Industri ban di dalam negeri memasuki masa paceklik yang antara lain ditandai oleh rencana penutupan pabrik ban asal Korea Selatan, Hung-A di Cikarang. Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia atau APBI menyatakan industri ban nasional menghadapi ancaman kekurangan bahan baku.
Setidaknya ada tiga bahan baku utama dalam pembuatan ban, yakni serbuk karet, karet sintetis, dan carbon black. Sejauh ini, hanya serbuk karet yang dapat dipasok dari dalam negeri, sedangkan karet sintetis dan carbon black masih bergantung pada impor.
Ketua Umum APBI Azis Pane mengatakan, pasokan karet sintetis dan carbon black terhalangi Peraturan Menteri Perdagangan No. 36 Tahun 2023 terkait Devisa Hasil Ekspor. Padahal, menurut dia, kedua komoditas tersebut berkontribusi hingga 72% dari nilai produksi ban.
Sementara itu, pasokan serbuk karet lokal susut lantaran berkurangnya lahan perkebunan karet hingga 50%. Karet alam berkontribusi sekitar 80% dari volume sebuah ban. "Bagaimana kami mau hilirisasi? Sekarang pabrik serbuk karet banyak sekali yang tutup," kata Azis kepada Katadata.co.id, Selasa (23/1).
Azis menilai maraknya pabrik remah karet yang tutup disebabkan oleh kesalahan kebijakan pemerintah pada periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pemerintah jorjoran membuka keran ekspor remah karet. Di sisi lain, Azis mengatakan pabrikan karet remah di dalam negeri dikuasai oleh asing.
Setelah kebijakan bebas ekspor berhenti, Azis menyampaikan harga karet alam yang menjadi bahan baku remah karet disandera oleh pabrikan karet remah. Hal ini membuat harga karet alam di dalam negeri terus susut dan membuat petani karet mengganti komoditas kebunnya menjadi tanaman lain, seperti tebu, kelapa sawit, dan ubi tanah. Minimnya ketersediaan karet alam di dalam negeri akhirnya juga membuat kebanyakan pabrik remah karet gulung tikar.
"Sekarang memang industri ban ini sudah takut akan ketersediaan bahan baku lantaran pasokan karet alam di dalam negeri sudah berkurang," katanya.
Azis berargumen kondisi tersebut membuat pengusaha ban global memilih fokus membangun pabrik di Thailand dan Vietnam. Menurunnya, langkah tersebut juga didorong oleh perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN yang membuat tarif perdagangan antar negara anggota ASEAN 0%. Selain itu, Azis mencatat biaya produksi ban di dalam negeri jauh lebih mahal dibandingkan Vietnam dan Thailand.
Walau ketersediaan bahan baku menipis, Azis mengatakan pabrikan ban di dalam negeri masih bisa bertahan. Namun, ia tidak menjelaskan, kapan industri ban nasional akan kehabisan bahan baku.
Alasan Hung-A Hengkang
Azis menjelaskan, penyebab utama PT Hung-A Indonesia hengkang dari dalam negeri adalah minimnya perhatian pemerintah ke industri ban nasional. Hung-A tidak dapat memasarkan produknya ke pasar global akibat Peraturan Deforestasi Uni Eropa atau EUDR.
Sebanyak 70% dari total volume produk Hung-A dipasarkan ke pasar eropa, khususnya Jerman. EUDR membuat Hung-A kehilangan mayoritas pasarnya. Hal ini pun membuat perusahaan tersebut sempat berencana untuk mengalihkan fokus pasar ke Indonesia.
Hung-A merupakan produsen ban sepeda gunung. Namun, Hung-A tidak memiliki kapasitas produksi beberapa jenis produk dan mengajukan permohonan impor ke pemerintah. Namun demikian, permohonan impor tersebut tidak kunjung diindahkan oleh pemerintah dan membuat Hung-A hengkang dari dalam negeri.
"Perhatian pemerintah ke industri ban tidak seperti dulu. Industri ban lokal duku rajanya dunia, sekarang sudah tidak bisa lagi seperti itu," kata Azis.
Azis mengatakan industri karet alam nasional kini telah jatuh dari peringkat teratas ke peringkat keempat. Di samping itu, industri ban nasional bahkan sudah tidak masuk peringkat 10 besar di dunia.