Puncak bonus demografi di Indonesia pada 2030 terancam terbuang sia-sia. Pasalnya, hingga 2017 kasus stunting (kerdil) kembali meningkat. Dalam lima tahun terakhir, usaha penurunan kasus stunting di Indonesia cukup lambat yaitu bertahan di angka 27% hingga 29%. Menurut World Health Organization (WHO), masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap buruk jika prevalensi stunting lebih dari 20 persen. Artinya, secara nasional masalah stunting di Indonesia tergolong kronis.
(Lihat : 1 dari 3 Balita Indonesia Derita Stunting)
Menurut data Kementerian Kesehatan, masalah gizi balita yang paling tinggi saat ini adalah stunting. Jumlah penderitanya lebih tinggi dibandingkan kekurangan gizi, kekurusan dan kegemukan. Stunting dapat menyebabkan anak mengalami kemampuan kognitif tidak maksimal yang disertai perkembangan fisik terhambat.
Kondisi rendahnya kapasitas intelektual anak dapat menurunkan daya saing dan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia di masa depan. Selain menjadi ancaman bonus demografi, stunting juga memberikan dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Kasus stunting ini berpotensi merugikan PDB Indonesia hingga Rp 300 triliun per tahunnya.
(Baca : Anak Pendek, Tantangan Besar Jokowi di Tahun Terakhir Pemerintahan)
Pekerjaan rumah pemerintah untuk menurunkan tingkat stunting di Indonesia masih banyak. Antara lain adalah pemerataan ekonomi agar mengurangi tingkat kemiskinan di masyarakat. Selain itu meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan lebih merata di Indonesia. Tidak lupa, pendidikan dan pemberdayaan pada wanita juga menjadi kunci penting. Lantaran, banyak kasus stunting terjadi disebabkan minimnya pemahaman dari orangtua khususnya ibu.