Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memasang enam sensor gempa di sekitar Gunung Api Anak Krakatau. Hingga kini, gunung api yang terbentuk sejak 1883 ini masih mengalami erupsi dengan status level II atau waspada.

Dikutip dari Merdeka.com, sejumlah warga juga mengaku masih mendengar suara dentuman yang ditengarai berasal dari gunung tersebut. Anak Krakatau sendiri telah mengalami peningkatan aktivitas vulkanik sejak 18 Juni 2018.

(Baca: Fokus Pencarian Korban, BNPB: 429 Meninggal Akibat Tsunami Selat Sunda)

Tidak hanya itu, pemerintah dan otoritas terkait juga masih mewaspadai potensi tsunami. Pasalnya erupsi yang terjadi berpotensi membuat tebing gunung longsor. Hal ini yang ditengarai menjadi penyebab timbulnya tsunami. Oleh karenanya apabila ada getaran berkekuatan lebih dari magnitudo 3,4 maka BMKG akan memberikan peringatan dini.

Berdasarkan dari kondisi yang ada, masyarakat diimbau untuk tidak mendekati kawah Anak Krakatau hingga radius 2 kilometer (km). Selain itu, menghindari kawasan pesisir pantai Selat Sunda dalam radius 0,5-1 km.

(Baca: Setelah Tsunami Selat Sunda, BMKG Minta Masyarakat Jauhi Pantai)

Gunung Anak Krakatau lahir pasca meletusnya Gunung Krakatau pada 1883. Letusan tersebut menghasilkan kaldera bawah laut dan pada 1927 mulai membentuk tubuh Anak Krakatau. Sejak Juni 2018, gunung setinggi 338 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini telah mengalami peningkatan aktivitas vulkanik. Kemudian meletus berturut-turut pada 29 Juni dan 22 Desember 2018.

Aktivitas pada 22 Desember 2018 ternyata diikuti dengan fenomena gelombang tsunami yang menghantam kawasan pesisir Selat Sunda di Banten dan Lampung. Hingga Rabu (26/12), sebanyak 429 orang meninggal dunia, 1.485 luka-luka, sementara 154 orang masih belum ditemukan.

Reporter: Khuswatun Hasanah