Tidak Semua Fintech Akan Bertahan

DONANG WAHYU I KATADATA
Direktur Utama Mandiri Capital Eddi Danusaputro
4/10/2017, 06.50 WIB

Perbankan tengah memasuki era baru seiring disrupsi teknologi. Selain mengembangkan layanan digital (digital banking), perbankan juga menghadapi kemunculan perusahaan perintis (startup) yang menawarkan layanan keuangan berbasis teknologi (financial technology).

Ketimbang bersaing, beberapa bank memilih mendirikan perusahaan modal ventura untuk menggandeng fintech startup. PT Bank Mandiri Tbk misalnya, pada tahun lalu mendirikan perusahaan modal ventura PT Mandiri Capital Indonesia (MCI). Belakangan, MCI menanamkan modal pada fasilitas penerimaan pembayaran dengan kartu selain mesin Electronic Data Capture (EDC) bernama Cashlez.

Direktur Utama MCI Eddi Danusaputro melihat disrupsi fintech terhadap perbankan tak bisa terelakkan. “Sooner or later akan terjadi disruption ,” katanya kepada wartawan Katadata, Martha Thertina, Pingit Aria, dan Asep Wijaya di Jakarta, Rabu (30/8) lalu. Berikut petikan wawancara khusus mengenai peluang dan tantangan serta prospek fintech di Indonesia.

Kenapa Bank Mandiri mendirikan Mandiri Capital Indonesia? 

Tren dunia adalah perbankan tradisional banyak didisrupsi oleh fintech. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Singapura, Amerika, Perancis. Citibank, Amex, AXA Financial, DBS, segala macam, semua sedang mengalami disruption dari fintech startup.

Terutama bagi kaum milenial, ketika memiliki uang maka tidak harus ditaruh di bank. Ketika mengirim uang tidak akan necessary pakai bank, even meminjam uang. Anak zaman sekarang merasa banyak tempat lain untuk meminjam uang juga. Peer to peer landing (pinjam-meminjam antarindividu) bisa menjadi alternatif dibanding tranditional banking.

Bank Mandiri sadar bahwa cepat atau lambat akan terjadi disruption. Daripada pasif menunggu didisrupsi fintech startup ini, lebih baik mendirikan Mandiri Capital sebagai corporate banker capital actively invest ke startup fintech. Dengan begitu, disrupsi atau inovasinya bisa dari dalam.

Bagaimana Bank Mandiri memperlakukan fintech-fintech itu?

Agak sulit fintech dijadikan anak usaha karena startup yang bagus tidak akan mau menjual mayoritas sahamnya. Mereka cuma lepas 5, 10, 15, 20% saham sehingga kami tetap minoritas di startup itu.

Sedangkan kami juga tidak akan ambil 51% atau 80% saham karena kami menginginkan mereka bisa tumbuh independen. Kami bantu dengan cara mengenalkan ke nasabah dan jaringan Bank Mandiri. Kalau mereka jadi anak perusahaan maka inovasinya seringkali hilang, jadi vendor dong.

Seperti apa bentuk kolaborasinya dengan fintech?

Kami investasi ke fintech peer to peer lending bernama Amartha. Bank Mandiri tidak terlalu kuat di mikro, karena itu kami investasi ke Amartha yang sangat kuat di pembiayaan mikro. Rata-rata besaran pembiayaan Rp 2-3 juta per peminjam.

Model bisnis dan risk software psychometric analysis (software analisis risiko) Amartha itu bisa kami bawa sebagai inovasi ke dalam Bank Mandiri. Di sisi lain, kami membantu Amartha menaikkan rekam jejak mereka.

Apakah fintech Amartha ini akan digunakan Bank Mandiri sebagai channeling kredit UMKM?

Hal ini sedang penjajakan. Tapi Amartha itu peer to peer lending sehingga tetap terima uang dari kita (masyarakat) sebagai retail. Tapi, Amartha tidak akan menolak kalau ada institusi lain mau channeling juga. Tapi perlakuannya akan berbeda.

Berapa jumlah fintech yang sudah masuk portofolio Mandiri?

Yang sekarang masuk portofolio ada tujuh startup. Kami mulai beroperasi Januari 2016. Kami tidak punya target, hanya kalau bisa meramalkan mungkin penambahan 2-3 fintech lagi hingga akhir tahun ini.

Berapa target dana yang disiapkan? 

Sedikit lebih dari Rp 500 miliar. Dari mulai kemarin 2016 mungkin bisa bertahan untuk 3-4 tahun. 

Seperti apa jenis fintech yang akan didanai Bank Mandiri?

Di dalam fintech itu ada subsektor yang menjadi prioritas. Pertamapayment (sistem pembayaran) termasuk mobile payment. Kedualending (pembiayaan) termasuk peer to peer lending dan crowdfunding. KetigaSMI solution atau solusi untuk UMKM. Tapi kami bisa saja mendanai lebih dari satu fintech di dalam satu subsektor. 

Apa saja kriteria memilih fintech?

Pertamaplatform-nya. Kedua, manajemen timnya. Ketiga rekam jejak. Kalau mereka sudah jualan berarti ada pendapatannya. Berapa jumlahnya? Berapa nasabahnya?

Contohnya, kami investasi ke Moka POS (point of sales/sistem kasir). Ketika kami masuk, ada sekitar 1.000 toko yang memakai software mereka. Kami melihat tren grafiknya naik. Kalau di Amartha, rekam jejaknya berupa jumlah follower (pengikut), lender (pemberi pinjaman), besaran pinjaman secara kumulatif.

Apa bentuk atau jenis fintech yang paling mudah diterima pasar? 

Yang mudah dipasarkan, seperti peer to peer lending dan segala macamnya itu break event (balik modal) dan keuntungannya mungkin agak lama. Kalau yang agak susah dimengerti orang, misalnya cryptocurrency, blockchain, cyber security, dan segala macam, yang mungkin orang awam tidak begitu mengerti, mungkin bisa lebih cepat break even dan profitnya.

Seberapa besar layanan fintech sudah mengurangi transaksi perbankan?

Saya tidak punya datanya. Tapi pendapatan atau keuntungan fintech saat ini mungkin belum sampai tahap yang mengkhawatirkan industri perbankan secara umum. Sedangkan kalau kami lihat per sektor, sudah mulai ada tren beralih ke fintech.

Contohnya, kita bisa lihat data bahwa transaksi yang melalui branch (kantor cabang bank) semakin turun. Ke depan itu mobile banking sehingga ada bank-bank yang menyasar kaum milenial dengan membuka digital only, seperti Jenius (bank digital milik BTPN), dan segala macam.

Kalau zaman dulu, saya punya uang lebih sehingga taruh saja di bank. Saya percaya bank tersebut akan memutar uang untuk pendanaan dan menghasilkan profit, dikembalikan ke saya dalam bentuk bunga. Tapi, anak zaman sekarang tidak begitu, mereka ingin involve (terlibat). Saya mau tahu ke mana uang saya disalurkan, makanya peer to peer lending jadi pilihan. Mereka merasa uangnya ke pengusaha ini untuk home industry, kalau rugi tidak apa-apa. Jadi ada social involvement-nya.

Mengapa peraturan di bank sangat ketat, sedangkan fintech lebih longgar? 

Kalau fintech peer to peer lending dibandingkan dengan perbankan mungkin tidak apple to apple. Dalam hal ini yang paling mirip adalah perusahaan pembiayaan karena dasarnya masih tetap non-collateral lending, yang tidak ada agunannya. Bank juga ada non-collateral, Kredit Tanpa Agunan (KTA), cuma bukan bisnis utama perbankan. Perbankan bisnis utamanya collateral based lending

Ke depan, kami perlu ekosistem yang lebih sehat karena ini berhubungan dengan uang masyarakat. Jadi, kami tidak ingin ada kasus fraud (penipuan), mismanagement (salah urus). Pengetahuan saya dana yang dihimpun fintech peer to peer lending bukan dari masyarakat biasa, karena platformnya berbasis aplikasi. Mungkin dananya dari middle up (masyarakat menengah atas), bukan rakyat biasa yang menabung.

Sifatnya bukan deposit, seperti di Uang Teman, Modalku, Investree, Amartha. Sistemnya bukan deposit, tapi peer to peer, crowdfunding, membiayai orang lain yang butuh. Bukan ditaruh uangnya di Amartha dan dapat bunga, jadi tidak sama dengan perbankan.

Selama regulator menetapkan aturan bahwa pemberi pinjaman mengerti produk perbankan, willing to lose (tidak masalah kehilangan uang) sebagian atau semuanya, berarti sudah tidak ada penyajian informasi yang keliru.

Bagaimana dengan rencana Bank Indonesia mengeluarkan peraturan terkait sandbox untuk fintech?

Idenya sandbox sebetulnya dari taman bermain. Di taman itu ada kotak pasir untuk anak-anak main pakai sekop. Jadi, kalau startup mau bermain selama tidak merugikan ekosistem maupun nasabah, akan tetap dibiarkan bermain seperti anak kecil dalam sandbox itu. Tapi kalau startup sudah agak besar maka akan ditarik dari sandbox-nya dan diminta mengajukan lisensi atau izin. 

Jadi konsepnya sandbox itu less regulation buat yang masih infant (bayi). Kalau startup-nya sudah makin besar dan dana yang dihimpun makin banyak, nasabah makin banyak, mungkin akan ditarik regulator.

Bagaimana prosedur startup mendapatkan pendanaan dari Mandiri Capital?

Pertama, kami proaktif mendatangi startup, contohnya di kampus-kampus. Saya dalam beberapa bulan terakhir pengalaman ke UGM, Undip, Prasetya Mulya, karena di kampus banyak juga yang punya inkubator.

Selain universitas, ada coworking spaces, tidak hanya di Jakarta tapi juga di Ubud, Bali, namanya Hubud. Kami sendiri juga ada Mandiri incubator business. Selain itu, kami buat kompetisi seperti pitching competiton

Bagaimana dengan anggapan startup itu hanya ‘bakar duit’?

Itu benar. Jadi memang kami sebagai venture capital yang mendanai startup, persentase kesuksesannya kecil. Makanya, kami selektif dan cuma punya tujuh startup. Bukan berarti semuanya akan sukses. Kedua, kami harus memastikan tidak bisa bakar uang terus. Pada akhirnya harus BEP (balik modal) dan untung, itu kami lihat dalam tiga tahun, lima tahun atau tujuh tahun.

Bagaimana prospek perkembangan fintech di Indonesia dalam 5-10 tahun ke depan?

Saya pikir tidak hanya fintech, tapi startup di Indonesia akhirnya akan bermain di kualitas. Ada pendapat, "one winner takes all". Contohnya, banyak e-commerce di Tiongkok, tapi akhirnya yang bertahan Alibaba. Di Amerika juga banyak market place e-commerce tapi akhirnya yang bertahan Amazon.

Di Indonesia, ada Tokopedia, Bukalapak, Lazada, Elevania, Belanja, Blibli. Apakah Indonesia cukup besar sehingga semuanya bisa survive (bertahan)? Maybe not (mungkin tidak). Tapi saya juga tidak yakin kalau yang bertahan cuma satu.

Begitu juga di fintech, tidak semuanya akan bertahan. Bisa yang terjadi konsolidasi, bukan bangkrut, jadi mereka merger. Jadi ke depan, less in quantity more in quality (dari segi kuantitas berkurang, tapi kualitas bertambah).