Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menarik roti kemasan merk Okko dari peredaran. Penarikan tersebut setelah terbukti mengandung bahan pengawet yang biasa ada di produk kosmetik, yaitu natrium dehidroasetat atau juga dikenal sebagai Sodium dehydroacetate (SDHA).
“Terhadap temuan ini, BPOM telah melakukan penghentian kegiatan produksi dan peredaran,” sebut BPOM dalam keterangannya pada 23 Juli lalu.
Langkah serupa dilakukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama yang menarik sertifikasi halal produsen roti Okko. BPJPH menemukan sejumlah pelanggaran regulasi terkait jaminan produk halal.
“BPJPH memberikan sanksi administratif berupa pencabutan sertifikat halal sejak 1 Agustus 2024," kata Aqil dalam siaran pers, Jumat 2 Agustus.
Pada awal bulan Juli, dua merek roti kemasan murah Aoka dan Okko menjadi perbincangan karena diduga mengandung pengawet kosmetik dalam dosis tinggi. Hal ini setelah Paguyuban Roti dan Mie Ayam Borneo (Parimbo) curiga dengan kedaluwarsa kedua roti yang bisa mencapai lebih dari tiga bulan.
Parimbo kemudian mengirimkan hasil sampel kedua roti ke laboratorium PT SGS Indonesia. Hasilnya, kedua roti positif ditemukan SDHA.
Awalnya, BPOM menepis temuan PT SGS Indonesia, begitu pula dengan produsen roti Aoka, PT Indonesia Bakery Family. Produsen roti Okko, PT Abadi Rasa Food, juga menyebut bahwa kedaluwarsa yang lama pada produk mereka adalah karena proses produksi yang higienis dan bahan yang sesuai dengan aturan BPOM.
Selang lima hari, pada Rabu 24 Juli, BPOM membenarkan bahwa ditemukan kandungan SDHA dalam roti Okko dan memerintahkan untuk menarik roti Okko dari peredaran. Hal ini setelah BPOM melakukan uji laboratorium terhadap kedua roti Aoka dan Okko. Sedangkan untuk hasil uji roti Aoka, tidak ditemukan kandungan SDHA.
Untuk diketahui, SDHA tidak termasuk dalam daftar panjang pengawet makanan yang diizinkan BPOM lewat Peraturan BPOM 11/2019. Pengawet yang dibolehkan BPOM ada pada roti dan kue hanya Sorbic acid, Sulphites, dan Propionic acid. SDHA hanya mendapat izin BPOM sebagai bahan pengawet kosmetik dengan dosis maksimum 0,6%.
Di beberapa negara, SDHA diizinkan untuk digunakan sebagai pengawet makanan, tetapi dengan dosis terbatas. Di AS misalnya, SDHA digunakan untuk pengawet labu kupas dengan dosis maksimum 65 mg/kg. Di Jepang, SDHA digunakan sebagai pengawet keju, mentega, dan margarin dengan dosis maksimum 500 mg/kg.
Di Tiongkok, SDHA juga digunakan sebagai bahan pengawet berbagai makanan termasuk untuk mentega (maksimum 300 mg/kg) serta roti dan kue kering (maksimum 500 mg/kg). Meskipun seiring berjalannya waktu, National Food Safety Standards Review Committee menyebut SDHA tidak boleh dijadikan pengawet roti dan hanya boleh digunakan sebagai pengawet acar dan produk kedelai dengan dosis maksimum yang disesuaikan.
Menurut berbagai jurnal, SDHA dalam dosis tinggi pada makanan dapat memicu gangguan hati dan ginjal, mengganggu keseimbangan mikrobiota usus, menyebabkan gangguan pencernaan seperti diare atau konstipasi, melemahkan sistem imun, hingga memicu pertumbuhan sel kanker.
Sebelumnya pada 2022, BPOM juga kebobolan memberikan izin edar obat sirup yang menyebabkan gagal ginjal akut pada anak-anak. Sebanyak 73 merk obat sirup yang tersebar di apotek positif mengandung Etilen glikol (EG), Dietilen Glikol (DEG), dan Etilen Glikol Butil Eter (EGBE) di atas ambang batas. Akibatnya, per 5 November 2022, 324 anak dirawat karena gagal ginjal akut, di mana 194-nya meninggal dunia.