Indonesia menargetkan diri menjadi negara maju pada 2045. Untuk mewujudkannya diperlukan upaya meningkatkan daya saing agar dapat berkompetisi dengan negara lain melalui peningkatan performa riset dan pengembangan. Negara-negara yang menduduki peringkat satu sampai lima dalam Indeks Daya Saing Global atau Global Competitiveness Index (GCI) 2019 sangat memerhatikan riset.
Namun, posisi Indonesia sendiri masih rendah dalam indeks tersebut. Dalam GCI 2019, Indonesia menduduki peringkat 50 dengan skor riset dan pengembangan sebesar 23,2. Dari sisi pengeluaran riset terhadap produk domestik bruto (PDB), Indonesia juga tertinggal, yakni baru sebesar 0,1 persen. Oleh karena itu, untuk meningkatkan daya saing perlu memerhatikan dan mengoptimalkan performa riset.
Berdasarkan publikasi yang dikeluarkan Australia National University (ANU) dan Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) bertajuk “Making Indonesia’s Research and Development Better: Stakeholder Ideas and International Best Practices”, pengembangan riset di Tanah Air dihadapkan dengan berbagai tantangan mulai dari pengeluaran penelitian dan pengembangan yang relatif kecil hingga regulasi riset yang belum saling berhubungan (koheren).
Guna mengatasi hal itu, ANU dan CIPG dalam publikasinya menelurkan sejumlah rekomendasi jangka pendek, menengah, dan panjang, agar kebijakan riset dan pengembangan di Indonesia menjadi lebih baik. Pertama, menggunakan definisi riset dan pengembangan yang mengacu pada standar internasional sebagai basis alokasi anggaran dan syarat pendanaan.
Kedua, menetapkan misi riset nasional dengan merumuskan ulang Prioritas Riset Nasional (PRN) yang memasukkan ilmu sosial humaniora sebagai salah satu misinya. Ketiga, membangun tata kelola riset yang komprehensif dengan memperkuat kapasitas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) beserta panel penasihat riset untuk masing-masing disiplin ilmu.
Keempat, mendorong pendanaan yang kompetitif untuk efisiensi dan keunggulan (excellence) yang didasarkan oleh merit-based. Kelima, pengalokasian anggaran Pemerintah untuk infrastruktur riset berskala besar dengan skema pengadaan yang kompetitif. Keenam, memperkuat kontribusi non-pemerintah dengan cara meluncurkan skema hibah riset dalam bentuk match-funding untuk mengundang kontribusi industri dan menjadikan BRIN sebagai dewan riset yang menjalankan fungsi ini.
Ketujuh, profesionalisasi pengelolaan dana riset. Beban kepatuhan periset perlu dikurangi melalui penguatan manajemen riset di tingkat lembaga dan menerapkan dividen bagi lembaga yang berhasil menarik dana riset kompetitif.
Kedelapan, percepatan pertumbuhan jumlah dan kualitas peneliti dengan meningkatkan jumlah periset yang berkualifikasi PhD. Kesembilan, mengembangkan jaringan riset dengan mewajibkan sosialisasi hasil riset dan memasukkan keanggotaan dalam asosiasi atau jaringan riset internasional dalam seleksi pendanaan riset.