Situ Bagendit merupakan destinasi wisata yang terletak di Desa Bagendit, Provinsi Jawa Barat. Selain memiliki pemandangan yang indah, situs warisan tersebut juga mengandung cerita legenda yang masih lestari hingga sekarang.
Singkatnya, legenda atau cerita rakyat Situ Bagendit menceritakan tentang seorang kakek yang murka terhadap Nyai Bagendit lantaran ia enggan membantunya ketika mengembara dan sedang kehausan. Kutukan dilontarkan hingga menimbulkan banjir besar dan menenggelamkan Nyai Bagendit.
Genangan banjir tersebut menjadi Situ Bagendit, yakni danau yang masih indah sampai sekarang. Meski dipertanyakan kebenarannya, cerita rakyat Situ Bagendit tetap dikenang sebagai legenda yang kerap dijadikan bahan bacaan untuk anak sekolah.
Terkait dengan itu, kali ini kami ingin menyajikan cerita rakyat Situ Bagendit dalam dua bahasa. Termasuk bahasa Indonesia dan Inggris, berikut kisahnya.
Cerita Rakyat Situ Bagendit Bahasa Indonesia
Pada zaman dahulu kala, di sebelah utara kota Garut, terdapat sebuah desa yang penduduknya kebanyakan adalah petani. Karena tanah di desa itu sangat subur dan tidak pernah kekurangan air, maka sawah-sawah mereka selalu menghasilkan padi yang berlimpah ruah. Namun meski begitu, para penduduk di desa itu tetap miskin kekurangan. Hal tersebut disebabkan oleh ulah seorang tengkulak bernama Nyai Bagendit.
Hari masih sedikit gelap dan embun masih bergayut di dedaunan, namun para penduduk sudah bergegas menuju sawah mereka. Hari ini adalah hari panen. Mereka akan menuai padi yang sudah menguning dan menjualnya kepada Nyai Bagendit.
Nyai Bagendit adalah orang terkaya di desa itu. Rumahnya mewah, lumbung padinya sangat luas karena harus cukup menampung padi yang dibelinya dari seluruh petani di desa itu. Ya! Seluruh petani. Dan bukan dengan sukarela para petani itu menjual hasil panennya kepada Nyai Bagendit. Mereka terpaksa menjual semua hasil panennya dengan harga murah kalau tidak ingin cari perkara dengan centeng-centeng suruhan wanita itu. Lalu jika pasokan padi mereka habis, mereka harus membeli dari Nyai Bagendit dengan harga yang melambung tinggi.
“Wah kapan ya nasib kita berubah?” ujar seorang petani kepada teman nya.”Tidak tahan saya hidup seperti ini. Kenapa yah, Tuhan tidak menghukum si lintah darat itu?”
“Sssst, jangan keras-keras, nanti ada yang dengar!” sahut temannya. “Kita mah harus sabar! Nanti juga akan datang pembalasan yang setimpal bagi orang yang suka berbuat aniaya pada orang lain. Tuhan tidak pernah tidur!”
Sementara itu Nyai Bagendit sedang memeriksa lumbung padinya.
“Barja.” kata Nyai Bagendit pada centengnya.”Bagaimana? Apakah semua padi sudah dibeli?”
“Beres Nyi.” jawab Barja. “Lumbung sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di luar karena sudah tak muat.”
“Ha ha ha ha…! Sebentar lagi mereka akan kehabisan beras dan akan membeli padiku. Aku akan semakin kaya!” Nyai Bagendit tertawa senang. “Awasi terus Para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja yang membangkang!”
Benar saja, beberapa minggu kemudian para penduduk desa mulai kehabisan bahan makanan bahkan banyak yang sudah mulai menderita kelaparan. Sementara Nyai Bagendit selalu berpesta pora dengan makanan-makanan mewah di rumahnya.
“Aduh Pak, persediaan beras kita sudah menipis. Sebentar lagi kita terpaksa harus membeli beras ke Nyai Bagendit.” keluh seorang penduduk desa pada suaminya. “Kata tetangga harganya sekarang lima kali lipat dibanding saat kita jual dulu. Bagaimana ini, Pak?”
Pada suatu siang yang panas, dari ujung desa nampak seorang nenek yang berjalan terbungkuk-bungkuk. Dia melewati pemukiman penduduk dengan tatapan penuh iba.
“Hmm, kasihan para penduduk ini. Mereka menderita hanya karena kelakuan seorang saja. Sepertinya hal ini harus segera diakhiri.” pikir si nenek. Dia berjalan mendekati seorang penduduk yang sedang menumbuk padi.
“Permisi! Saya numpang tanya,” kata si nenek.
“Ya, Nek ada apa ya?” jawab wanita yang sedang menumbuk padi tersebut
“Dimanakah saya bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?” Tanya si nenek.
“Oh, maksud nenek rumah Nyai Bagendit?” kata wanita itu. “Sudah dekat, Nek. Nenek tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan, lalu belok kiri. Nanti akan terlihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek ada perlu apa sama Nyai Bagendit?”
“Saya mau minta sedekah,” kata si nenek.
“Ah percuma saja nenek minta sama dia, tidak akan dia memberinya. Kalau nenek lapar, makanlah di rumah saya, tapi hanya seadanya.” kata wanita itu.
“Tidak usah, terima kasih” jawab si nenek. “Saya hanya mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang minta sedekah. Oya, tolong beritahu penduduk desa lainnya agar siap-siap mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.”
“Nenek bercanda, ya?” kata wanita itu kaget.”Mana mungkin ada banjir di musim kemarau?”
“Aku tidak bercanda,” kata si nenek.”Aku adalah orang yang akan memberi pelajaran pada Nyai Bagendit. Maka dari itu segera mengungsilah, bawalah barang berharga milik kalian,” kata si nenek. Setelah itu si nenek pergi meninggalkan wanita tadi yang masih berdiri mematung.
Sementara itu Nyai Endit sedang menikmati hidangan yang berlimpah, demikian pula para centengnya. Si pengemis tiba di depan rumah Nyai Endit dan langsung dihadang oleh para centeng.
“Hei pengemis tua! Cepat pergi dari sini! Jangan sampai teras rumah ini kotor terinjak kakimu!” bentak centeng.
“Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang bisa saya makan. Sudah tiga hari saya tidak makan,” kata si nenek.
“Apa peduliku,” bentak centeng. “Kalau mau makan ya beli, jangan minta! Sana, cepat pergi sebelum saya seret.”
Tapi si nenek tidak bergeming di tempatnya. “Nyai Endit keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyai Bagendiiit …!” teriak si nenek.
Centeng-centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil.
“Siapa sih yang berteriak-teriak di luar,” ujar Nyai Endit. “Mengganggu orang makan saja!”
“Nei, siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak-teriak di depan rumah orang?” bentak Nyai Bagendit.
“Saya hanya mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak makan,”kata nenek.
“Tidak ada makanan di sini! Cepat pergi, nanti rumahku kotor.”
Namun, sang nenek bukannya pergi tapi justru menancapkan tongkatnya ke tanah lalu memandang Nyai Endit dengan penuh kemarahan.
“Bagendit! Selama ini Tuhan memberimu rezeki berlimpah tapi kau tidak bersyukur. Kau kikir! Sementara penduduk desa kelaparan kau malah menghambur-hamburkan makanan” teriak si nenek berapi-api. “Aku datang kesini sebagai jawaban atas doa para penduduk yang sengsara karena ulahmu! Kini bersiaplah menerima hukumanmu.”
“Ha ha ha .. Kau mau menghukumku? Tidak salah nih? Kamu tidak lihat centeng-centengku banyak! Sekali pukul saja, kau pasti mati,” kata Nyai Endit.
“Tidak perlu repot-repot mengusirku,” kata nenek. “Aku akan pergi dari sini jika kau bisa mencabut tongkatku dari tanah.”
“Dasar nenek gila. Apa susahnya mencabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!” kata Nyai Endit sombong. Lalu hup! Nyai Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan. Ternyata tongkat itu tidak bergeming. Dia coba dengan dua tangan. Hup hup! Masih tidak bergeming juga.
“Sialan!” kata Nyai Endit. “Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai tidak tercabut. Gaji kalian aku potong!”
Centeng-centeng itu mencoba mencabut tongkat si nenek, namun meski sudah ditarik oleh tiga orang, tongkat itu tetap tak bergeming.
“Ha, ha, ha. kalian tidak berhasil?” kata si nenek. “Ternyata tenaga kalian tidak seberapa. Lihat aku akan mencabut tongkat ini.”
Brut! Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah. Byuuuuurrr!!!! Tiba-tiba dan bekas tancapan tongkat si nenek menyembur air yang sangat deras.
“Bagendit! Inilah hukuman untukmu! Air ini adalah air mata Para penduduk yang sengsara karenamu. Kau dan seluruh hartamu akan tenggelam oleh air ini.”
Setelah berkata demikian si nenek tiba-tiba menghilang entah kemana. Tinggal Nyai Endit yang panik melihat air yang meluap dengan deras. Dia berusaha berlari menyelamatkan hartanya, namun air bah lebih cepat menenggelamkannya beserta hartanya.
Kini, di desa itu terbentuk sebuah danau kecil yang dinamakan ‘Situ Bagendit’ Situ artinya danau dan Bagendit berasal dari nama Bagendit. Beberapa orang percaya bahwa kadang-kadang kita bisa melihat lintah sebesar kasur di dasar danau. Katanya itu adalah penjelmaan Nyai Endit yang tidak berhasil kabur dari jebakan air bah.
Cerita Rakyat Situ Bagendit Bahasa Inggris
The Legend of Situ Bagendit
Once upon a time, a widow lived. She was called Nyak Bagendit. She was knows as the richest person in the village where she lived. She lived at a large house. There was a great deal of jewelleries in the house. There were also several servants to serve her.
Although nyak Bagendit was prosperous, she rarely helped the villagers. She was also regarded as a mean person with bad attitudes. The villagers who borrowed her money had to return it double. If they couldn’t return her money, she would take everything they had.
One day, a beggar came to Nyak Bagendit. The beggar was a very old woman. She looked so weak. She begged for some food to nyak Bagendit, but she was instead chimed. She told her servants to take the beggar away. The beggar wept. While she stepped leaving the house, she prayed inside her heart.
Soon after the beggar prayed, she heard a scream from Nyak bagendits house. An earthquake occurred, but it's only Nyak bagendits house. All the villagers also came to see what happened. Nyak Bagendit cried for help loudly. But, no one helped her. The villagers knew that god was punishing nyak Bagendit.
The earthquake was so huge that Nyak Bagendits house was ruined down. All the jewelleries and things owned by Nyak Bagendit were also damaged and gone because of the earthquake. Then the ruined house was amazingly changed into a lake. The villagers named it Situ Bagendit.
Itulah cerita rakyat Situ Bagendit yang masih melegenda sampai sekarang. Meski bersifat fiktif, sebagian masyarakat ada yang mempercayai tentang kebenarannya. Walau terdapat dua pendapat, kisah di atas menekankan unsur hiburan atau sekedar jadi bahan bacaan.
Sumber cerita: Dongeng Cerita Rakyat dan Ruang Guru