Sudah lima tahun Wahyu, 48, menetap di tanah PT Pelabuhan Indonesia II di Kampung Muara Baru, Jakarta Utara. Nelayan ini tinggal di rumah berukuran 5 x 6 meter yang berdinding triplek. Sekeliling tempat berteduhnya dipenuhi lautan sampah dengan lalat dan nyamuk yang selalu mengerumuninya.
Sebagai nelayan, pria beranak lima ini mengatakan penghasilannya tak menentu. Karena itu dia tidak punya pilihan untuk untuk tinggal di tempat yang lebih layak seperti rusun, jenis hunian yang sempat ia tempati lima tahun lalu. “Tahun 2014 saya tinggal di rusun Penjaringan. Memang nyaman untuk tidur, mandi, dan makan,” ujarnya awal bulan ini. “Tapi setiap malam kami hanya memikirkan tagihan rusun dan pulsa token. Maka kami pindah ke kampung ini.”
Ketika tinggal di sana, dia harus mengeluarkan Rp 500 ribu untuk sewa rusun, Rp 300 ribu membayar tarif listrik, Rp 50 ribu untuk iuran pembuangan sampah, dan Rp 20 ribu uang keamanan. Rusun Penjaringan ini juga jauh dari tempat kerjanya. Dia pun mesti mengeluarkan ongkos banyak ketika hendak melaut.
Padahal penghasilannya hanya Rp 2 hingga 3 juta per bulan. “Bagi kami yang berprofesi nelayan dan pemulung, harga properti selalu lebih tinggi dibandingkan dengan penghasilan kami,” ujarnya. “Di sini dekat dengan laut sehingga tidak perlu ongkos ke laut. Kami pun bisa menjaga kapal. Untuk pemulung bisa menaruh hasilnya di dekat tempat tinggal.”
Wahyu dan warga lainnya pun begitu bersyukur atas pemilik tanah, Pelindo II, yang mengizinkan mereka tinggal di sana yang hanya perlu membayar tarif listrik Rp 300 ribu dan air Rp 15 ribu per hari. “Lalat dan nyamuk telah menjadi sahabat. Kami tetap sehat dengan kondisi yang ada,” ujarnya.