Cerita Rakyat Malin Kundang, Legenda dari Sumatera Barat

Pinterest
Cerita Rakyat Malin Kundang
Penulis: Ghina Aulia
Editor: Safrezi
19/8/2024, 17.27 WIB

Legenda atau dongeng Malin Kundang merupakan cerita rakyat yang berasal dari Sumatera Barat. Meski tidak ada yang tahu kebenarannya, cerita terus berkembang dan populer sampai sekarang. Kisah ini juga banyak dikaitkan dengan nilai budaya setempat.

Cerita rakyat Malin Kundang mengandung pesan moral mendalam yang bisa dijadikan pelajaran. Salah satunya tentang bakti kepada orang tua, khususnya ibu. Mengingat pada kisah ini membahas konflik seputar hubungan Ibu dan Anak yang berbuah pahit.

Maka dari itu, kali ini kami ingin membahas cerita rakyat Malin Kundang yang bisa dijadikan bahan bacaan. Dirangkum dari Indonesia Kaya, berikut selengkapnya.

Cerita Rakyat Malin Kundang

Pada zaman dahulu, di sebuah desa nelayan di Air Manis, Sumatra Barat, hiduplah satu keluarga nelayan. Karena kebutuhan keuangan keluarga, sang ayah akhirnya memutuskan untuk pergi merantau menyebrangi lautan.

Namun, sang ayah tidak pernah kembali ke kampung dan meninggalkan istrinya, Mande Rubayah. Sang istri kemudian membesarkan anak mereka, Malin, seorang diri. Oleh sang ibu, Malin sering dikundang-kundang (dibawa ke mana saja). Oleh karena itu, sang anak mendapat panggilan baru, Malin Kundang.

Malin tumbuh sebagai anak yang pintar, tapi sedikit nakal. Malin sering mengejar ayam dan memukul mereka dengan sapu. Suatu hari, ketika Malin sedang mengejar ayam, Malin terjatuh dan tangannya terbentur sebuah batu. Luka itu meninggalkan bekas di lengannya.

Suatu hari, ketika Malin sedang mengejar ayam, Malin terjatuh dan tangannya terbentur sebuah batu, dikenal batu menangis. Luka itu meninggalkan bekas di lengannya.

Beranjak dewasa, Malin merasa iba pada ibunya yang harus bersusah payah menafkahi mereka, sehingga berniat untuk merantau bersama sebuah kapal dagang. Ketika menceritakan tentang niatnya, sang ibu tidak mengizinkan Malin untuk pergi.

Ibu Mande tidak rela ditinggal anak semata wayangnya. Ibu Mande juga takut Malin akan menjadi seperti ayahnya yang pergi dan tidak pernah kembali ke kampung.

Meski ditolak sang ibu, Malin tidak berhenti membujuknya. Melihat kegigihan Malin, Ibu Mande pun mengizinkannya pergi, meski dengan berat hati. Setelah meyakinkan ibunya bahwa dirinya akan baik-baik saja, Malin pun pamit dan meninggalkan Ibu Mande seorang diri di desa.

Ketika sedang berlayar dalam perantauannya, sebuah kejadian buruk menimpa kapal yang ditumpangi Malin sehingga ia terdampar di sebuah pantai. Warga desa di pantai tersebut menyambut dan membantu Malin untuk tinggal dan bekerja di sana.

Malin bekerja dengan sangat rajin mengolah tanah desa yang subur dan menjadi semakin sukses. Malin memiliki 100 orang pekerja dan sejumlah kapal dagang sendiri. Setelah berhasil menjadi orang kaya, Malin pun mempersunting anak seorang saudagar kaya.

Sementara itu, Ibu Mande tidak pernah mendapatkan kabar apapun dari Malin selepas kepergiannya. Selama bertahun-tahun, Ibu Mande hanya bisa memandangi laut sambil berdoa agar anaknya selamat dan mengirimkan kabar, atau bahkan kembali ke desa.

Setiap kali ada kapal besar yang bersandar di desa, Ibu Mande selalu bertanya kepada nahkoda dan awak kapal tentang anaknya. Namun, tidak pernah ada yang membawa kabar atau titipan dari Malin.

Suatu ketika, Malin bersama istri dan beberapa anak buah kapal pergi berlayar menggunakan kapal yang besar. Setelah berlayar beberapa saat, kapalnya berlabuh di suatu pulau. Tanpa disadari, ternyata itu adalah kampung halaman Malin.

Melihat kapal besar yang berlabuh, warga desa, termasuk Ibu Mande beramai-ramai berkumpul di tepi pantai. Mereka ingin menyambut kapal yang dikira milik seorang sultan atau pangeran itu.

Dari kejauhan, terlihat sepasang pemuda dan pemudi berdiri di anjungan, mengenakan pakaian yang mewah. Ibu Mande melihat dan menyadari bahwa sang pemuda adalah Malin. Segera setelah kapal berlabuh dan kedua pemuda itu turun dari kapal, Ibu Mande berlari mendekati anaknya.

Dari dekat, Ibu Mande melihat bekas luka di lengan sang pemuda dan menjadi semakin yakin bahwa pemuda itu adalah Malin. Ia kemudian memeluk Malin, sambil memanggil namanya dan bertanya tentang kabarnya.

Dari dekat, Ibu Mande melihat bekas luka di lengan sang pemuda dan menjadi semakin yakin bahwa pemuda itu adalah Malin.

Istri Malin yang berdiri di dekat Malin, terkejut melihat seorang wanita tua berpakaian compang-camping memeluk suaminya sambil mengaku sebagai ibunya. Maklum, selama ini Malin mengaku bahwa kedua orang tuanya adalah bangsawan dan sudah meninggal.

Istri Malin pun bertanya kepada Malin tentang siapa wanita itu sebenarnya. Karena malu kepada istrinya, Malin kemudian mendorong ibunya dan berkata kasar kepada Ibu Mande.

Malin tidak mengakuinya sebagai ibu dan mengatakan bahwa ibunya tidak seperti Ibu Mande yang kotor dan miskin. Setelah itu, Malin memerintahkan istri dan anak buahnya untuk bergegas kembali ke kapal untuk berlayar.

Ibu Mande yang sudah tua renta terkapar di pasir, menangis, dan sakit hati sampai pingsan. Setelah akhirnya tersadar, Ibu Mande tinggal sendiri di pantai dan warga desa yang tadinya ramai sudah meninggalkannya. Ibu Mande juga melihat bahwa kapal Malin dan istrinya sudah berlayar jauh dari pantai. Sambil menangis, Ibu Mande berlutut sambil mengangkat tangan untuk berdoa kepada Tuhan.

Ibu Mande berdoa jika pemuda tadi bukan Malin Kundang, Ibu Mande memaafkan perbuatannya. Tapi, jika pemuda itu adalah benar Malin Kundang, maka Ibu Mande mengutuknya untuk menjadi sebuah batu.

Ibu Mande berdoa jika pemuda itu adalah benar Malin Kundang, maka Ibu Mande mengutuknya untuk menjadi sebuah batu.

Setelah Ibu Mande berdoa, langit yang tadinya cerah tiba-tiba berubah menjadi gelap. Hujan deras dan badai pun muncul. Kapal Malin yang sedang berlayar pun hancur berkeping-keping disambar petir.

Keesokan harinya ketika badai sudah reda, puing-puing kapal yang sudah berubah menjadi batu tersapu ombak ke suatu pulau. Di antara puing-puing yang terdampar di pantai, ada satu bongkahan batu yang berbentuk seperti tubuh manusia yang menunduk, beserta ikan teri, ikan belanak, dan ikan tenggiri yang berenang di sela-sela batu itu.

Itulah cerita rakyat Malin Kundang yang dirangkum dari situs Indonesia Kaya. Kisah ini juga dianggap sebagai dongeng populer di kalangan anak-anak. Meski ada unsur fiksi, di dalamnya tetap mengandung makna mendalam yang bisa dijadikan pesan moral.

Cerita rakyat Malin Kundang termasuk ke dalam legenda, salah satu jenis cerita rakyat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), legenda adalah cerita rakyat kuno yang berkaitan dengan peristiwa sejarah. Di lokasi yang dianggap sebagai tempat kejadian, terdapat “batu menangis.” Sebagian mempercayainya sebagai batu Malin Kundang yang dikutuk oleh ibu kandungnya.

Demikian cerita rakyat Malin Kundang yang bisa dijadikan bahan pembelajaran bagi kita semua.