Kongsi Dagang Hindia Timur atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) secara resmi menghentikan operasinya pada tanggal 31 Desember 1799. Meskipun sejak pendiriannya pada tanggal 20 Maret 1602, VOC telah diberikan hak-hak istimewa yang setara dengan kekuasaan suatu negara dan berhasil memberikan keuntungan yang signifikan bagi Belanda.
Namun, akhirnya VOC mengalami pembubaran yang dipicu oleh berbagai faktor, termasuk korupsi. Hal ini pun menunjukkan adanya kaitan antara korupsi dan bubarnya VOC.
Berkenaan dengan hal tersebut, menarik mengetahui faktor penyebab bubarnya VOC lebih lanjut. Simak penjelasan mengenai kaitan antara korupsi dan bubarnya VOC pada uraian berikut.
Kaitan antara Korupsi dan Bubarnya VOC
VOC didirikan pada 20 Maret 1602. Perusahaan ini diberikan hak-hak istimewa yang setara dengan sebuah negara, menghasilkan banyak keuntungan bagi Belanda. Namun, VOC menghentikan operasinya pada 31 Desember 1799.
Pembubaran VOC disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya adalah korupsi, yang bahkan diidentifikasi sebagai penyebab utama dari kejatuhan perusahaan dagang ini.
Para pegawai VOC memanfaatkan posisinya untuk tujuan pribadi, mengakibatkan penurunan pendapatan dan kerugian organisasi yang pada akhirnya menyebabkan kebangkrutan. Praktik korupsi dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri.
Dampaknya adalah menurunnya pendapatan dan munculnya kerugian yang signifikan. Korupsi tersebut, salah satunya adalah terkait penerimaan upeti atau hadiah saat terjadi peralihan jabatan. Sistem ini justru menjadi pendorong terjadinya tindakan korupsi.
Dalam praktik korupsi ini, biaya yang terlibat mencakup berbagai aspek, termasuk dana untuk keperluan perang. Selain itu, pejabat VOC seringkali terlibat dalam kegiatan perdagangan gelap atau ilegal. Contoh dari pejabat yang terlibat dalam praktik ini adalah Gubernur Jenderal van Hoorn.
Gubernur Jenderal van Hoorn diketahui berhasil mengumpulkan kekayaan hingga mencapai 10 juta gulden saat kembali ke Belanda, padahal gajinya hanya sebesar 700 gulden per bulan. Korupsi di dalam VOC tidak hanya dilakukan oleh pejabat tinggi, melainkan juga melibatkan pegawai di berbagai tingkatan.
Gubernur Jenderal Van Hoorn terlibat dalam praktik nepotisme dengan menggantikan mertuanya, mantan Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn pada tahun 1794. Saat kembali ke Belanda, dia membawa pulang lebih dari 10 juta gulden, meskipun mendapatkan gaji resmi sebesar 700 gulden per bulan sebagai gubernur jenderal.
Contoh lain dari praktik korupsi terlihat pada Gubernur Kepulauan Ambon, Alexander Cornabe, ketika menjabat pada periode 1780-1793. Dia dinyatakan bersalah di Batavia atas kecurangan dalam pemeriksaan kas daerah.
Ketika menyerahkan kekuasaan kepada Inggris pada tahun 1796, dia juga mengambil uang pemerintah sejumlah 25 ribu gulden. VOC juga terlibat dalam berbagai praktik korupsi seperti peningkatan harga dalam nota pembelian, penyelundupan barang ekspor, pembuatan laporan keuangan palsu, dan memberikan sogokan kepada pegawai.
Ragam praktik korupsi ini memunculkan istilah "Veergan Onder Coruptie" (VOC) atau rontok karena korupsi sebagai penyebab bubarnya VOC. Selain dari aspek korupsi, beberapa faktor lain juga turut berperan dalam kejatuhan VOC.
Faktor penyebab kebangkrutan VOC berikutnya adalah keberhasilan VOC dalam bidang perdagangan tidak seimbang dengan keberhasilannya dalam bidang militer melawan bangsa lain. Sebagai contoh, pasal 34 dan 35 hak oktroi menyatakan bahwa kecuali VOC, siapapun dilarang melintasi lautan dari Tanjung Harapan hingga Selat Magellan, namun kapal-kapal Inggris, Portugis, hingga Spanyol tetap dapat berlayar tanpa hambatan senjata.
Selain faktor-faktor tersebut, permasalahan keuangan dan kepemimpinan, persaingan dalam perdagangan, serta perubahan politik di Belanda juga ikut mempercepat kemunduran VOC. Akhirnya, pemerintah kerajaan di bawah King William V menyimpulkan bahwa serikat dagang tersebut tidak perlu dipertahankan lagi.
Berdasarkan UUD Republik Bataaf (Grondwet) pasal 249 tanggal 17 Maret 1799, dibentuklah Dewan Penyantun Hak Milik Belanda di Asia yang bertanggung jawab atas pengambilalihan seluruh kewajiban dan utang-utang VOC. Proses pengambilalihan VOC oleh pemerintah Belanda diumumkan secara resmi di Batavia pada tanggal 8 Agustus 1799.
Pada tanggal 31 Desember 1799, VOC diumumkan bangkrut dan resmi dibubarkan. Selanjutnya, aset dan hak miliknya ditempatkan di bawah kendali pemerintah Belanda di Nederland.
Setelah bangkrut, VOC meninggalkan utang sebesar 136,7 juta gulden. Aset-asetnya melibatkan kantor dagang, benteng, kapal, gudang, serta wilayah kekuasaan di Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa korupsi memiliki peran yang signifikan dalam kejatuhan VOC. Para pejabat dan pegawai VOC seringkali memanfaatkan wewenang mereka untuk kepentingan dan kekayaan pribadi. Informasi ini penting untuk dipahami dalam konteks kaitan antara korupsi dan bubarnya VOC.