Bea Cukai soal Beda Data Cina dan RI soal Perdagangan: Tak Sederhana
Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia atau APSyFI sempat mengumumkan terjadinya selisih antara nilai ekspor dari Cina dan impor dari Indonesia. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani tak dapat banyak menanggapi perbedaan data tersebut karena memerlukan kajian lebih jauh.
APSyFI menemukan selisih data senilai US$ 2,94 miliar dari kedua data tersebut. Data ekspor Cina dikutip dari International Trade Center, sedangkan data impor Indonesia diambil dari Badan Pusat Statistik. Selisih data tersebut ditemukan setelah membandingkan data ekspor dan impor untuk pos tarif 50 sampai 63.
Askolani menduga, ada perbedaan metodologi penghitungan antara pemerintah Cina dan BPS dalam data tersebut. "Belum tentu data tersebut iPos tarif kita bisa jadi beda dengan pos tarif di Cina, sehingga pencatatan volume barang bisa berbeda," kata Askolani di Cikarang, Kamis (26/10).
Ia berpendapat perbedaan metode perhitungan tersebut yang menyebabkan selisih data tersebut cukup besar. Menurutnya, selisih tersebut dapat menjadi tipis jika metodologi yang digunakan sama.
Askolani menyampaikan, hal yang sama terjadi pada dugaan ekspor ilegal bijih nikel. Ia menjelaskan pihaknya telah bekerja sama dengan Kementerian Perdagangan dan Kementerian ESDM untuk mengkaji ulang data ekspor bijih nikel secara komprehensif.
Ia pun menceritakan hasil kajian tersebut menunjukkan tidak semua ekspor bijih nikel yang dituduhkan dilakukan secara ilegal. Namun Askolani mengaku pihaknya tetap menangkap sebagian eksportir yang menyalahgunakan ekspor nikel.
"Jadi, tidak sesederhana itu berbicaranya. Secara total, metodologinya harus sama, enggak bisa langsung di adu seperti ini," ujar dia.
Mengutip International Trade Center, Ketua Umum APSyFI Redma Wirawasta menyebut total ekspor TPT dari Cina mencapai US$ 6,5 miliar pada 2022. Pada tahun yang sama, BPS mencatat total impor TPT hanya US$ 3,55 miliar.
Redma mencatat, nilai konsumsi TPT nasional pada tahun lalu adalah sekitar US$ 16 miliar. Pada saat yang sama, Redma menilai selisih data tersebut disebabkan oleh praktek impor ilegal. Maka dari itu, Redma menyimpulkan TPT impor ilegal tersebut meraup 41% dari total nilai pasar TPT nasional.
“Hal ini tentu sangat merugikan karena barang-barang impor ilegal ini tidak bayar Bea Masuk dan Pajak sehingga bisa dijual sangat murah di pasar domestik dan produk lokal kalah bersaing," kata Redma dalam keterangan resmi, Jumat (15/9).
Redma pun menemukan selisih data tersebut meningkat selama 2020-2022. Berdasarkan data yang ditunjukkan Redma, selisih pada 2022 naik 8,01% dari capaian 2021 senilai US$ 2,72 miliar, sedangkan capaian 2021 meningkat 81,61% dari realisasi 2020 senilai US$ 1,5 miliar.
Oleh karena itu, Redma mengatakan impor TPT ilegal menjadi biang kerok terpuruknya kinerja industri TPT nasional. Menurutnya, total impor TPT dari Negeri Panda tahun lalu setara dengan 800.000 tin TPT atau 45% kapasitas produksi Industri Kecil dan Menengah.
"Jika dikerjakan oleh IKM bisa menyerap tenaga kerja sekitar 2,4 juta orang, belum lagi jika ditarik sampai ke pembuatan kain, benang, serat hingga industri pendukung lainnya” ujarnya.