- Elektabilitas Khofifah Indar Parawansa sebagai cawapres masih rendah dibanding nama lainnya.
- Posisi Khofifah penting untuk menjaring pemilih Jawa Timur.
- Kocok ulang koalisi masih mungkin terjadi.
Tinggal sembilan bulan waktu yang dibutuhkan partai politik untuk menentukan dan mendaftarkan nama calon presiden dan wakil presiden mereka. Manuver politik pun sudah dijalankan dari berbagai koalisi.
Koalisi Perubahan mengusung Anies Baswedan sebagai bakal capres. Lalu, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya alias KIR optimistis dengan capresnya, yaitu Prabowo Subianto.
Manuver terbaru, Prabowo Subianto menggelar pertemuan tertutup dengan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. Kedua petinggi politik ini bertemu di sebuah rumah makan di Surabaya, Jaw Timur pada Senin pekan lalu.
Menteri Pertahanan itu tidak membantah bila pertemuan tersebut membahas politik jelang Pilpres 2024. Namun, ia tidak menyinggung ihwal Khofifah menjadi calon wakil presidennya. “Saya kira, beliau salah satu tokoh yang punya kemampuan di tingkat negara dan bangsa,” kata Prabowo.
Tidak hanya dari KIR, berembus kabar Koalisi Perubahan ingin menggaet Khofifah. Hal ini diakui oleh Wakil Sekretaris Jenderal Nasional Demokrat, Hermawi Taslim. “Khofifah salah seorang yang dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh,” ujar Hermawi pada Selasa (28/2).
Lantas, apa yang membuat kedua bakal calon presiden ini tertarik meminang Khofifah?
Elektabilitas Rendah, Pinangan Ramai
Bila menilik survei terbaru yang dilakukan Lembaga Survei Indikator, elektabilitas Khofifah Indar Parawansa masih rendah, bahkan belum menyentuh 10%. Elektabilitas tertinggi masih dipegang oleh Ridwan Kamil dengan elektabilitas 21,6%, diikuti Sandiaga Uno, dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Khofifah bercokol di peringkat kelima dengan nilai elektabilitas 6,6%, di bawah Erick Thohir dengan nilai elektabilitas 8,8%. Berikut daftar elektabilitas bakal cawapres yang dirangkum dalam Databoks:
Di sisi lain, kandidat calon wakil presiden lain sudah melakukan manuver politik masing-masing. “Khofifah sangat diperhitungkan walau di survei masih biasa-biasa saja. Kalau dia gerak turun ke masyarakat dan melakukan sosialisasi, pasti akan muncul sebagai sebuah kekuatan figur calon wakil presiden,” ujar Ujang pada Katadata.co.id.
Kendati elektabilitasnya rendah, pengamat politik sepakat Khofifah bisa menguntungkan Prabowo dan Anies dengan mendulang suara di Jawa Timur. Bila dilihat, kedua calon presiden ini memang kekurangan suara di provinsi terluas di Pulau Jawa tersebut.
Posisi Khofifah sebagai Gubernur Jawa Timur sejak 2019 inilah yang memikat Prabowo dan Anies. Selain itu, ia adalah salah satu Ketua Bidang di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama alias PBNU.
Khofifah sudah memimpin badan otonom NU bernama Muslimat selama dua dekade, dari 2000 hingga 2021. Muslimat diperuntukkan bagi anggota perempuan NU yang fokus pada kegiatan sosial dan ekonomi.
“Selaku gubernur Jawa Timur, ia memiliki akar politik yang memadai untuk menentukan pertarungan elektoral di Jawa Timur, selama ini menjadi medan perang antarkontestan,” kata dosen ilmu politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam.
Umam mengatakan alasan Prabowo meminang Khofifah sebagai cawapres tidak terlepas dari pengalaman Pilpres 2014 dan 2019. Kala itu, ada perbedaan elektoral tinggi di Jawa Timur.
Itulah sebabnya Prabowo mencari pendamping untuk mengamankan Jawa Timur. “Dalam konteks ini, Prabowo lebih yakin dengan Khofifah daripada Cak Imin (Ketua PKB Muhaimin Iskandar), karena sebaran Khofifah relatif merata di segmen Mataraman, Arek, dan Tapal Kuda,” jelasnya.
Ketiga segmen yang disebutkan Umam ini adalah bagian dari tlatah atau kawasan kebudayaan Jawa Timur. Mataraman membentang dari barat hingga selatan Jawa Timur yang pernah dikuasai Kerajaan Mataram. Arek berada di sisi timur Mataraman, membentang dari Surabaya hingga Malang. Sedangkan Tapal Kuda berada di ujung Timur yang kental dengan budaya Madura.
Namun, elektabilitas Khofifah dinilai belum cukup kompetitif secara nasional. Fokusnya masih di Jawa Timur dan tidak tersebar merata pada provinsi di luar pulau Jawa.
“Jadi, jika Khofifah disandingkan dengan Anies, barangkali bisa menolong penguatan basis pemilih Nahdliyin (NU) dan menetralisir serangan narasi politik identitas yang dialamatkan lawan politik pada Anies,” kata Umam.
Cukupkah Kekuatan Politik Khofifah?
Potensi politik wanita kelahiran Surabaya ini juga tidak lepas dari tantangan politik. Umam menyebut, Khofifah masih punya tiga pekerjaan rumah agar bisa maju dalam Pemilu 2024. Pertama, belum ada partai politik yang siap mensponsorinya maju sebagai cawapres.
Ini penting karena Khofifah butuh mesin politik untuk mendukungnya maju. Ia harus meningkatkan elektabilitas agar mampu menyaingi tiga nama besar bursa cawapres.
“Kalau ia maju (sebagai cawapres) dengan Prabowo, tentu akan diveto oleh Cak Imin yang kini menggawangi PKB. Jika ia ingin maju dengan Anies, maka ia harus berpikir bagaimana cara negosiasi dengan Demokrat dan PKS untuk ‘merelakan’ kekuatan politik untuknya?” ujar Umam.
Kedua, mantan menteri sosial tersebut harus menjamin bahwa dirinya bersih, tanpa celah hukum yang berpotensi membuka ruang tembak saat melangkah di Pilpres 2024. Menurut Umam, salah satu celah hukum yang bisa dimanfaatkan lawan politiknya adalah terkait dugaan pelanggaran bantuan sosial pemerintah daerah Jawa Timur. Kasus ini membuat sejumlah penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) datang ke kantor Khofifah pada akhir Desember lalu.
Ketiga, Khofifah harus memiliki sumber daya yang cukup, dari segi pendanaan dan kecocokan dengan salah satu calon presiden. Bila sudah ada kedekatan dengan salah satu capres, Khofifa dapat bersanding sebagai pasangan capres dan cawapres pada Pilpres 2024. “Ketiga faktor itu tampaknya belum bisa dijawab dengan baik oleh Khofifah,” kata Umam.
Kemungkinan Kocok Ulang Koalisi
Sejauh ini, sudah ada tiga koalisi yang terbentuk serta satu partai yang akan maju ke Pemilu; Koalisi Perubahan, Koalisi Indonesia Bersatu, dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya. Berikut perbandingan jumlah kursi keempat kekuatan ini:
Dengan adanya dua nama bakal calon presiden yang maju dari Koalisi Perubahan dan KIR, masih ada kemungkinan nama baru calon presiden atau perombakan koalisi. Menurut Nicky Fahrizal dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), hal ini terjadi karena partai masih fokus untuk mendapat kursi di DPR.
“Logikanya, kalau partai menang di DPR, maka dia bisa mengajukan calon presiden sendiri tanpa perlu koalisi. PDIP salah satunya,” ujarnya.
Ia menganalisa, KIB masih menunggu nama cawapres PDIP. Bila PDIP sudah mengumumkan, maka ada kemungkinan KIB akan bergabung dengan PDIP. Sebab dari segi politik ekonomi, ongkos politik untuk maju dengan satu putaran pemilihan akan lebih murah.
Perihal waktu yang akan dipilih PDIP untuk mencalonkan nama presiden, Nicky memperkirakan akan jatuh pada Juni 2023. Sebab, Megawati selaku ketua umum PDIP kerap mengeluarkan keputusan bersamaan dengan sebuah momentum.
Bulan tersebut bertepatan dengan lahirnya presiden pertama RI dan ayah Megawati, Soekarno “Soekarno selaku pendiri PDIP lahir di bulan Juni, bulan itu juga diperingati sebagai bulan Pancasila. Tapi tanggalnya masih belum tahu, sebab peringatan ini berlangsung selama sebulan,” katanya.
Ujang pun mengamini pandangan ini. Menurutnya, bila PDIP mengusung Puan Maharani, maka PDIP akan maju sendirian tanpa koalisi. Tapi bila PDIP mencalonkan Ganjar, maka KIB akan bergabung dengan PDIP.
“Koalisi ini masih akan terus dinamis dan berubah. Selama janur kuning belum melengkung, selama nama capres dan cawapres belum didaftarkan, masih bisa terjadi skenario yang kita tidak tahu” ujar Ujang.