Biografi Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia

Gramedia.com
Biografi Ki Hajar Dewantara.
Penulis: Ghina Aulia
Editor: Safrezi
23/4/2024, 20.22 WIB

Ki Hajar Dewantara merupakan tokoh yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Indonesia. Gelar tersebut dianugerahi sebagai penghargaan terhadap jasa Beliau untuk perkembangan dunia pendidikan di Tanah Air.

Diketahui bahwa gelar tersebut diberikan langsung oleh Presiden Soekarno kepada Ki Hajar Dewantara pada tahun 1959. Hingga sekarang, Hari Pendidikan Nasional diperingati pada tanggal lahir Ki Hajar Dewantara, yakni 2 Mei.

Ada pun pengukuhan Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan Nasional sekaligus pahlawan nasional diatur Presiden Soekarno pada Surat Keputusan Presiden RI No. 305 Tahun 1959. Ia juga terkenal dengan semboyan “Tut Wuri Handayani.”

Melalui tulisan ini, kami ingin membahas lebih lanjut tentang biografi Ki Hajar Dewantara yang patut diketahui. Pegiat pendidikan sekaligus wartawan ini banyak menghabiskan masa mudanya secara produktif. Simak tulisan berikut ini.

Biografi Ki Hajar Dewantara

Nama lengkap: Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (Suwardi Suryaningrat)

Tempat dan tanggal lahir: Pakualaman, 2 Mei 1889

Wafat: Yogyakarta, 26 April 1959

Agama: Islam

Pendidikan:

- Europeesche Lagere School (ELS)
- Kweekschool (Sekolah Guru)
- Pendidikan Kedokteran STOVIA (tidak lulus)

Orang tua: Pangeran Soerjaningrat dan Raden Ayu Sandiah

Ki Hajar Dewantara (KHD) merupakan pria bersuku Jawa yang lahir dan hidup di Kota Yogyakarta. Ia merupakan anak dari Pangeran Soerjaningrat. Hal ini menyambung dengan sosok KHD yang juga dikenal sebagai Pangeran Paku Alam.

Dapat disimpulkan bahwa KHD lahir dari keluarga bangsawan yang berkedudukan di sekitar Paku Alam, Yogyakarta. Ada pun nama dan gelar lengkap Ayahnya kala itu adalah Kanjeng Pangeran Adipati Ario Suryaningrat. Sementara Kakeknya adalah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam III yang memiliki garis keturunan Sultan Hamengkubuwono HH.

Salah satu keuntungan yang didapatkan sebagai anak petinggi pada masa itu adalah berkesempatan menempuh pendidikan. KHD bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), yakni sekolah pendidikan dasar milik Belanda.

Berhasil lulus pada tahun 1904, KHD melanjutkan pendidikan di Kweekschool, yakni sekolah keguruan. Beberapa saat setelahnya, ia ditawari beasiswa untuk melanjutkan di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo.

KHD resmi bersekolah di STOVIA pada tahun 1905. Sayangnya, ia tidak berhasil lulus karena keadaan kesehatan yang kurang baik. Selain belajar – selama di STOVIA, KHD juga menghabiskan waktu untuk bergaul yang akhirnya membuka pandangannya terhadap keadaan masyarakat Indonesia secara lebih luas.

KHD belajar memahami tentang dampak kolonialisme terhadap keadaan masyarakat kala itu. Salah satunya tentang larangan penggunaan pakaian Eropa yang sifatnya menyinggung apabila dipakai.

Diketahui bahwa STOVIA merupakan sekolah kedokteran yang terdapat di Hindia Belanda pada masa itu. Meski tak berhasil lulus dan menjadi tenaga kesehatan, KHD memutuskan untuk barkarier di bidang jurnalistik dengan terjun sebagai penulis sekaligus wartawan.

Melansir sejumlah buku yang membahas tentang biografi KHD, ia tercatat pernah bekerja di beberapa nama surat kabar pada zaman itu. Di antaranya yaitu De Express, Kaoem Moeda, Sediotomo, Poesara, Midden Java, Tjahaja Timoer, dan Oetoesan Hindia.

Sembari bekerja sebagai penulis di media massa, KHD juga terlibat dalam pergerakan politik Boedi Oetomo. Diketahui bahwa organisasi tersebut berfokus pada diskusi politik, sosial, ekonomi, dan budaya.

KHD berperan banyak hingga Boedi Oetomo melaksanakan kongres pertama di Yogyakarta. Merangkum berbagai sumber, di organisasi ini, KHD bertugas di bagian propaganda untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap persatuan.

KHD bersama Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker membangun partai nasionalisme pertama di Hindia Belanda, yakni Indische Partij. Di tahun 1913, KHD melontarkan kritik kerasnya melalui tulisan berjudul “Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Orang Belanda).”

Disebabkan oleh kritikan tersebut, KHD diasingkan oleh pemerintah Belanda ke Pulau Bangka. KHD dibela mati-matian oleh Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker yang membuat mereka bertiga sama-sama diasingkan.

Di samping keuntungan yang didapatnya sebagai Pangeran Paku Alam, KHD memutuskan untuk melepas gelar bangsawan ketika usia 40 tahun. Berdasarkan beberapa sumber, ia melakukannya agar bisa lebih dengan masyarakat.

Tut Wuri Handayani

Sebagaimana yang disebutkan di awal, KHD merupakan pencetus semboyan Tut Wuri Handayani. Diketahui bahwa kalimat dalam bahasa Jawa tersebut diidentikan dengan pendidikan di Indonesia.

Secara bahasa, Tut Wuri Handayani memiliki arti “di belakang memberi dorongan.” Diketahui bahwa pencetusan ini juga berbarengan dengan dua kalimat lain. Berikut lengkapnya:

Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan memberi teladan)
Ing Madya Mangun Karsa (di tengah memberi ilham (inspirasi)
Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan).

Jika dirunut dari sejarahnya, semboyan tersebut sengaja dibuat untuk pembanding pendidikan kolonial yang saat itu mendominasi. KHD mencetuskannya hingga sekarang digunakan sebagai slogan Sekolah Dasar (SD) di Indonesia.

Itulah biografi Ki Hajar Dewantara yang patut diketahui sebagai teladan pendidikan Indonesia. Keuntungan sebagai anak petinggi dimanfaatkannya dengan baik untuk mendapatkan pendidikan yang memadai. Gagasannya masih hidup hingga sekarang untuk memajukan peradaban di Tanah Air melalui pendidikan.