Ketimpangan Digital Tentukan Kemampuan Bertahan selama Pandemi

Katadata/Ilustrasi: Joshua Siringo-Ringo
Rendy A Diningrat, Head of Research Department, SMERU Research Institute.
Penulis: Rendy A. Diningrat
Editor: Sorta Tobing
30/6/2021, 14.35 WIB

Ketimpangan antara orang kaya dan miskin dalam menggunakan teknologi digital, atau yang biasa disebut sebagai ketimpangan digital, nyata terjadi di Indonesia.

Orang dengan kemampuan menengah ke atas, misalnya, memiliki kemampuan lebih untuk membeli perangkat telekomunikasi dan pulsa dibanding orang miskin yang memiliki kebutuhan pokok yang harus diprioritaskan.

Meski sejak 2014 hingga 2019, tingkat ketimpangan di Indonesia menunjukkan perbaikan, rasio ketimpangannya masih tetap besar (di atas 0,38).

Rasio ini meningkat selama pandemi Covid-19, yang berarti semakin lebarnya kesenjangan antara miskin dan kaya di Indonesia.

Dalam konteks pandemi, ketika mobilitas fisik yang terbatas memaksa banyak orang bergantung pada teknologi digital untuk mendukung aktivitas sehari-hari, ketimpangan digital menentukan bagaimana seseorang bisa bertahan hidup.

Survei terbaru kami dari SMERU Research Institute menunjukkan ketimpangan pada akhirnya akan ikut menentukan kemampuan seseorang mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan penurunan kualitas hidupnya seperti risiko kehilangan manfaat belajar (learning loss).

Kelompok rentan seperti keluarga miskin, anak-anak, orang lanjut usia, dan penyandang disabilitas berpotensi memiliki tantangan yang lebih besar sebab mereka tak memiliki banyak pilihan.

Dampak ketimpangan digital

Kita bisa menelisik ketimpangan digital pada masyarakat Indonesia melalui data profil pengguna internet.

Hingga 2019, lebih dari 50% penduduk perkotaan telah mengakses internet. Angka ini jauh lebih besar dibanding pengguna internet di perdesaan yang hanya sekitar 30%.

Masih rendahnya pengguna internet di pedesaan karena belum meratanya akses terhadap infrastruktur dan jaringan digital. Hingga 2018, sekitar 64% desa di wilayah kabupaten belum memiliki menara pemancar dan penerima sinyal atau yang lebih dikenal dengan sebutan BTS (Base Transceiver Station)).

Mereka yang status ekonominya lebih baik (69,1%), lebih muda (>70%), dan berpendidikan tinggi (sekitar 70-90%), memiliki kesempatan lebih besar dalam mengakses internet.

Hanya 28,3% penduduk berpenghasilan rendah yang mampu mengakses internet.

Sekalipun memiliki akses, tidak semua orang memiliki pengetahuan yang cukup untuk menggunakan teknologi digital atau disebut sebagai literasi digital.

Saat ini status literasi digital pengguna internet Indonesia masih berada pada tingkat sedang, yakni dengan skor 3,47 dari 5.

Namun bila merujuk pada data 2018, literasi digital pelajar di Indonesia menunjukkan skor paling rendah, tertinggal dari Vietnam dan Malaysia.

Penilaian ini menguji kemampuan responden dalam memilah informasi kredibel pada teks online, salah satunya dengan melihat strategi pelajar dalam merespons spam.

Hal tersebut menjelaskan mengapa survei terbaru dari SMERU Research Institute menunjukkan bahwa tidak semua keluarga siswa dapat menyediakan dan mengoperasikan perangkat digital serta mendampingi kegiatan belajar virtual.

Sebuah studi di Amerika Serikat menunjukkan bahwa tertinggalnya perempuan dibanding laki-laki dalam penguasaan teknologi jarak jauh membuat mereka rentan kehilangan pekerjaan selama pandemi.

Apalagi dalam situasi hampir semua aktivitas harus dilakukan dari rumah, maka perempuan juga berisiko menerima beban ganda domestik yang lebih besar dibanding laki-laki, seperti pengasuhan anak dan pendampingan kegiatan belajar mengajar.

Radio handy talky jadi solusi pembelajaran jarak jauh. (ANTARA FOTO/Adeng Bustomi)

Pentingnya inklusi digital

Menyelesaikan masalah ketimpangan digital bisa menjadi solusi untuk memperluas kesempatan kita untuk bertahan dan bangkit dari krisis akibat pandemi COVID-19.

Untuk itu, pemerintah perlu mendorong pemerataan digitalisasi dengan menjamin internet untuk semua.

Pemerintah perlu mempercepat penyediaan infrastruktur dan perluasan jaringan digital di wilayah tertinggal, terdepan, dan terpencil, terutama di kawasan timur Indonesia, berikut prasarana penunjang dasar lainnya seperti jaringan jalan dan listrik.

Pemerintah juga perlu menjamin keterjangkauan harga perangkat digital seperti telepon cerdas dan kuota data.

Kita mungkin perlu memikirkan cara terbaik. Namun upaya beberapa pemerintah desa di berbagai wilayah di Indonesia dalam menyediakan akses wifi gratis untuk mendukung kegiatan pembelajaran jarak jauh merupakan langkah awal untuk mengurangi biaya internet.

Selain itu, pemerintah juga perlu mengembangkan strategi untuk meningkatkan literasi dan keterampilan digital.

Upaya literasi digital tidak hanya perlu fokus pada upaya menghindari hoaks, tapi juga mengedukasi pengguna teknologi digital untuk meningkatkan kemampuan ekonomi mereka.

Keterampilan digital juga perlu diasah untuk meningkatkan kompetensi tenaga kerja. Talenta-talenta digital perlu disiapkan untuk memperoleh sebesar-besarnya prospek ekonomi digital. Pembangunan keterampilan digital membutuhkan kebijakan yang meningkatkan kemampuan tenaga kerja saat ini dan menyiapkan generasi masa depan.

Kita perlu menyambut baik Peta Jalan Indonesia Digital 2021-2024 yang sedang disusun oleh pemerintah, melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika. Peta Jalan tersebut akan menuntun Indonesia dalam meningkatkan ketahanan sekaligus daya saingnya dalam sektor ekonomi digital.

Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan dukungan berbagai pihak, pemerintah di berbagai jenjang, sektor swasta seperti penyedia jasa telekomunikasi, dan lembaga non-pemerintah untuk mewujudkan pemerataan digital untuk seluruh lapisan masyarakatnya.