Inggris Tinggalkan Uni Eropa, Pasar Keuangan Dunia Guncang

Arief Kamaludin|KATADATA
Bursa
24/6/2016, 14.38 WIB

Kekhawatiran para pelaku pasar keuangan dunia akhirnya terjadi. Dalam referendum yang hasil finalnya baru saja dirilis, mayoritas masyrakat Inggris memilih negaranya keluar dari keanggotaan Uni Eropa. Meski sebagian kalangan sudah memprediksinya, hasil tersebut telah mengguncang pasar saham dan pasar keuangan dunia.

Saat penutupan penghitungan suara pukul 13.00 WIB, Jumat (24/6) siang, sebanyak 17,41 juta masyarakat Inggris atau 51,9 persen dari total pemilih menginginkan negaranya meninggalkan Uni Eropa alias Britain Exit (Brexit). Adapun yang memilih bertahan bersama Uni Eropa sebanyak 16,14 juta orang atau 48,1 persen.

Tanda-tanda kemenangan kubu "Brexit" sebenarnya sudah terendus dua jam sebelum hasil penghitungan suara berakhir. Hal ini langsung memicu kecemasan para investor yang menjalar ke seluruh dunia. Mereka langsung menarik dananya dari pasar keuangan yang dinilai penuh risiko.

Yang paling awal terpukul adalah poundsterling.

Mata uang Inggris ini langsung anjlok 9 persen terhadap dolar Amerika Serikat (AS), hingga menyentuh posisi terendahnya dalam 31 tahun terakhir atau sejak 1985.

Poundsterling juga terpuruk atas yen Jepang, dengan pelemahan 14 persen dibandingkan hari sebelumnya. Sedangkan mata uang euro turut merosot hampir 3 persen terhadap dolar AS. 

(Baca: Efek Brexit Lebih Memukul Rupiah ketimbang Perdagangan)

Pasar saham global juga memerah. Indeks berjangka Dow Jones di bursa New York, AS, merosot 600 poin, disusul indeks berjangka S&P 500 yang turun 91 persen atau 4,3 dibandingkan penutupan perdagangan Kamis kemarin. 

Sedangkan indeks saham berjangka di bursa London sudah anjlok hampir 9 persen, yang dapat jadi cermin dari kondisi sebenarnya saat perdagangan di bursa sahamnya dibuka Jumat siang ini waktu Indonesia. Penurunan tajam sebesar 8 persen juga dialami indeks berjangka bursa saham di Jerman.

Pasar saham di negara-negara Asia ikut cemas dengan keputusan masyarakat Inggris. Indeks bursa saham Jepang, Nikkei, anjlok 8 persen. Sedangkan indeks Hang Seng di bursa Hong Kong sudah terpangkas 4,5 persen. Penurunan indeks itu dimotori oleh kejatuhan harga saham bank-bank Inggris. 

Harga saham HSBC, bank terbesar ketiga di Eropa dari sisi pendapatan, anjlok 11 persen. Sedangkan harga saham Standard Chartered, yang berkantor pusat di London, turun paling dalam selama empat tahun terakhir.

Gejolak juga melanda pasar keuangan dunia. Imbal hasil obligasi pemerintah AS berjangka 10 tahun, merosot sekitar 1,4 persen. Kondisi serupa dialami pasar keuangan di berbagai negara. 

Keputusan masyarakat Inggris meninggalkan Uni Eropa memang telah memicu ketidakpastian baru. "Pelaku bisnis enggan mengambil keputusan baru atau melalukan investasi, karena adanya ketidakpastian untuk masa depan," kata Direktur Centre for Economic Performance di London School of Economics, John Van Reenen, seperti dilansir New York Times, Jumat (24/6).

Ia menyatakan, dampak jangka pendek keputusan itu adalah menurunnya aktivitas investasi, berkurangnya lapangan pekerjaan serta perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Yang menarik, kepanikan yang melanda pasar dunia itu menyebabkan investor berbondong-bondong beralih menuju investasi aman, termasuk yen Jepang. Padahal, pemerintah Jepang sedang berupaya "melemahkan" nilai mata uangnya.

Tujuannya untuk memacu kinerja ekspor serta pertumbuhan ekonomi. (Baca: Cemaskan Risiko Brexit, Bank Sentral Amerika Tahan Suku Bunga)

Di sisi lain, hasil referendum di Inggris ini telah mendorong bank-bank multinasional untuk memindahkan para pekerjanya dari Inggris ke kota-kota negara anggota Uni Eropa lainnya, yaitu Paris, Frankfurt, Dublin, dan Amsterdam. Para ahli memprediksi Brussels akan segera membatasi perdagangan aset dengan denominasi euro, sebagai bisnis utama untuk Inggris. Bank-bank besar seperti JPMorgan Chase dan Citigroup telah diperingatkan untuk mengalihkan sebagian kegiatan operasional mereka ke luar Inggris.

Keluarnya Inggris dari Eropa diperkirakan akan menimbulkan krisis keuangan global seperti yang pernah terjadi saat raksasa perbankan Lehman Brothers tersungkur tahun 2008.

Namun, tidak ada yang tahu persis, karena dunia belum pernah mengalami kondisi seperti saat ini sebelumnya.

Apapun yang terjadi, situasi saat ini telah menimbulkan kebingungan dan membuat Eropa kembali cemas setelah berhasil pulih dari perekonomian yang anjlok. Sebelumnya, Yunani dan Spanyol mengalami depresi ekonomi yang hebat.

Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh keputusan Inggris untuk meninggalkan Uni Eropa akan berdampak panjang pada perekonomian dunia. Para investor saat ini sedang menduga-duga yang sebenarnya terjadi. Pasar yang sedang mencari tahu mengenai situasi saat ini, berpotensi mengalami risiko di berbagai aspek.

Cina, negara dengan perekonomian terbesar kedua dunia setelah AS, mengalami pelemahan signifikan. Brasil, salah satu negara berkembang yang disorot, sedang mengalami krisis. Eropa, yang potensi pasarnya sebanyak 500 juta penduduk, menghadapi kekacauan yang sulit untuk dipulihkan.

Langkah para investor yang mempercayakan uang mereka hanya di tempat-tempat aman seperti Departemen Keuangan Amerika Serikat membuat kredit semakin ketat. Akibatnya, pasar negara-negara berkembang makin sulit mendapatkan kucuran modal, yang nantinya bisa menghambat pertumbuhan ekonomi. Selain itu, biaya pinjaman juga makin membengkak di negara-negara yang banyak berutang seperti Yunani, Italia, dan Portugal. (Baca: Jika Brexit Terjadi, Inggris Sulit Tembus Pasar Asia)

Di sisi lain, pemungutan suara untuk menentukan Inggris tetap atau keluar dari Uni Eropa menandakan negara-negara demokrasi besar dunia kian rentan terhadap pengaruh pergerakan politik populis.

Isu-isu itu menyangkut pemberdayaan para imigran serta pejabat di Brussels dan Washington, serta pekerja berupah rendah di Cina dan Meksiko.

Kampanye Brexit sudah memunculkan ketakutan di Eropa dan mayoritas negara maju. Selain itu, berpotensi memicu kompetisi dalam mendapatkan pekerjaan dan kemarahan terhadap para imigran yang sudah mengubah konsep atas identitas bangsa. Sentimen seperti ini menjadi tantangan untuk perdagangan yang menggunakan euro sebagai mata uang bersama.