Pemerintah Rusia terus melancarkan serangan militernya ke sejumlah wilayah di Ukraina. Invasi yang berlangsung sejak 24 Februari itu membuat banyak kota di Ukraina hancur dan ribuan korban sipil berjatuhan. Dunia bergejolak.

Gelombang sanksi, dari banyak negara, baik yang menyasar ekonomi, finansial, mau pun individu pejabat Rusia, terus berdatangan. Laporan Institute of International Finance menyebutkan Rusia bisa kehilangan hingga US$ 300 miliar jika seluruh sanksi atas perdagangan minyaknya diberlakukan. Ekspor minyak menyumbang sekitar 40 persen pendapatan Rusia.

Organisasi Uni Eropa bahkan sampai membekukan aset Presiden Rusia, Vladimir Putin, dan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov. Setidaknya 1.091 individu dan 80 entitas Rusia masuk dalam daftar sanksi Uni Eropa.

Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobieva, mengatakan para pejabat tinggi Rusia tidak ambil pusing dengan deretan sanksi itu. Sanksi memang bisa berdampak pada ekonomi Rusia, namun pemerintah sudah mengambil langkah untuk menekan efeknya. Peluang bagi bisnis-bisnis lokal untuk berkembang pun terbuka. “Ini bukan pertama kalinya kami mendapatkan sanksi,” kata Vorobieva.

Vorobieva mengatakan Rusia menyerang Ukraina karena mereka tidak memiliki pilihan lain. Menurut dia, Rusia terancam oleh aksi aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang kian mendekati perbatasannya. Rusia pun menganggap Ukraina sudah dimanfaatkan Amerika Serikat dan sekutunya di Eropa dan NATO untuk berkonfrontasi dengan Rusia. “Ukraina tidak independen lagi,” kata lulusan Institut Hubungan Internasional Negeri Moskow itu.

Perang di Ukraina, menurut Vorobieva, membawa korban jiwa. Rusia pun telah membuka koridor evakuasi dan menerima lebih dari satu juta pengungsi. “Orang Rusia dan warga Ukraina, kami menampung siapa saja,” ujarnya.

Dalam wawancara dengan Katadata di kediamannya di Jakarta pada Senin (18/4), Vorobieva menerangkan kebijakan pemerintah Rusia menyerang Ukraina lewat apa yang disebutnya sebagai operasi militer dan dampak sanksi terhadap negaranya. Duta besar yang bertugas di Indonesia sejak 2018 lalu itu juga menjawab soal ancaman boikot yang akan terjadi jika Rusia hadir di Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali pada November mendatang.

Rusia dan Ukraina memiliki relasi dan sejarah yang panjang. Banyak penduduk kedua negara yjuga memiliki ikatan keluarga. Mengapa Rusia justru memutuskan melakukan serangan militer yang berlangsung hingga sekarang di Ukraina?

Kami memang memiliki hubungan yang erat dengan Ukraina. Kami memandang Ukraina sebagai saudara. Pada dasarnya kami adalah bangsa yang sama, termasuk dalam tradisi, budaya, dan agama. Bahasa sedikit berbeda tapi berada dalam rumpun yang sama. Selama berabad-abad kami pernah menjadi bagian negara yang sama.

Sayangnya, apa yang terjadi saat ini tidak hanya menyangkut Ukraina. Dalam situasi sekarang, Ukraina adalah korban dan telah dijadikan instrumen oleh negara-negara Barat untuk menyerang Rusia.

Selama delapan tahun terakhir kami berusaha menyelesaikan masalah ini lewat diplomasi dan cara damai. Negara-negara Barat tidak mendengarkan kami. Mereka bahkan mendorong Ukraina berkonflik dengan Rusia. Kami tidak mengobarkan perang melawan warga Ukraina. Kami justru menyelamatkan rakyat sipil dan hanya menargetkan instalasi militer.

Apa tujuan yang ingin dicapai Rusia?

Target operasi kami adalah menghentikan perang yang sudah berlangsung selama delapan tahun sejak pemerintah di Kyiv memutuskan menyerang militer di Lugansk dan Donetsk. Selama delapan tahun rakyat menderita di sana, 14 ribu orang, termasuk perempuan dan anak-anak, tewas.

Kami pernah mencoba mengatasi situasi ini dengan menginisiasi Kesepakatan Minsk pada 2014. Yang menandatangani dan menjaminnya bukan hanya Rusia, juga Prancis, Jerman, dan negara-negara Barat lainnya. Kami berusaha mendorong Kyiv memenuhi komitmennya di Kesepakatan Minsk, tapi mereka tak melakukannya.

Kesepakatan Minsk menyediakan peta jalan dalam penyelesaian perang sipil dan menjaga integritas wilayah Ukraina. Salah satu syaratnya, pemerintah di Kyiv harus mengadopsi hukum khusus yang mengatur status otonomi Lugansk dan Donetsk untuk menyelesaikan masalah di Ukraina.

Sayangnya, itu tak pernah terjadi. Pemerintah di Kyiv justru menjalankan kebijakan anti-Rusia. Mereka sudah dihasut negara-negara Barat.

Apa yang terjadi selanjutnya?

Kami memiliki bukti bahwa Kyiv, dengan dukungan negara-negara Barat, berencana menyerang Lugansk, Donetsk, dan Krimea. Krimea sudah menjadi bagian Rusia sejak 2014.

Jika diperhatikan lebih jauh, ini adalah serangan terhadap Rusia karena menentang dominasi global Amerika Serikat dan sekutunya. Kami tak sepakat bahwa ada sekelompok kecil negara-negara yang memaksakan kehendak dan aturannya di dunia.

Kami tidak ingin berperang. Kami bahkan menentang perang. Kami berusaha menyelesaikan krisis dengan diplomasi dan cara damai.

Tetapi kami tidak punya pilihan. Ini adalah masalah keamanan Rusia serta hidup para penduduk di Lugansk dan Donetsk yang juga merupakan etnis Rusia.

Anda menyebut Rusia pernah bernegosiasi dengan Ukraina. Apakah akan ada pendekatan diplomatik lain?

Kami sudah melobi Kyiv, namun pemerintah di sana tidak independen. Mereka hanya mendengarkan dan menjalankan perintah dari Eropa dan Amerika.

Desember lalu kami mendekati negara-negara Barat dan meminta mereka memberikan jaminan keamanan. Kami bahkan membuat draf perjanjian terkait jaminan keamanan antara Rusia, Amerika, dan organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Mereka tidak merespon.

Tidak ada pembicaraan lagi dengan Ukraina?

Sejak operasi militer dimulai, kami mencoba berbicara dengan Ukraina. Kami masih berusaha hingga sekarang. Sayangnya, Ukraina sepertinya tidak ingin mencapai hasil nyata. Kami justru mendapatkan pernyataan dari Barat yang mendesak Ukraina untuk tidak melanjutkan pembahasan kesepakatan damai dengan pemerintah Rusia dan meneruskan krisis ini.

Ukraina sudah dipengaruhi oleh negara-negara Barat. Merekalah yang mengirim senjata dan melatih militer Ukraina. Banyak tentara asing berada di Ukraina, beberapa di antaranya sudah menyerah, termasuk mereka yang di Mariupol. Mereka bilang masih banyak anggota militer asing di Mariupol.

Jadi Ukraina memang tidak independen dalam menjalankan aksinya. Barat punya kepentingan dalam krisis ini.

Sejauh ini kami sudah beberapa kali bernegosiasi, terakhir di Istabul. Sempat ada progres, tetapi Ukraina malah mundur. Negara-negara Barat terus menyuplai senjata dan membuat ilusi bahwa Ukraina akan menang.

Sejumlah laporan menyebut Rusia sudah kehilangan lebih dari 7.000 tentara dalam perang ini. Bagaimana pemerintah Rusia merespon hal itu dan menjelaskan ke warga Rusia?

Ketika ada operasi militer, tentu saja ada korban jiwa. Tidak sampai 7.000 korban, hanya sekitar 1.500 orang. Tentu saja ini tragedi yang menyakitkan, tapi kami berusaha menyelamatkan lebih banyak orang. Tentara yang terlibat dalam operasi ini adalah para profesional, itu sudah tugas mereka.

Kami mencoba menghindari jatuhnya korban lebih banyak, baik di kalangan sipil maupun militer, termasuk militer Ukraina.

Konflik Rusia dengan Ukraina (ANTARA FOTO/REUTERS/Maksim Levin/hp/cfo)

 

Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen sudah mengunjungi Kyiv dan bertemu Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky. Beberapa petinggi negara Eropa melakukan hal yang sama. Anda melihat ini indikator bahwa Ukraina semakin dekat dengan Eropa dan NATO?

Sebenarnya mereka selalu dekat. Sejak 2014 mereka sudah memutuskan memihak Eropa. Presiden Zelensky bahkan menyatakan Ukraina ingin menjadi anggota NATO. Ini tidak bisa diterima oleh Rusia. Pasalnya, jika NATO membawa infrastrukturnya ke perbatasan Ukraina dan Rusia, yang panjangnya 2.000 kilometer, keamanan kami terancam.

Kami berkali-kali memberi tahu negara-negara Barat, Ukraina tidak boleh menjadi anggota NATO. Bagi kami, itu garis terlarang yang tidak bisa dilanggar.

Target operasi militer saat ini adalah demiliterisasi Ukraina. Dengan demikian, kami tidak lagi merasa terancam oleh negara tetangga. Kami bisa merasa aman.

Namun kubu Barat terus memasok senjata ke Ukraina selama delapan tahun terakhir. Jadi kita tidak lagi bicara apakah Ukraina mendekat ke Uni Eropa atau NATO. Mereka sudah tidak independen lagi. Kami melihat kebijakannya dipengaruhi oleh Brussels dan Washington. Artinya ini tidak sesuai lagi dengan kepentingan rakyat Ukraina.

Pemerintah Rusia sampai meningkatkan status nuklir dan ingin memperluas jangkauannya di Eropa. Apa sebabnya?

Ini hal logis karena kami menilai ekspansi NATO sebagai ancaman terhadap keamanan Rusia. Jika menilik sejarahnya, pada 1989 kami dijanjikan bahwa NATO tidak akan berekspansi atau mendekat ke perbatasan Rusia. Tetapi para pemimpin negara Barat tidak menepati janjinya. Mereka berbohong.

Presiden Mikhael Gorbachev pernah meminta perjanjian tertulis tetapi pihak Barat tidak setuju. Mereka bilang percaya saja bahwa NATO tidak akan melakukan ekspansi. NATO ternyata terus memperluas pengaruhnya, makin banyak negara yang bergabung. Infrastruktur NATO terus mendekat ke perbatasan negara kami.

Kami menilai NATO sebagai aliansi yang agresif. Mereka dulu mengebom Yugoslavia selama 78 hari. Mereka menghancurkan Libya. Lihat apa yang mereka lakukan di Irak, bahkan ketika tudingan negara itu memiliki senjata pemusnah massal tidak terbukti. Mereka membunuh lebih dari satu juta warga Irak. Mereka bahkan bercokol 20 tahun di Afganistan.

Bukan kami yang membawa misil ke perbatasan Amerika atau Kanada. NATO yang membawa misil-misil mereka mendekati perbatasan Rusia. Semakin dekat NATO ke Rusia, kami kian merasa terancam.

Bagaimana dengan senjata nuklir Rusia?

Senjata nuklir yang kami miliki adalah instrumen untuk mencegah NATO menyerang langsung Rusia. Negara-negara NATO sejauh ini tidak berani berkonfrontasi langsung dengan Rusia. Jadilah mereka memanfaatkan Ukraina.

Banyak orang melarikan diri dari Ukraina akibat perang ini. Bagaimana situasinya sekarang, termasuk warga Rusia di sana?

Mereka bisa kembali ke Rusia jika menginginkannya. Kami sudah menerima sekitar satu juta pengungsi, tidak hanya orang Rusia di Ukraina, juga warga Ukraina.

Kami siap menerima lebih banyak lagi. Kami sudah menyediakan bantuan kemanusiaan untuk warga Ukraina. Kami memberikan bantuan, makanan, dan air ke siapa pun, tak peduli dia orang Rusia atau Ukraina.

Kami membuka jalur evakuasi dari kota-kota yang terkepung supaya masyarakat bisa keluar. Namun tentara Ukraina tidak membiarkan mereka keluar. Tentara Ukraina justru menggunakan warga sipil sebagai tameng hidup.

Banyak negara menjatuhkan sanksi, ekonomi sampai individual, terhadap Rusia. Banyak perusahaan asing meninggalkan Rusia. Bagaimana dampaknya terhadap Rusia selanjutnya?

Para pejabat Rusia tak peduli dengan daftar sanksi itu. Sanksi ekonomi jelas akan mempengaruhi ekonomi Rusia. Pemerintah kami telah mengambil langkah-langkah untuk menekan dampak tersebut. Kondisi ini juga membuka peluang bagi bisnis lokal untuk berkembang.

Ini bukan kali pertama Rusia dijatuhi sanksi. Pada 2014, muncul fase pertama sanksi setelah Krimea bergabung dengan Rusia. Sebelum itu kami memang sangat tergantung pada impor pangan dari luar negeri.

Setelahnya kami banyak berinvestasi di sektor pertanian. Kini kami bisa memenuhi kebutuhan pangan, bahkan menjadi eksportir gandum, daging, dan serealia dalam jumlah besar. Ekonomi kami cukup kuat untuk bertahan. Butuh waktu untuk beradaptasi, tapi kami akan bertahan di masa mendatang.

Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa negara-negara Barat sampai harus menghancurkan seluruh sistem perdagangan, rantai pasok dan logistik yang dibangun selama beberapa dekade terakhir? Mereka menggunakan sanksi untuk itu. Bukan Rusia yang menghancurkan sistem perdagangan global.

UKRAINE-CRISIS/UN-RUSSIA-PUTIN (ANTARA FOTO/REUTERS/Sputnik/Vladimir Astapkovich/Kremlin /foc/cf)

 

Bukankah Rusia punya keuntungan lain, misalnya negara-negara Eropa sangat bergantung pada pasokan minyak dan gas bumi negara Anda?

Tentu saja. Itulah sebabnya Amerika mendorong Eropa untuk menambah sanksi bagi Rusia. Kami tidak memiliki hubungan dagang yang besar dengan Amerika. Mereka tidak menggunakan minyak dan gas kami.

Sementara itu, banyak negara Eropa, tergantung pada Rusia. Sekitar 30-100 persen kebutuhan energinya diimpor dari Rusia. Mengapa pemerintah Eropa membuat rakyatnya sendiri menderita dengan menjatuhkan sanksi untuk Rusia? Itu bukan respon yang proporsional.

Saya tak ingin bilang opsi militer adalah yang terbaik. Justru opsi militer ke Ukraina sebenarnya adalah pilihan terburuk. Kami mengambil langkah drastis ini karena tidak ada pilihan lain. Ketika melihat respon negara-negara Barat terhadap perang di Irak, mana sanksinya? Apa sanksi untuk Israel yang menyerang warga Palestina?

Negara-negara Barat itu menerapkan standar ganda. Mereka hanya peduli untuk mempertahankan dominasi global. Rusia, juga Cina, juga tidak setuju dengan hal itu.

Dunia sekarang sudah berubah dari unipolar system menjadi multipolar system. Pusat kekuatan baru bermunculan seperti Cina, Rusia, India, bahkan Indonesia. Pihak Barat tidak suka, jadi mereka menggunakan kekuatan ekonomi sebagai senjata.

Terkait ekonomi, Pemerintah Rusia meminta negara-negara yang ingin berdagang dengan Rusia membayar memakai rubel. Armenia bahkan sudah menyepakati membeli minyak Rusia menggunakan rubel. Apa ini akan memperkuat posisi Rusia?

Tentu saja. Amerika menggunakan mata uang dolar dan sistem finansialnya untuk menekan negara lain. Jika tidak bergantung pada sistem finansial tersebut, kami bisa lebih independen. Kami bisa menginvestasikan rubel ke ekonomi sendiri. Kami berhak meminta untuk dibayar dengan mata uang apa pun yang kami sukai.

Tetapi negara-negara Barat malah menuduh Rusia melanggar kontrak. Padahal mereka sendiri mencuri dana bank sentral kami. Karena tidak menyukai rencana kami, mereka berusaha memblokir kami secara finansial.

Pengalaman dengan sanksi-sanksi itu mengajarkan kami untuk tidak lagi mempercayai Barat. Selain uang kami, mereka juga merampas properti orang Rusia yang tinggal di luar negeri. Mereka seperti para bandit.

Rusia adalah mitra strategis bagi Indonesia dengan nilai perdagangan sekitar US$ 2,75 miliar pada 2021. Bagaimana Rusia menilai posisi Indonesia dalam situasi saat ini?

Tahun lalu nilai perdagangan kita sudah naik sekitar 40 persen. Kami menghargai posisi seimbang yang diambil pemerintah Indonesia dalam konflik ini. Kami berharap bisa mendapatkan peluang lebih banyak dalam kerja sama ekonomi.

Bisnis kami kini lebih condong ke negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Saya cukup optimistis banyak bidang yang bisa kita kerjakan bersama. Bagi kami, Indonesia adalah salah satu mitra dan teman utama, tak hanya di Asia Tenggara, juga di Asia-Pasifik.

Terkait relasi dagang dengan Indonesia, apakah Rusia akan menerapkan kewajiban pembayaran dengan rubel juga?

Kami tengah mempertimbangkan mengganti pembayaran dengan mata uang nasional masing-masing negara. Tidak hanya dengan Indonesia saja. Dengan Cina, misalnya, sebagian besar perdagangan kami dibayar menggunakan mata uang renminbi dan rubel. Hal serupa dilakukan dengan India dan beberapa negara lain.

Beberapa pekan lalu, perusahaan minyak Indonesia, Pertamina, membeli minyak dari Rusia. Bagaimana perkembangan kerja sama energi antar kedua negara?

Itu adalah isu komersial. Saya tahu Pertamina sudah berkontak dengan beberapa perusahaan Rusia. Terkait berapa banyak volume minyak yang dibeli, saya tak tahu detil dalam kontraknya. Tapi saya bisa pastikan, jika Indonesia ingin membeli minyak dari Rusia, kami siap menyuplainya.

Terkait penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi G20, Indonesia sudah mengirim undangan ke seluruh anggota forum. Bagaimana persiapan Rusia?

Kami sudah menerima undangan dari Presiden Joko Widodo untuk Presiden Putin. Dia telah memastikan intensinya untuk menjadi bagian pertemuan G20 di Bali.

Ada banyak kegiatan, pertemuan, dan loka karya dalam rangkaian G20 ini. Tim Rusia menghadiri acara-acaranya, sebagian besar secara daring.

Kami sangat mendukung prioritas Presidensi G20. Kami juga mendukung dan menghargai posisi Indonesia di G20 bahwa forum ini seharusnya berkonsentrasi pada isu ekonomi dan finansial global dan tidak menyeret agenda politik.

Kami juga menghargai Indonesia yang tidak menyerah terhadap tekanan sejumlah negara untuk mengeluarkan Rusia dari G20. Bagaimana akan membahas isu seperti ketahanan energi tanpa melibatkan Rusia? Itu mustahil dan tidak relevan.

Ada agenda khusus yang akan Rusia bawa ke forum?

Tidak ada. Kami mendukung agenda yang sudah disepakati, seperti pemulihan ekonomi global setelah pandemi Covid-19, penguatan sistem layanan kesehatan, transisi energi dan informasi digital. Ini agenda komprehensif dan mencakup isu-isu penting untuk komunitas internasional.

Sejumlah negara, termasuk Amerika, memboikot acara-acara G20 dan meminta Indonesia untuk mengeluarkan Rusia. Apa ini akan menjadi masalah untuk Rusia?

Jika Amerika memilih tidak hadir, itu urusan mereka. G20 masih tetap relevan jika negara lain seperti Cina, India, Rusia, sejumlah negara Asia, termasuk Indonesia, berpartisipasi.

Tidak masuk akal juga untuk mengganti arah fokus dari isu penting dan relevan untuk seluruh dunia ke krisis politik dan target politis yang ingin dicapai negara-negara Barat. Untungnya, mayoritas anggota G20 tidak mendukung posisi itu.