Carina Joe, Pemilik Hak Panten Vaksin AstraZeneca Asal Indonesia

YouTube/Katadata
Carina Citra Dewi Joe
Penulis: Hadi Mulyono
3/8/2021, 19.09 WIB

ZIGI – Selain Indra Rudiansyah, ternyata ada peneliti asal Indonesia lainnya di balik penemuan vaksin AstraZeneca. Dia bernama Carina Citra Dewi Joe, yang menjadi salah satu pemegang hak paten vaksin yang dibuat di Jenner Institute Universitas Oxford, Inggris tersebut.

Carina Joe memegang hak paten vaksin AstraZeneca tentang manufacturing scale up atau produksi skala besar. Berkat penemuannya, vaksin AstraZeneca bisa diproduksi dalam jumlah banyak untuk segera didistribusikan ke seluruh dunia termasuk Indonesia.

Totalnya ada lebih dari enam peneliti yang memegang hak paten AstraZeneca sesuai bidang masing-masing. Seperti apa perjalanan Carina Citra Dewi Joe hingga berkontribusi menyelamatkan banyak nyawa melalui vaksin AstraZeneca? Yuk, simak ulasannya di bawah ini sampai habis.

Pendidikan Carina Citra Dewi Joe

Peneliti asal Indonesia ini ternyata sejak duduk di bangku SMA sudah mempunyai cita-cita ingin menjadi seorang dokter atau insinyur. Namun, perjalanan hidup yang penuh misteri malah membawanya tertarik dengan bioteknologi dan manipulasi genetika.

Bernama lengkap Carina Citra Dewi Joe, wanita yang satu ini merupakan seorang peneliti di Jenner Institute University Oxford, Inggris. Sebelumnya, ia sukses meraih gelar PhD in Biotechnology di Royal Melbourne Institute of Technology, Australia.

Sebagai seseorang yang juga mempunyai pengalaman di industri bioteknologi, ia akhirnya mendapat kesempatan dalam riset vaksin AstraZeneca untuk COVID-19 bersama dengan Indra Rudiansyah, dalam tim yang dipimpin oleh Sarah Gilbert.

Awal Mula Terlibat Pembuatan Vaksin AstraZeneca

Dalam wawacara kepada Katadata.co.id, Carina menceritakan bagaimana kisahnya sampai bisa terlibat dalam pembuatan vaksin AstraZeneca. Awalnya, ia direkrut untuk menjadi salah satu peneliti yang membuat vaksin rabies, namun karena adanya pandemi Covid-19, ia pun akhirnya terpilih untuk ikut dalam pembuatan vaksin AstraZeneca.

“Saya awalnya direkrut untuk proses manufaktur vaksin rabies. Saya bergabung beberapa bulan sebelum pandemi akhir 2019. Ketika ada pandemi, mereka memutuskan membuat vaksin Covid-19 karena prioritasnya tinggi dan dibutuhkan secepatnya. Jadi, proyek saya diganti menjadi vaksin Covid-19,” kata Carina dikutip dari Katadata.co.id, Selasa, 3 Agustus 2021.

Carina menambahkan, proses pembuatan vaksin tersebut dilakukan di 23 laboratorium di berbagai negara di dunia. Selain itu, ribuan orang sebenarnya terlibat dalam pembuatan vaksin AstraZeneca, terutama pada saat uji klinis satu hingga tiga. Oleh sebab itu, Carina dan Indra adalah bagian kecil dari terciptanya vaksin AstraZeneca yang saat ini digunakan dunia termasuk di Indonesia.

Proses Pembuatan Vaksin AstraZeneca

Dijelaskan Carina, proses pembuatan vaksin AstraZeneca tidak semudah bikin kue karena harus melalui tahap yang cukup panjang. Prosesnya dimulai dengan tahap manufakturing yang bertujuan agar vaksin tersebut tidak hanya eksklusif bagi orang Inggris namun bisa tersebar ke seluruh dunia.

“Proses manufakturnya lumayan panjang. Ada hulu dan hilir. Singkatnya, kami pakai human cell (sel manusia) untuk memproduksi virus-virus di dalamnya, skalanya beda-beda. Ada laboratorium dengan skala 10 sampai 15 liter. Ada yang skala besar, 200 liter, seribu liter, 2 ribu liter, dan 4 ribu liter. Setelah mendapatkan virus yang cukup di dalam sel itu, baru kami panen,” ungkap Carina.

Lebih lanjut, kata Carina, pembuatan vaksin harus memenuhi standar mulai dari spesifikasi untuk laboratorium dan fasilitasnya, hingga skill (keahlian) yang khusus. Selain itu, teknologi vaksin (viral vector atau vektor viral) yang sudah ada bertahun-tahun sejak 1990-an diakuinya cukup membantu percepatan pembuatan vaksin AstraZeneca.

“Jadi teknologi dasarnya sudah dikembangkan bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun. Platform-nya kayak plug and play jadi bisa dimodifikasi dengan cepat. Teknologinya sudah ada dan sudah dites dengan patogen yang lain dan kami yakin ini aman dan efektif,” ujarnya.

Hak Paten Vaksin AstraZeneca

Dunia internasional menjadi saksi bahwa Profesor Sarah Gilbert dikabarkan rela melepas hak patennya terhadap vaksin AstraZeneca supaya harga jualnya menjadi jauh lebih murah. Namun menurut Carina Citra Dewi Joe, terdapat kisah menarik di balik keputusan Sarah Gilbert yang jarang diketahui orang.

“Sebenarnya yang punya hak paten bukan hanya Profesor Gilbert. Dia co-inventor. Patennya pun lebih dari satu, sepertinya ada enam. Profesor Gilbert tetap punya patennya, atas nama dia dan beberapa ilmuwan lain. Tapi selama pandemi ini kami memang tidak akan ambil profit karena untuk kemanusiaan. Itu keputusan Universitas Oxford,” tegas Carina.

Nah dalam hal ini, Carina memegang hak paten vaksin AstraZeneca tentang manufacturing scale up atau produksi dalam skala besar. Oleh karena itu, tanggung jawab Carina Citra Dewi Joe terletak pada cara agar vaksin AstraZeneca bisa diproduksi dalam jumlah banyak. 

Begitulah, kisah hebat ilmuan Indonesia bernama Carina Citra Dewi Joe yang terlibat dalam pembuatan vaksin AstraZeneca untuk melawan pandemi COVID-19 selain Indra Rudiansyah.