih positif. Yield SBN sejak awal tahun hingga 21 Mei sudah turun 55 bps, menandakan bahwa harga obligasi meningkat karena permintaan tinggi.
"Menandakan tidak atau belum terlihatnya dampak isu plafon utang AS ini," kata Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Suminto dalam konferensi pers daring, Senin (22/5).