Peluang bisnis digital diyakini menjanjikan bagi pelaku usaha. Bahkan ada yang bilang bisnis ini mampu bertahan dan terus tumbuh di masa krisis akibat pandemi Covid-19 saat ini. Banyak kelompok-kelompok konglomerasi besar pun ingin ikut ambil bagian dengan berinvestasi di perusahaan startup digital.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengatakan transaksi ekonomi digital di Tanah Air pada 2020 diperkirakan US$ 44 miliar atau setara Rp 638 triliun. Tiga tahun lagi angka tersebut bisa mencapai Rp 1.798 Triliun.
Mungkin peluang pasar ini yang besar yang coba diambil Lippo Group dengan masuk ke bisnis digital. Selama ini Lippo Group dikenal sebagai salah satu kelompok bisnis terbesar di Indonesia yang bergelut di berbagai sektor dari properti, kesehatan, media, retail, hingga investasi.
Grup Lippo mulai masuk ke bisnis startup digital pada 2015 dengan mendirikan perusahaan investasi yakni Venturra Capital. Perusahaan ini didirikan dengan dukungan modal sebesar US$ 150 juta atau sekitar Rp 2 triliun. Saat ini Venturra Capital sudah berinvestasi di banyak startup seperti Zilingo, ruangguru.com, Luno, Shopback, Kaodim, Sociolla, Bride Story, Fabelio hingga TADA.
Lippo Group sempat mengincar perusahaan ride hailing Gojek pada 2016, tapi gagal. Akhirnya investasi tersebut dialihkan ke perusahaan sejenis asal Singapura, Grab pada 2016 melalui penggalangan dana yang dilakukan Venturra Capital. Ketika itu Venturra Capital berhasil menggalang dana untuk Grab sebesar US$ 100 juta. Lippo Group berkontribusi US$ 5.000 atau setara Rp 68 juta.
Saat ini Lippo memang cukup banyak berinvestasi di perusahaan digital. Rata-rata perusahaan yang dimasukinya cukup kuat, seperti Ruang Guru, Grab, Ovo, serta yang masih hangat adalah Gojek dan Tokopedia.
Pandemi Covid-19 yang berdampak besar bagi perekonomian dunia seolah tidak menyurutkan langkah grup Lippo terus berinvestasi di perusahaan teknologi digital. Direktur Lippo Group John Riady mengatakan pandemi Covid-19 justru mempercepat dan memperdalam transformasi digital. Sebagian besar aktivitas masyarakat sudah dapat dilakukan secara online.
“Tentu sekarang dalam kehidupan kita masing-masing itu cara kita pesan makanan, cara kita belanja, cara kita melakukan pembayaran, semuanya sudah berubah,” kata Direktur Lippo Group John Riady, saat sesi wawancara dengan Katadata.co.id, Selasa (24/8).
Lantas bagaimana awalnya Lippo Group yang sebelumnya di bisnis konvensional mulai masuk ke bisnis digital? Berikut kutipan wawancaranya bersama Co-founder dan CEO Katadata Metta Dharmasaputra:
Apa latar belakang Lippo berinvestasi di digital?
Visi kami selama ini adalah bagaimana mengambil bagian dan memberi kontribusi terhadap konsumen middle class di Indonesia.
Kami adalah perusahaan konsumen jasa dan percaya sepuluh tahun ke depan akan banyak penduduk Indonesia memasuki middle class. Saat memasuki segmen menengah ini, mereka, generation of first, barangkali pertama kali berlibur ke luar negeri atau mengirim anggota keluarga, seperti anaknya, untuk dapat mencapai perguruan tinggi di luar negeri. Barangkali pertama kalinya mereka dapat mengalami pelayanan kesehatan berkualitas global.
Jadi, setiap saat kehidupan masyarakat meningkat, visinya kami bagaimana megambil bagian dalam momentum tersebut. Secara langsung atau tidak langsung, kami bisa meningkatkan taraf hidup mereka dan memberikan dampak positif pada kehidupan mereka.
Saya pikir sekarang ini tidak lepas dari transformasi digital. Makanya, saya percaya perubahan perilaku konsumen dan tren teknologi yang tentunya dipercepat dan diperdalam. Adanya Covid-19 ini menjadi salah satu game changer penting di Indonesia.
Apa yang dilihat Lippo di bisnis digital?
Dari perspektif bisnis, tentu kami fokus untuk mencari perusahaan yang bisa menjawab dan memberi solusi dari masalah di komunitas kita. Saya percaya tidak ada perusahaan yang memberikan solusi lebih baik dalam menghadapi tantangan untuk menjawab masalah kebutuhan konsumen.
Kami melihat Tokopedia, Gojek dan Ruang Guru sangat berhasil karena mereka memberi solusi riil terhadap kebutuhan konsumen. Sehingga benar-benar mengubah consumen behaviour dan terus menggunakannya. Terjadilah sebuah bisnis yang ril, karena memiliki value propotition (nilai yang utuh) yang bisa menjawab masalah di komunitas.
Saya pikir kami perlu kembali ke fundamental, apakah perusahaan ini bisa menjawab sebuah value propotition yang riil? Apakah memberikan nilai tambah bagi masyarakat kita? Dan saya percaya banyak perusahaan startup melakukan itu. Makanya, dampak positifnya nyata.
Ada perdebatan valuasi perusahaan digital bubble dan tidak realistis, apa tanggapan Anda?
Valuasinya tinggi atau rendah apakah mengecewakan? Saya pikir ini semua sulit untuk dibilang mahal atau murah, baik atau tidak baik. Menurut saya, ini semua bagian dari inovasi.
Misalnya, di Amerika kan kita bisa lihat ada beberapa perusahaan mobil yang terkenal. Pada saat internal combustion engine itu ditemukan dan mulai tumbuh industri mobil pada era 50-60an. Percaya atau tidak, ada sekitar 500-600 perusahaan mobil yang ingin menjadi itu. Setelah 60 tahun, kita tahu yang benar-benar berhasil hanya 3 atau 4. Dari 500 hanya 5, mungkin 1% yang berhasil.
Saya pikir itulah inovasi. Melalui satu proses, akan banyak yang gagal, bermasalah. Tapi dari 1.000 startup, munculah sebuah Gojek, sebuah Microsoft, Sebuah Amazon, dan lain-lain. Nah, itulah proses. Kita lihat mereka 1968, pada saat itu over value, kemudian turun lagi. Tapi kapitalisasi pasar mereka sekarang, dibanding pada saat itu, sudah berlipat ganda. Kita perlu melihatnya jangka panjang dan solusi, selain value jelas punya kontribusi bagi masyarakat. Saya pikir pasti ujungnya baik.
Bagaimana awalnya Lippo berinvestasi di startup digital?
Tujuh tahun lalu pertama kali kami investasi beberapa perusahaan pada 2014. Kami lihat perusahaan teknologi di Indonesia, seperti Gojek, Tokopedia, dan lainnya, mungkin total nilai dari seluruh perusahaan mencapai Rp 1 triliun. Percaya atau tidak, saat itu Gojek sudah Rp 300 miliar.
Saat Gojek sedang fundraising (mencari pendanaan), kami masuk kira-kira Rp 1 triliun dan angka itu sekarang mungkin sudah US$ 60 miliar (sekitar Rp 800 triliun). Jadi Gojek tumbuh 1.000 kali lipat dalam 6-7 tahun. Dari US$ 60 juta, sekarang sudah US$ 60 milyar.
Bagaimana prospeknya?
Saya percaya ini baru titik awal, bahkan 3-5 tahun ke depan angka ini (Gojek) barangkali bisa US$ 200 miliar-300 miliar.
Kalau kita lihat di Tiongkok, aspek teknologinya maju sekali. Ekosistem teknologi dan digital mereka benar-benar berkembang pesat setelah Alibaba, generasi pertama teknologi mereka yang berhasil IPO (mencatatkan saham di bursa). Pada saat itu orang tidak percaya Alibaba bisa IPO di Tiongkok dan banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang mirip seperti di Indonesia saat ini.
Kenyataannya, bukan hanya bisa, tapi sangat baik. Bukan hanya Alibaba, mungkin ada puluhan atau ratusan perusahaan teknologi Tiongkok yang berhasil IPO. Ini penting dan menarik, karena saat Alibaba IPO, investor mereka exit (keluar) dan investasi kembali dalam ekosistemnya. Alibaba pun menggalang dana yang besar dan digunakan untuk investasi kembali dalam ekosistemnya. Setelah berhasil IPO, jumlah modal dan kapital yang diinvestasikan meledak.
Apakah hal yang sama juga bisa terjadi di Indonesia?
Saya percaya ini merupakan satu perubahan yang sangat menarik, didukung perubahan perilaku konsumen. Cara kita memesan makanan, belanja, pembayaran, semuanya berubah. Saya percaya saat kita merem kemudian bangun tidur, mungkin sepuluh tahun dari sekarang mungkin kita lihat pergerakan dan perubahan di sektor ini. Saya pikir ini penting bukan saja investasi dan mencapai return (pengembalian investasi).
Saya percaya transformasi digital ini kunci pertumbuhan ekonomi. Bagaimana kita mengangkat puluhan juta penduduk Indonesia masuk ke dalam golongan middle class economi, sehingga membuka kesempatan, kemampuan, dan kehidupan masyarakat lebih baik. Ini menjadi fokus bagi kami untuk belajar juga berpartisipasi.
Apakah pandemi Covid-19 merontokkan ekonomi?
Sulit dipungkiri bahwa pandemi covid ini memiliki dampak yang besar dan sistemik terhdap perekomomian indoenisia, Asean dan seluruh dunia. Kalau kita lihat, banyak krisis ekonomi menghancurkan sisi supply (pasokan) atau demand (permintaan). Tapi pandemi ini dua-duanya hancur.
Untuk bisa bangkit pun tidak mudah dibutuhkan stimulus dan dongkrakan besar. Kalau kita lihat pandemi Covid-19 ini bukan hanya menciptakan krisis finansial tetapi krisis ekonomi juga. Dampaknya nyata, orang di-PHK dan lain-lain. Memang situasinya berat, meski total stimulus yang dikeluarkan bank sentral dan dunia sudah luar biasa besar.
Tapi saya pikir, ada hikmahnya dari tantangan ini. Covid bisa jadi riset di mana masyarakat dan negara dipaksa memikirkan ulang cara kerja yang sebelumnya. Yang jelas di teknologi, sekarang masyarakat sudah biasa dengan zoom, e-commerce, grocery shopping online, sehingga dampaknya positif bagi efisiensi ekonomi.