Awal bulan ini, kebakaran di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Tangerang, Banten, menewaskan setidaknya 49 orang narapidana dan menyebabkan lebih dari 70 orang lainnya terluka.
Namun, wacana kebakaran di Lapas Tangerang tidak boleh berhenti hanya korban dan kerugian. Harus ada dorongan untuk memahami mengapa tragedi tersebut terjadi dan bagaimana tidak terus berulang.
Nyata bahwa kebakaran di lapas atau rumah tahanan (rutan) kerap terjadi. Pemantauan oleh koalisi masyarakat sipil mencatat, dalam tiga tahun terakhir saja terjadi 13 kasus kebakaran di lapas.
Sebelum itu, ada juga beberapa kasus kerusuhan yang berujung pada kebakaran seperti di Lapas Tanjung Gusta di Sumatera Utara pada 2013 dan Rutan di Bengkulu pada 2016.
Pemicu kebakaran di lapas atau rutan tidaklah seragam. Kebakaran dapat dipicu oleh kerusuhan di dalam, bagian upaya melarikan diri, masalah kompor gas, hingga arus pendek listrik.
Pemicu kebakaran penting untuk diketahui. Tapi, penyebab paling mendasar (cause of the causes) dari kasus-kasus kebakaran di lapas atau rutan adalah jumlah penghuni melebihi daya tampung (overcrowding).
Masalah mendasar ini sudah sejak lama menyebabkan berbagai masalah lain, seperti ketidaklayakan kondisi hunian, kesulitan dalam pengendalian keamanan dan ketertiban, serta terhambatnya pelaksanaan keselamatan (safety) dan keamanan (security).
Tulisan ini akan menjelaskan tentang permasalahan overcrowding sebagai penyebab dasar yang tidak boleh diabaikan. Dampaknya terhadap aspek keselamatan dan keamanan di lapas, serta pertanggungjawaban atas kebakaran yang terjadi.
Overcrowding dan kebakaran
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengakui, membludaknya narapidana narkotika berkontribusi besar terhadap overcrowding, yang kemudian menjadi faktor penting dalam terjadinya kebakaran.
Kelompok masyarakat sipil menggarisbawahi kasus kebakaran lapas yang terjadi tidak boleh dilepaskan dari masalah kronis ini pada lapas dan rutan di Indonesia.
Kelebihan penghuni memang bukanlah penyebab langsung dari kebakaran yang terjadi, tapi ia menimbulkan beberapa faktor pemicu kebakaran seperti kerusuhan, upaya melarikan diri oleh tahanan, dan arus pendek listrik.
Overcrowding membuat narapidana — yang berbagai hak dasarnya telah tercabut ketika masuk ke dalam sistem pemasyarakatan — tidak menerima hak dan kebutuhan mereka dengan semestinya.
Kualitas hidup narapidana yang buruk dapat memicu ketidakpercayaan kepada petugas dan institusi lapas, yang berujung pada perlawanan terhadap otoritas.
Di antara para narapidana, kondisi hidup yang buruk disertai kepadatan hunian yang sangat tinggi membuat gesekan lebih mudah terjadi.
Sebagaimana sering dikemukakan para petugas di lapangan, “saling bertukar pandang biasa pun dapat berujung pada perkelahian.”
Ketika terjadi kerusuhan atau perkelahian berskala besar dan terdapat sumber api, maka peluang terjadinya kebakaran menjadi lebih tinggi.
Selain itu, overcrowding juga membuat petugas menjadi lebih kesulitan untuk mengawasi dan memeriksa setiap ruangan, tempat, dan narapidana di lapas.
Akibatnya, narapidana dapat mencuri-curi sambungan listrik tanpa sepengetahuan petugas lapas. Ketika terdapat penggunaan listrik yang terlalu besar, lalu terjadi korsleting, maka terjadi apa yang diduga sebagai arus pendek listrik yang menyebabkan kebakaran.
Aspek keselamatan dan keamanan
Peristiwa kebakaran yang terjadi menunjukkan kegagalan dalam melaksanakan penyelamatan dan pengamanan di lapas. Dari sisi keselamatan, sarana dan prasarana menjadi faktor yang sangat berpengaruh.
Pada kasus Lapas Tangerang, usia bangunan yang sudah tua membuat bangunan menjadi lebih rentan terhadap api dan kebakaran besar. Kemudian ada juga permasalahan alat pemadam kebakaran di lapas yang tidak tersedia atau berfungsi dengan baik.
Selanjutnya, ada kekurangan kemampuan personil untuk menghadapi bencana kebakaran. Di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM, sebetulnya sudah ada “Panduan Penanggulangan Bencana”, yang di dalamnya mencakup prosedur penanganan kebakaran. Apakah prosedur tersebut sudah dipahami dengan baik oleh petugas?
Keberadaan prosedur tidak akan efektif tanpa penguatan kapasitas petugas untuk menjalankannya.
Petugas jadi diminta melakukan sesuatu yang sebetulnya tidak sepenuhnya mereka mengerti, sehingga sumber kesalahan tidak semata-mata dapat diarahkan kepada petugas, tapi juga kepada ketiadaan pelatihan yang sistematis dan berkelanjutan.
Dari sisi keamanan, harus dipahami bahwa dalam sistem pemasyarakatan, keamanan adalah sesuatu yang tidak terpisahkan dari ketertiban. Kondisi aman yang tidak tertib, menciptakan keamanan semu. Sementara kondisi tertib, tidak akan tercapai bila tidak ada rasa aman.
Di tengah kondisi lapas melebihi kapasitas, petugas dipaksa untuk memberi penekanan yang besar pada keamanan.
Untuk menghindari kerusuhan karena komposisi petugas dan narapidana yang sangat timpang, tidak jarang petugas dipaksa berkompromi.
Akibat kompromi ini, kondisi lapas mungkin saja aman, tapi belum tentu tertib.
Ini yang tampaknya terjadi di Lapas Tangerang. Kondisi overcrowding yang mencapai 240% membuat pemeriksaan atas penyalahgunaan alat elektronik dan saluran listrik terabaikan. Selama narapidana tidak berulah, maka petugas mungkin membiarkan pelanggaran tersebut sebagai bentuk kompromi.
Lebih lanjut, pengamanan dan penguncian bukan hal yang sama. Jika narapidana terkunci di dalam kamarnya, maka bukan berarti kondisi lapas sudah aman.
Karena sumber gangguan keamanan tidak selalu berasal dari narapidana, tapi bisa saja dari benda-benda lain yang ada di dalam kamar, seperti saluran listrik tadi.
Oleh sebab itu, sistem penguncian, konsolidasi kunci, dan langkah cepat pembukaan pintu kamar dalam keadaan darurat seharusnya menjadi bagian tidak terpisahkan dari keamanan.
Pertanggungjawaban
Kebakaran yang terjadi di Lapas Tangerang adalah tanggung jawab negara. Dalam kerangka state crime, negara telah melakukan kejahatan terhadap para narapidana dengan membiarkan kondisi overcrowding terus berlanjut.
Overcrowding penjara menyebabkan kesehatan fisik dan mental dari narapidana memburuk; pada kasus paling ekstrem bahkan “membunuh” narapidana melalui penyakit menular, kerusuhan, atau kebakaran.
Kita harus menagih pada negara agar penegak hukum mengurangi kegemaran mereka untuk mengirim orang ke lapas.
Pengurangan arus masuk manusia ke lapas harus diperkecil, dimulai dengan tidak memenjarakan pengguna dan pecandu narkotika, serta mengoptimalkan implementasi hukuman non-penjara untuk pidana-pidana ringan.
Kita perlu menuntut Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan untuk menyamakan persepsi penegak hukum agar tidak terus-menerus berorientasi pada pemenjaraan.
Masyarakat perlu mempertanyakan pada Menteri Hukum dan HAM mengapa penyelenggaraan hukum masih membuat lapas menanggung beban yang begitu berat, sehingga terdapat potensi bencana kemanusiaan yang besar.
Kita perlu mendorong Direktur Jenderal Pemasyarakatan dan jajarannya untuk memperbaiki kondisi hunian di lapas, memeriksa kondisi lapas secara berkala, dan juga memberi hak integrasi bagi para narapidana yang sudah memenuhi persyaratan, sehingga arus keluar penjara dapat lebih besar.
Pengurangan arus masuk dan optimalisasi pengeluaran narapidana belum mampu menyelesaikan masalah overcrowding dalam lima tahun ke depan. Namun, ini setidaknya dapat menghambat laju penambahan jumlah penghuni yang sejak lima tahun terakhir sudah tidak terkendali.
Catatan Redaksi:
Katadata.co.id menerima tulisan opini dari akademisi, pekerja profesional, pengamat, ahli/pakar, tokoh masyarakat, dan pekerja pemerintah. Kriteria tulisan adalah maksimum 1.000 kata dan tidak sedang dikirim atau sudah tayang di media lain. Kirim tulisan ke opini@katadata.co.id disertai dengan CV ringkas dan foto diri.