Bangkitkan Pariwisata - Ekraf dengan Protokol Kesehatan dan Big Data

Katadata
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno (Ilustrasi: Joshua Siringo-Ringo)
31/1/2021, 09.00 WIB

Pariwisata merupakan salah satu sektor usaha yang paling terpukul oleh dampak pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung lebih 10 bulan ini. Dalam kondisi tersebut, Sandiaga Uno yang baru menjabat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 23 Desember 2020. memilih tancap gas berkunjung ke berbagai destinasi pariwisata. 

Ia ingin memastikan protokol kesehatan yang berbasis kebersihan (cleanliness), kesehatan (health), keamanan (safety) dan kelestarian lingkungan (environment sustainability) atau biasa disebut CHSE telah sesuai standar.

“Saya sangat percaya bahwa kebangkitan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif sangat bergantung penanganan aspek kesehatan ini seperti apa,” kata Sandiaga dalam wawancara khusus dengan Tim Katadata.co.id pertengahan Januari lalu.

Calon Wakil Presiden RI 2019-2024 ini juga bergerak cepat untuk memetakan keunggulan dan tantangan pengembangan destinasi wisata. Promosi ekonomi kreatif juga akan diintegrasikan dengan destinasi pariwisata.

Dengan pemanfaatan big data, pariwisata dan ekonomi kreatif akan terintegrasi dengan ekonomi digital yang memiliki potensi besar. Berikut petikan wawancara pengusaha sekaligus politisi dan mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut.

Apa strategi untuk mengembangkan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif di tengah pandmei dan pemulihan ekonomi tahun ini?

Saya melihat kita mengawali 2021 ini dengan pesan. Pertama, bagaimana mempromosikan protokol kesehatan yang ketat dan disiplin. Saya sangat percaya bahwa kebangkitan agenda pembangunan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif sangat bergantung penanganan aspek kesehatan ini seperti apa.

Kedua, menggunakan big data di tengah pandemi untuk beradaptasi. Mungkin fokusnya bukan untuk wisatawan mancanegara tapi wisatawan Nusantara yang dikemas dengan konsep CHSE.

Jadi saya selalu bilang 3G (gercep, geber, gaspol), 4K (kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan keberlanjutan), dan 5 destination (super prioritas). 3G itu agar bergerak cepat, bersama, dan garap semua potensi yang dapat mempertahankan lapangan kerja. 4K ini adalah yang adaptasi CHSE.

Sedangkan 5 destinasi yang menjadi target kami itu agar membuat wisatawan itu stay longer, spend more dan bisa memberdayakan ekonomi setempat jadi inklusif.

Bagaimana peran big data untuk memetakan potensi pariwisata dan ekonomi kreatif ke depan?

Saya memiliki satu keyakinan bahwa kebijakan itu haruslah berbasis data yang akurat dan terverifikasi. Khusus di potensi pariwisata dan ekonomi kreatif ini, saya percaya bahwa penggunaan teknologi terutama big data, artificial intelligent, robotic, internet of think, machine learning dan lainnya akan jadi bagian terpenting.

Pariwisata dan ekonomi kreatif ini kontribusinya ke Produk Domestik Bruto sekitar 4 persen, sedangkan ekonomi kreatif sekitar 6-7 persen, jadi total di kisaran 10 persen.

Sedangkan 30 persen dari jumlah lapangan pekerjaan di Indonesia dikontribusikan oleh sektor ini. Dari 30 juta ini, 12 juta lebih dari pariwisata dan 18 juta lebih dari ekraf, total ada lebih dari 34 juta orang yang menggantungkan hidup dari 17 sub sektor ekraf ditambah pariwisata.

Bagaimana Anda melihat kondisi pariwisata saat ini ?

Saya ditugaskan untuk membangkitkan sektor yang sangat terdampak pandemi ini dan kami lihat apa yang bisa dilakukan untuk membantu. Kalau kita lihat, dari data Januari sampai Desember 2020, pandemi menekan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara 70,57 persen.

Hanya 3,56 juta orang (wisatawan) dibandingkan tahun sebelumnya. Belum lagi 1,42 juta lapangan kerja parekraf terdampak pandemi dan mungkin angkanya akan meningkat lagi karena sekarang masuk dalam PPKM. Ini adalah waktu yang sangat sulit untuk sektor ini.

Apakah sudah ada pemetaan keunggulan dan kendala pengembangan lima destinasi wisata super prioritas?

Lima ini punya tantangan tersendiri karena dari sebagian ada yang sudah jauh lebih maju, tapi sebagian lagi seperti Likupang masih sangat awal. Contoh, waktu saya pertama kali ajak orang ke Likupang, mereka malah bilang: "kok ke NTT lagi, bukannya baru dari Labuan Bajo?"

Padahal Likupang itu ada di Sulawesi Utara, dekat kota Manado. Jadi dari segi awareness masih rendah. Lalu, ada lagi yang infrastrukturnya masih dibangun.

Saya sudah datang ke dua tempat yaitu Danau Toba dan Labuan Bajo dan akan ke Mandalika besok (saat wawancara, Sandiaga sedang dalam persiapan ke Mandalika, NTB). Selanjutnya saya akan ke Likupang dan ke Borobudur. Tapi berhubung saya dulu punya usaha di Borobudur, jadi sudah punya bayangan terkait pengembangan dan persiapannya.

Lalu bagaimana strategi memacu kedatangan turis?

Jadi saya sudah lapor ke Pak Presiden, saya bilang kita perlu quick wins, dan akan saya bentuk dalam calendar of event karena kalau menunggu infrastrukur akan memakan waktu. Kami siapkan kalender eventnya, sport tourism, nature, culture, sustainability, dan lain sebagainya.

Kalau bisa ada kolaborasi ekonomi kreatif dan pariwisata misalnya dari produk fashion, kuliner, kriya, dan lain sebagainya.

Seperti apa model kolaborasinya ?

Pertama, UMKM agar lebih berdampak kepada ekosistem di tiap destinasi wisata, produk yang harus lebih memberikan kemaslahatan,  serta bisa customize.  Sekarang event harus mengacu kepada protokol Covid-19, mungkin sport tourism, eco tourism, marine tourism, dengan konsep quality, sustainable, and smart tourism.

Jadi bukan hanya mengandalkan jumlah wisatawan yang berkunjung tapi bagaimana dampaknya terhadap kualitas. Upaya ini harus bisa dicapai dengan pemanfaatan big data.

Secara khusus, apa strategi yang akan digunakan untuk mengembangkan ekonomi kreatif ?

To be honest, waktu pariwisata digabung lagi dengan ekonomi kreatif, sebagian pelaku ekonomi kreatif khawatir 17 subsektor yang sudah tersusun di zaman Bekraf akan hilang dari prioritas. Saya di sini memastikan bahwa kami akan meningkatkan dengan pendekatan yang out of the box karena potensinya luar biasa dan kita juga punya talenta terbaik dunia.

Selain aspek inovasi dan adaptasi, kita juga harus kolaborasi. Saat ini sudah ada "Bangga Buatan Indonesia", tapi bulan depan kami akan luncurkan “Beli Kreatif Lokal”.

Bagaimana konsepnya ?

Kami sudah launching Bangga Buatan Indonesia dan Beli Kreatif Lokal yang Insya Allah bulan depan dijalankan di Danau Toba. Saya belajar dari teman yang menjalankannya bersama BRI kemarin, ternyata kolaborasi pelaku ekonomi kreatif UMKM dalam satu festival bisa menjual produk dengan nilai US$ 57 juta dan sebagian besar diekspor.

Ini satu hal yang menurut saya punya potensi sangat besar, dan penggunaan platform digital akan semakin vital dalam mengakselerasi program pelaku ekonomi kreatif.

Promosi pariwisata dan ekonomi kreatif ini juga akan terintegrasi sehingga tidak ada promosi pariwisata yang tidak  menyentuh ekonomi kreatif. Begitu kita datang atau memesan tiket itu sudah pakai produk ekonomi kreatif dan bisa terintegrasi sehingga site, sound, feel, taste dan semua indera perasa ini harus dipuaskan dengan produk ekonomi kreatif lokal.

Bila turis ke Danau Toba, kalau turun di airport harus ada penari dan musik Tor-tor, bukan hanya untuk menteri tapi semua harus diberikan layanan yang sama. Lalu produk fashionnya ulos, makanan yang mau dikembangkan ada Mie Gomak dan Roti Ganda.

Saya yakin langkah ke depan harus bersinggungan dengan lapangan pekerjaan untuk kesejahteraan masyarakat di parekraf dan khususnya milenial yang menjadi demografi utama.

Apakah keterbatasan penetrasi digital masih menghambat perkembangan pariwisata dan ekonomi kreatif ?

Saya enggak melihat ini tantangan, justru opportunity karena potensi ini akan diselesaikan oleh terobosan seperti edutech (education technology), dan lain sebagainya. Memang talenta SDM kita belum ready dan melek digital tapi kita punya platform seperti Ruangguru, Rumah Siap Kerja, macam-macam.

Mereka bisa digunakan karena konsep kami holistik karena kita harus menambah  kuantitas dan kualitas talenta digital untuk membuka lapangan kerja. Karena kalau bicara kreativitas, orang Indonesia itu kreatif.

Kedua, infrastruktur yang kita harus akui belum memadai dari segi coverage misalnya, di Pulau Rinca atau Wonosobo (Jawa Tengah). Saya langsung telepon BTS owner karena kalau lewat Kementerian akan memakan waktu untuk turun langsung ke bawah.

Jadi bagaimana para inovator dan kreator juga didukung oleh kebijakan dan program yang tepat, ini yang saya lihat jadi peluang sekaligus tantangan untuk menghadirkan solusi.

Dengan digitalisasi dan pengembangan lima destinasi super prioritas, berapa target kontribusi sektor ini ke PDB ?

Kami setiap hari harus lakukan re-modelling karena wisatawan mancanegara saja belum bisa masuk bulan ini. Tapi dengan adanya vaksin, 3T dengan protokol kesehatan yang lebih ketat dan disiplin, kami memproyeksikan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif ini jadi leading sektor perekonomian 15 sampai 20 tahun ke depan.

Sedangkan target perolehan devisa dari pariwisata dan ekonomi kreatif itu pada 2024 sebesar US$ 21,5 sampai US$ 23 miliar. Target ekspor dari ekonomi kreatif kita hampir US$ 20 miliar.

Apakah target tersebut akan tercapai dengan adanya pandemi ?

Kemarin kami sudah berbicara dengan INDEF untuk mencari cara melihat dari sisi teknokrasinya. Nah, target US$ 4,8 sampai US$ 8,5 miliar untuk 2021 ini harus kami tinjau ulang, tapi target nilai ekspor ekonomi kreatif kita sudah sampai di level US$ 17,5 miliar kalau dibandingkan dengan perkembangan ekonomi digital yang mencapai US$ 44 miliar.

Jadi kalau bicara mengenai kontribusi PDB, kontribusi lapangan kerja, saya melihat proyeksi kami di 2025 untuk sektor parekraf yang bersinggungan dengan digital ekonomi dengan potensi US$ 124 miliar ini di 2025 akan sangat besar. Teman-teman di Parekraf menargetkan 8-10 persen di 2030 sampai 2035 tapi saya challenge ada di angka 10 sampai 15 persen.

Jadi kapan wisatawan bisa bepergian dengan nyaman dan aman ke Labuan Bajo atau Bali ?

Sangat bergantung terhadap protokol kesehatan yang disiplin, vaksin, testing, tracing, dan treatment. Yang menurut saya menjadi kandidat paling besar adalah Bali karena dampaknya luar biasa, minus 12 persen dari pertumbuhan ekonomi.

Lalu Labuan Bajo karena relatif isolated, bisa menjadi kandidat travel bubble. Mudah-mudahan tidak terlalu lama lagi kita bisa melihat dua daerah ini kembali jadi daerah aman dan nyaman untuk kita kunjungi lagi.