Korporasi dan BUMN Mematut Calon Merek Vaksin Covid-19 Berbayar

ANTARA FOTO/Ardiansyah/aww.
Petugas vaksinator menunjukkan vaksin COVID-19 produksi Sinovac yang akan disuntikkan kepada sejumlah perwakilan pejabat pada tahap kedua vaksinasi di Kantor Pemkot Bandar Lampung, Lampung, Jumat (29/1/2021). Vaksinasi tahap dua di Bandar Lampung ditargetkan sebanyak 9.624 dosis vaksin Sinovac bagi tenaga kesehatan di Kota Bandar Lampung.
3/2/2021, 18.25 WIB
  • Pengusaha dan Kementerian BUMN mulai melirik sejumlah merek vaksin
  • Pemerintah sedang menggodok payung hukum vaksinasi mandiri
  • Swasta tak bisa mengimpor vaksin yang digunakan bagi pegawai

Perusahaan swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hingga saat ini masih menunggu kepastian dan payung hukum untuk memulai vaksinasi mandiri Covid-19. Namun beberapa merek vaksin corona juga telah masuk dalam radar mereka.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P. Roeslani mengatakan vaksinasi mandiri tak akan menggunakan vaksin yang digunakan pemerintah. Oleh sebab itu ia membuka kemungkinan beberapa jenis lain seperti Sputnik V atau GlaxoSmithKline (GSK).

“Yang paling penting harus melewati Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM),” kata Rosan dalam sebuah wawancara dengan Katadata.co.id pekan lalu.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan saat ini perusahaan masih dalam tahap pendataan pekerja yang akan menerima vaksinasi. Mengenai jenis vaksin, mereka akan mengikuti rekomendasi pemerintah dan Badan Kesehatan Dunia (WHO).

“Kami mengikuti aturannya seperti apa, maka (mau) pakai merek macam-macam,” kata Hariyadi.

Sedangkan Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan beberapa merek yang dilirik antara lain Moderna atau Janssen, anak usaha Johnson & Johnson. Saat ini sejumlah Menteri hingga Duta Besar sedang sibuk mencari alternatif antivirus yang tersedua.

Erick juga memastikan pengadaan vaksin akan menjadi urusan pemerintah, sedangkan swasta akan dikenakan biaya dalam rangka membeli vaksin jadi. “Swasta tidak bisa impor (karena) pengadaan manufakturnya oleh pemerintah," kata Erick Jumat (29/1) dikutip dari situs berita iNews.

Hasil penelitian terakhir, Sputnik V yang dikembangkan Gemaleya Research Institute dari Rusia memiliki tingkat efikasi mencapai 91,6 % dalam mencegah gejala Covid-19. Hasil uji klinis sementara juga menyebutkan vaksin ini tak memiliki efek samping serius.

Adapun efikasi vaksin Moderna mencapai 94,5%, sedangkan Johnson & Johnson mengklaim vaksin mereka memiliki efikasi 72%. Sementara vaksin GSK yang dikembangkan bersama raksasa farmasi Prancis, Sanofi saat ini masih menjalani pengujian.

Kementerian Kesehatan memang telah menetapkan enam merek vaksin yang digunakan di Indonesia. Keenamnya adalah Sinovac, Sinopharm, Pfizer/BioNTech, Moderna, AstraZeneca, dan Bio Farma.

Sedangkan dari data WHO, hingga 29 Januari sudah ada 15 vaksin Covid-19 yang menjalani uji fase ketiga. Mereka terdiri dari vaksin Sinovac, AstraZeneca, Pfizer, Moderna, Cansino, Janssen Pharmaceutical, Novavax, dan Cansino sebanyak dua vaksin.

Selain itu ada vaksin Sputnik V, Anhui Zhifei Longcom Biopharmaceutical, CureVac, Institute of Medical Biology & Chinese Academy of Medical Sciences, Ressearch Institute for Biological Safety Problems (Kazakstan), Zydus Cadila, dan Bharat Biotech.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) pada November lalu pernah menyatakan usai Sinovac, mereka akan menguji vaksin Sputnik V, Pfizer, dan AstraZeneca. Meski demikian hingga saat ini belum ada kabar lanjutan mengenai rencana tersebut.  

Adapun, Kementerian Kesehatan akan menerbitkan Permenkes soal vaksinasi gotong royong. Selain vaksinasi mandiri, payung hukum tersebut akan mengatur rapid test antigen.

Namun, Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC PEN) Airlangga Hartarto belum memerinci seluruh ketentuan yang bakal tertuang dalam beleid tersebut.  Menteri Kesehatan yang akan membuat Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)," kata dia di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (3/2).

Simpang Siur Informasi

Baik BUMN maupun swasta memang sedang menunggu kepastian payung hukum dan jenis vaksin yang bisa digunakan. Namun, simpang siur informasi juga sempat muncul sebelum aturan resmi keluar.

PT Pertamina Bina Medika (Pertamedika) yang merupakan holding rumah sakit BUMN, menarik informasi terkait praregistrasi vaksin Covid-19 di Rumah Sakit Pelni, salah satu anggota holding.

Sebelumnya, muncul banyak kesalahpahaman atas informasi yang beredar bahwa RS Pelni menawarkan beberapa jenis vaksin dengan harga yang berbeda. Vaksin Sinovac dijual dengan harga Rp 240 ribu dan AstraZeneca dijual Rp 110 ribu.

Vaksin Moderna dijual dengan harga Rp 505 ribu, Novavax dengan harga Rp 150 ribu dan Pfizer dijual dengan harga Rp 350 ribu. Termahal, vaksin Sinopharm yang dibanderol dengan harga Rp 2,1 juta.

Pertamedika lalu menyatakan informasi tersebut bukan merupakan informasi resmi lantaran seluruh program vaksin adalah di bawah kewenangan Kementerian Kesehatan. "Atas kesalahpahaman dan ketidaknyamanan yang timbul, kami sampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya," seperti dikutip dari rilis resmi Pertamedika, Selasa (2/2).

Vaksinasi mandiri oleh perusahaan diharapkan dapat mempercepat terjadinya kekebalan komunitas. Saat ini, pemerintah sedang melakukan pengadaan 426,8 juta dosis vaksin dari berbagai produsen yang akan disalurkan secara gratis. Estimasi kebutuhan anggaran untuk vaksin tersebut sebesar Rp 66,5 trilun-73,3 triliun.

Menkes Budi Gunadi tidak mempermasalahkan bila pengusaha diberikan akses vaksin corona berbayar. Namun, ada sejumlah hal yang perlu diperhatikan. 

Pertama, tujuan vaksinasi dilakukan bukan untuk melindungi diri sendiri, tapi seluruh masyarakat dari Covid-19. Budi tak ingin kelompok kaya mendapatkan akses lebih awal ketimbang golongan yang tak mampu.

"Jangan sampai kelihatan golongan tertentu dapat akses lebih dulu. Saya yakin, para CEO ingin dapat akses dan Anda mampu untuk itu," ujarnya.

Reporter: Rizky Alika, Ihya Ulum Aldin