Berpuasa di bulan Ramadhan wajib bagi setiap muslim. Namun Allah SWT memberikan kemudahan hamba-Nya dalam keadaan tertentu seperti ibu hamil. Berkaitan dengan hal tersebut, menarik membahas ketentuan puasa bagi ibu hamil.
Puasa bagi ibu hamil memiliki dua ketentuan. Ketentuan pertama, tidak semua perempuan hamil wajib berpuasa, dan tidak selamanya pula perempuan hamil boleh meninggalkan kewajiban puasanya.
Berkenaan dengan kedua kondisi tersebut, terdapat penjelasan lain yang mengikutinya. Berikut ini ulasan mengenai puasa bagi ibu hamil.
Ketentuan Puasa Bagi Ibu Hamil
Ketentuan puasa bagi ibu hamil sangat tergantung dengan kondisi sang ibu. Hal ini perlu diperhatikan agar tidak berbahaya bagi ibu yang sedang hamil maupun sang bayi yang sedang dikandungnya. Untuk memahami lebih lanjut, simak beberapa ketentuan puasa bagi ibu hamil sebagai berikut:
1. Hukum Wajib, Makruh, Haram Berpuasa Bagi Ibu Hamil
Perempuan yang sedang hamil pada umumnya memiliki tiga keadaan dengan konsekuensi hukum yang berbeda. Konsekuensi hukum tersebut maksudnya wajib maupun tidaknya menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Hal tersebut tercantum dalam kitab Nihayah Az-Zain Syarh Qurratul ‘Ain yakni sebagai berikut:
فللمريض ثلاثة أحوال: إن توهم ضرراً يبيح التيمم كره له الصوم وجاز له الفطر. وإن تحقق الضرر المذكور أو غلب على ظنه أو انتهى به العذر إلى الهلاك أو ذهاب منفعة عضو حرم الصوم ووجب الفطر، وإن كان المرض خفيفاً بحيث لا يتوهم فيه ضرراً يبيح التيمم حرم الفطر ووجب الصوم ما لم يخف الزيادة، وكالمريض الحصادون والملاحون والفعلة ونحوهم، ومثله الحامل والمرضع ولو كان الحمل من زنا أو شبهة
Artinya: Bagi orang sakit terdapat tiga keadaan. Pertama, ketika ia menduga akan terjadi bahaya pada dirinya yang sampai memperbolehkan tayamum, maka makruh baginya berpuasa dan boleh baginya untuk tidak berpuasa. Kedua, ketika ia yakin atau memiliki dugaan kuat (dhann) akan terjadi bahaya atau uzur yang mengenainya akan berakibat pada hilangnya nyawa atau hilangnya fungsi tubuh, maka haram baginya berpuasa dan wajib untuk tidak berpuasa.
Ketiga, ketika rasa sakit hanya ringan, sekiranya ia tak menduga akan terjadi bahaya yang sampai memperbolehkan tayamum, maka haram baginya tidak berpuasa dan wajib untuk tetap berpuasa selama tidak khawatir sakitnya bertambah parah.
Sama halnya dengan orang yang sakit adalah petani, nelayan, buruh, perempuan hamil dan menyusui, meskipun kehamilan hasil dari zina atau wathi syubhat. (Syekh Muhammad bin ‘Umar bin ‘Ali bin Nawawi al-Bantani, Nihayah az-Zain Syarh Qurratul ‘Ain, juz 1, halaman: 367).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui ada hukum makruh berpuasa dan boleh tidak berpuasa jika seseorang menduga akan terjadi bahaya. Kedua, jika seseorang tersebut menduga kuat akan adanya berbahaya sehingga menyebabkan ia kehilangan nyawa atau fungsi tubuh maka ia haram berpuasa bahkan wajib tidak berpuasa.
Ketentuan ketiga yakni jika seseorang tersebut merasa sakit ringan dan tidak menduga adanya bahaya, maka haram untuk tidak berpuasa. Seseorang tersebut wajib berpuasa.
Ketentuan ini berlaku bagi orang yang sakit itu adalah petani, buruh, nelayan, perempuan hamil dan menyusui meskipun kehamilannya hasil zina. Oleh sebab itu, puasa bagi ibu hamil memiliki ketentuan yang berbeda-beda tergantung kondisinya.
2. Jika Tidak Puasa, Wajib Mengganti dengan 2 Ketentuan
Kewajiban puasa bagi ibu hamil memang mutlak eksistensinya. Namun, jika keadaan tertentu membuatnya sebaiknya tidak berpuasa, maka sang ibu memiliki kewajiban mengganti puasanya.
Terdapat dua rincian terkait kewajiban mengganti puasa. Pertama, ketika ia tidak berpuasa karena khawatir terkait kondisi fisik dan kandungannya, maka ia hanya wajib mengqadha’I puasanya saja. Namun ketika hanya khawatir pada kondisi kandungannya, maka ia wajib mengqadha’I puasa sekaligus membayar fidyah
Berkaitan dengan hal itu, Hasyiyah Al-Qulyubi menjelaskan sebagai berikut:
(وَأَمَّا الْحَامِلُ وَالْمُرْضِعُ فَإِنْ أَفْطَرَتَا خَوْفًا) مِنْ الصَّوْمِ. (عَلَى نَفْسِهِمَا) وَحْدَهُمَا أَوْ مَعَ وَلَدَيْهِمَا كَمَا قَالَهُ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ (وَجَبَ) عَلَيْهِمَا (الْقَضَاءُ بِلَا فِدْيَةٍ) كَالْمَرِيضِ. ((أَوْ) (عَلَى الْوَلَدِ) أَيْ وَلَدِ كُلٍّ مِنْهُمَا (لَزِمَتْهُمَا) مَعَ الْقَضَاءِ (الْفِدْيَةُ فِي الْأَظْهَرِ)
Artinya: Perempuan hamil dan menyusui ketika tidak berpuasa karena khawatir pada diri mereka, atau khawatir pada diri mereka dan bayi mereka (seperti yang diungkapkan dalam kitab Syarh al-Muhadzab), maka wajib mengqadha’i puasanya saja, tanpa perlu membayar fidyah, seperti halnya bagi orang yang sakit.
Sedangkan ketika khawatir pada kandungan atau bayi mereka, maka wajib mengqadha’i puasa sekaligus membayar fidyah menurut qaul al-adzhar. (Syihabuddin al-Qulyubi, Hasyiyah al-Qulyubi ala al-Mahalli, juz 2, halaman: 76).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui hukum puasa bagi ibu hamil adalah wajib. Namun, perlu dipahami terdapat keadaan yang perlu diperhatikan agar puasa tidak membahayakan sang ibu dan anak. Kemudian, terkait kewajiban mengganti puasa, maka hal tersebut juga bergantung pada kekhawatiran sang ibu.